Minggu, 16 Maret 2008

BELAJAR DARI HAMKA

Oleh Ronidin

Belum ada sampai hari ini lahir seorang ulama kharismatik yang juga seorang sastrawan bermoral kecuali HAMKA. Ini fakta sejarah. Tidak dilebih-lebihkan. Sebagai Ulama, HAMKA adalah sosok yang begitu teguh memegang keyakinannya. Ia tidak takut pada siapa pun atas dasar kebenaran. Karena keteguhan itu, ia pernah dipenjara Soekarno. Tetapi, justru di dalam penjara ia kemudian berhasil merampungkan Tafsir Al Azhar. HAMKA pula yang memilih mundur dari ketua MUI dari pada harus mencabut fatwanya tentang haramnya natal bersama bagi umat Islam. Hamka sangat tegas dalam masalah keimanan. Di masa HAMKA, kata banyak orang, MUI lebih berwibawa.
Dalam kesusastraan Indonesia, HAMKA adalah seorang sastrawan yang bermoral. Melalui karya-karyanya, ia menulis pesan-pesan moral dan kemanusian. Meskipun A. Teeuw mengatakan HAMKA bukanlah seorang sastrawan hebat karena terlalu melankolis, namun dalam setiap karyanya kita bisa menemukan “ruh” kehidupan. Dalam Tenggelammnya Kapal Vander Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau Ke Deli, Dijemput Mamaknya dan karyanya yang lain, HAMKA mengemukakan kritik sosial terhadap kehidupan masyarakat di negerinya, utamanya adat dan budaya Minangkabau; memotretnya dari perspektif religi. Bila kemudian ada yang menyebutnya sebagai “kiyai cinta” karena menulis roman percintaan, maka itulah sisi romantis hidup HAMKA.
Sejarah kehidupan HAMKA di masa lalu perlu dikaji dan dipelajari sebagai reflesi perjuaangan panjang sosok HAMKA dari seorang yang “kecil” dari tepi Danau Maninjau sana, yang pada akhirnya menjadi seorang yang “besar” di seantero Nusantara ini. HAMKA adalah putra negeri yang telah memberi marwah terhadap tanah kelahirannya.
HAMKA adalah petarung sejati. Sejarah hidupnya penuh liku. Untuk menjadi HAMKA yang dikenal seperti sekarang, sosok ini telah kenyang dengan asam garam kehidupan. HAMKA kecil bukanlah seorang anak yang suka diam; nrimo begitu saja. Dari kecil ia sudah dihadapkan pada tantangan hidup yang ruwet. Ketika ayahnya menikah lagi, HAMKA kehilangan romansa masa kecilnya. Lalu ia mulai melakukan “pemberontakan”. Ia berani berdebat dan tidak setuju dengan ayahnya. Perkembangan kemudian membawa menjadi remaja pemburu ilmu. Sebanyak bahan bacaan yang ada padanya, sebanyak itu pula yang dilahapnya. Ia juga melalap pelajaran-pelajaran agama dari ulama-ulama yang ditemuinya di mana-mana.
Menyadari kampungnya tak akan memberi apa-apa, maka ia putuskan untuk berguru ke mana pun. Di usia 10 tahun ia masuk Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Usia 19 tahun ia sudah menjadi guru agama di Tebing Tinggi Medan Sumatera Utara. Lalu, berbagai daerah pun dijajakinya untuk mengasah pengalamannya, Makasar, Yogya, dan akhirnya berlabuh di Jakarta. Daerah-daerah itulah yang kemudian menginspirasinya dalam menulis roman.
HAMKA juga melakukan studi mandiri terhadap berbagai ilmu pengetahuan seperti filsafat, kesusastraan, sejarah, sosiologi dan politik. HAMKA juga merupakan teman diskusi yang hangat bagi tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo.
Sebelum tutup usia tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta, HAMKA pernah menerima beberapa penghargaan, antara lain Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Mesir tahun 1958, Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia tahun 1974, gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. Sedangkan roman-romanya menjadi bacaan wajib siswa-siswi di Singapura dan Malaysia.
Itulah HAMKA dari masa lalu. HAMKA dengan kelebihan-kelebihan dan prestasinya yang bukan saja diakui oleh bangsa Indonesia, tapi juga oleh masyarakat internasional. HAMKA yang kepiawaian keulamaannya sama baiknya dengan kepiawaiannya dalam menulis.
Lantas, masihkah akan lahir HAMKA seperti itu di masa depan? Walahualam. Namun, inilah pertanyaan penting yang perlu direnungkan dalam menyenang 100 tahun HAMKA (17 Februari 1908 — 17 Februari 2008). Kenapa begitu? Karena memang kita amat merindukan kelahiran tokoh kharismatik seperti HAMKA sebagai pengobat nestapa pasca krisis ketokohan yang melanda negeri ini dalam beberapa dekade terakhir.
Secara fisik HAMKA mungkin tidak akan lahir kembali, tetapi secara non fisik kemungkinan untuk melahirkan “HAMKA baru” atau “HAMKA masa depan” amat terbuka. Karena itu, tidak ada kata lain, memprogram HAMKA masa depan berarti memprogram diri untuk mencontoh dan belajar dari HAMKA masa lalu. Maka bersiaplah. Jadilah petarung sejati.