Minggu, 13 April 2008

Persepsi Generasi Rantau terhadap Minangkabau


Generasi Minang rantau baik yang lahir dan besar di rantau atau generasi yang merantau setelah cukup usia menganggap diri mereka sebagai bagian dari etnis Minangkabau. Tidak ada yang ganjil dalam premis ini. Namun, yang jelas, tentu saja denyut nadi kehidupan generasi rantau akan berbeda dengan generasi kampung. Dalam hal ini, generasi rantau sehari-harinya berinteraksi dengan kehidupan dan kebudayaan rantau yang majemuk, jauh berbeda dengan kebudayaan di kampung. Persoalan yang muncul: akankah generasi tersebut tetap bertahan dengan ‘kebudayaan asli’ atau ‘kebudayaan ibu’ mereka, atau justru malah tercerabut.

Menjawab keraguan ini, saya menerima beberapa email dan SMS dari anak-anak muda Minang yang ada di rantau. Mereka berkomentar tentang kampung mereka; tentang kerinduan dan keprihatinan mereka. Salah satu email yang datang ke saya seperti ini:
“Perkenalkan, nama saya Nopendri. Saya mahasiswa Minang yang kuliah di Bandung. Saya berasal dari kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Saya telah membaca buku Bapak yang berjudul Minangkabau Di Mata Anak Muda. Banyak hal yang saya rasakan setelah membacanya. Mulai dari bangga sampaiprihatin. Bangga karena saya ternyata memiliki identitas, kultur dan sejarah daerah asal yang mengagumkan. Memiliki budaya yang kental akan Islamnya yang sering diingat dengan ABS-SBK. Memiliki tokoh-tokoh besar seperti Buya HAMKA dan Pak Natsir. Akan tetapi, saya juga prihatin akan keadaan sekarang. Di mana orang Minang sekarang bukan seperti dulu lagi. Generasi-generasi surau sudah tidak ada lagi. Bundo-bundo yang ada di kampuang sudah mandul melahirkan tokoh-tokoh besar. Para pemuda tidak tahu lagi tentang budayanya. Islam sebagai the way of live sudah lepas dari diri para pemuda Minang. Saya juga sering mendengar dari orang non-minang tentang istilah “padang bengkok” yang memiliki makna negatif akan orang Minang di rantau. Seperti yang sering saya dengar bahwa Minangkabau hanya tinggal kabaunya saja, minangnya sudah hilang” Lalu ada SMS seperti ini:“Saya Lia asli Saning Baka, tapi besar di rantau. Saya seorang pelajar SMA kelas dua di Lumajang, Jatim. Saya baca buku karangan Bapak Minangkabau di Mata Anak Muda, di situ ada peristiwa PRRI tahun 1958-1961, itu peristiwa tentang apa, Pak?” Ada lagi seperti ini,“Saya Hendri, perantau Minang di Batam, saya baca buku Minangkabau di Mata Anak Muda. Bisa ‘ndak Bapak memberitahu saya di mana saya bisa mendapatkan informasi yang luas tentang Minangkabau?” Ada beberapa catatan saya tentang hal di atas. Pertama, ternyata anak-anak muda Minang yang ada di rantau (terlepas apakah mereka generasi yang lahir dan besar di rantau atau generasi yang datang belakangan) membaca buku-buku tentang kampung halaman mereka. Ini mengindikasikan bahwa mereka ingin tahu tentang kehidupan dan perkembangan Minangkabau. Mereka “haus” akan informasi-informasi tentang perkembangan kampung halaman yang mereka tinggalkan; yang mereka amat rindukan. Dapat dikatakan bahwa mereka adalah generasi yang tak hendak melupakan Minangkabau; tempat darah ibu/nenek mereka tertumpah melahirkan mereka. Mereka tak hendak menjadi malin Kundang. Mereka ingin berkontribusi membangun Minangkabau, minimal menyumbang saran ataupun unjuk keprihatinan terhadap gejala-gejala sosial yang sedang terjadi di ranah bundo ini. Kedua, ada ketegasan sikap bahwa perantau Minangkabau tetap mempertahankan identitasnya (“Saya Nopendri, mahasiswa Minang …; saya Lia asli Saning Bakar …, saya Hendri perantau Minang di….”) Mereka tidak hendak mengganti identitas sebagai orang Minang meskipun kehidupan di rantau mengepung mereka dengan berbagai tantangan. Dikatakan sebagai “Si Padang Bengkok” misalnya merupakan sebuah tamparan kultural yang amat keras. Sejauh ini sulit menjelaskan kepada etnis non-Minang hakekat pribahasa taimpik nak di atek, takurung nak dilua—sebagai implikasi tuduhan Si Padang Bengkok—karena mereka sudah keburu menjustifikasi bahwa orang Minang/Padang adalah curang/licik. Sulit bagi perantau Minang untuk mengubah imeg ini. Akan tetapi, walaupun demikian, perantau Minang tetap dengan identitasnya sebagai orang Minang--kecuali pada masa-masa tertentu pasca PRRI di tahun 60-an. Jadi, inilah wujud keterikatan hati yang tak lapuk kena hujan tak lekang kena panas terhadap Minangkabau tanah nan den cinto. Ketiga, agaknya generasi Minangkabau yang besar dan hidup di rantau perlu meningkatkan pemahaman dan pengetahuan keminangkabauan mereka. Para orang tua dan mamak yang melahirkan dan bertanggung jawab terhadap generasi tersebut merupakan pihak yang patut berada di barisan depan dalam soalan ini. Anak-anak/generasi rantau perlu ditunjukajari tentang seluk beluk Minangkabau, tidak hanya sebatas yang mereka dapatkan di sekolah atau buku-buku yang mereka baca. Mereka perlu pengetahuan adat dan kebudayaan Minangkabau praktis sebagaimana hal yang sama juga diperlukan generasi di kampung. Para orang tua, penghulu, niniak mamak dan cendikia Minangkabau yang ada di rantau mesti memprogramkan hal ini. Tidak perlulah dulu bicara soal hal ini efektif atau tidak, yang penting diprogram dan dilaksanakan dulu secara bertahap. Begitulah, generasi rantau masih menganggap diri mereka sebagai bagian dari generasi Minangkabau. Soal mereka tercerabut dari akar budaya dan tradisi Minangkabau, tidak akan ada bedanya dengan generasi kampung. Toh ketika tidak ada yang peduli dengan mereka, maka mereka akan mencari identitasnya sendiri, tak di rantau tak di kampung. Karena itu menunjukajari generasi rantau dan generasi kampung adalah tanggung jawab moral masyarakat Minagkabau. Wallahualam bissawab. RONIDIN KO