Selasa, 13 Mei 2008

Menuntut Walikota

Aku rasa aku mengenalnya. Tapi di mana ya? Aku tidak ingat lagi. Ketika kutanya maksud kedatangannya, dia bilang mau menghadap Tuhan. Untuk urusan apa? Aku tak memperoleh jawabannya. Dia hanya mengatakan bahwa ada hal penting yang ingin dituntutnya langsung di hadapan Tuhan.
“Aku ingin menemui Tuhan untuk minta keadilan atas sebuah persoalan yang belum terselesaikan di dunia,” katanya.
“Persoalan apa?” kejarku.
“Kamu akan tahu jika kamu bersamaku menemui Tuhan,” jawabnya.
“Caranya?”
“Kamu ini bagaimana? Bukankah seharusnya aku yang bertanya demikian. Kamu kan sudah berwaktu-waktu di sini menjadi asisten Tuhan. Masa kamu tidak tahu prosedur menghadap-Nya,” katanya menohokku.
“Aku hanya seorang hamba. Seorang pesuruh Tuhan!”
“Terserah apalah namanya, yang penting kamu kan sering berhubungan dengan-Nya. Kamu tentu lebih dekat dan hafal dengan kebiasaan-kebiasaan Tuhan. Nah, sekarang kamu antarkanlah aku ke hadapan-Nya.”
“Aku tidak bisa!”
“Kenapa? Loyalitas kerjamu perlu dipertanyakan kalau begitu!”
“Sebagai pesuruh Tuhan, aku sendiri pun belum pernah bertemu dengan-Nya. Bagaimana pula aku akan membawamu menghadap-Nya. Apalagi persoalan yang akan kamu ajukan juga tidak jelas,” kataku beralasan.
“Ahk ... dari dulu kamu juga begitu. Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Biar aku sendiri yang akan pergi,” katanya berlalu meninggalkan aku yang kebingungan.
“Dari dulu kamu juga begitu,” kuulangi kalimat itu. Kurenung-renungkan maksudnya. Orang aneh. Mungkinkah dia mengenalku? Kalau tidak, mana mungkin dia akan berkata seperti itu. Aku berusaha mengingat-ingat. Pernah tidak, kami berurusan sebelumnya?
Ops... aku ingat. Bukankah dia itu Pak Dedi. Seorang guru privat yang dulu pernah datang ke Balaikota. Waktu itu dia marah-marah, menepuk-nepuk meja dan mengamuk karena tidak kuizinkan bertemu Pak Wako.
Sebagai sekretaris Pak Wako, aku tidak dapat mengizinkannya masuk karena di luar prosedur. Seharusnya terlebih dahulu dia memasukkan surat audiensi. Baru setelah itu akan diproses dan ditentukan jadwal untuk bertemu dengan Pak Wako. Ini tidak. Dia main serobot saja.
Pagi itu dia datang. Katanya ingin bertemu Pak Wako dan menuntutnya. Ketika kutanya duduk persoalannya, dia tidak mau menjelaskan, sama persis seperti kejadian yang barusan dia lakukan ketika hendak menghadap Tuhan.
“Ini urusan aku dengan Pak Wako. Kamu tidak perlu tahu!” katanya.
“Ya. Tapi setiap urusan yang berhubungan dengan Pak Wako di kantor ini, harus diberitahukan di sini dulu. Baru kemudian diagendakan,” kataku memberi penjelasan.
“Aku tidak peduli, yang jelas aku harus bertemu dengan Pak Wako. Aku ingin menuntutnya!” katanya lagi.
“Menuntut Pak Wako dalam urusan apa?” tanyaku.
“Kamu tidak perlu tahu,” katanya ketus.
“Mesti!”
“Tidak bisa. Ini urusanku dengan Pak Wako.”
“Kalau begitu, Anda saya ingatkan untuk tidak membawa dendam pribadi ke sini.
Jadi, bersegeralah untuk meninggalkan ruangan ini,” kataku kesal.
“Ini bukan dendam pribadi. Ini demi kemaslahatan.
“Kemaslahatan apa?”
“Kemaslahatan umat. Karena itu, aku tidak akan pergi sebelum bertemu dengan Pak Wako!”
“Anda jangan atas namakan kemaslahatan di atas kepentingaan pribadi. Sekali lagi saya ingatkan, Anda jangan bikin keributan di sini. Saya bisa saja panggil Pol PP untuk mengusir Anda.”
“Silahkan! Aku tidak akan pergi.”
“Tolonglah mengerti. Ini kantor, Bung!”
“Aku paham ini kantor. Aku hanya ingin bertemu Pak Wako. Itu saja. Apakah itu salah?”
“Tidak.”
“lalu?”
“Untuk bertemu Pak Wako, ada prosedurnya.”
“Prosedur...?” katanya mencibir. “Prosedur apa?”
“Ya, semacam aturan yang harus ditaati.” kataku memberi penjelasan.
“Ah... omong kosong saja ‘tu. Bisa jadi, gara-gara prosedur-prosedur itu, negeri ini jadi salah urus,” katanya sinis.
“Anda jangan berpikir begitu!”
“Faktanya memang begitu kan? Dimana-mana bukan rahasia lagi kasus-kasus salah prosedur. Boleh jadi, kedatanganku ke sini salah satunya gara-gara kesalahan prosedur itu.”
“Ah, sudahlah. Tidak ada gunanya berdebat denganmu. Sekarang kamu tinggal pilih: pergi secara baik-baik atau kusuruh Pol PP mengusirmu!” kataku mencoba bersikap tegas.
“Kamu ini bagaimana?” tangannya menepuk meja. Keras sekali. “Kan sudah aku katakan, aku tidak akan pergi sebelum bertemu Pak Wako. Minggir! Minggir!” Dia berdiri dan berusaha menerobos mejaku membuka pintu ruangan Pak Wako.
Aku kaget. Aku berusaha menahannya. Menghalang-halanginya. Tapi tidak bisa. Dia seperti kerasutan. Tenaganya berlipat-lipat.
Tidak ada jalan lain. Dia harus dihentikan. Aku segera menghubungi beberapa anggota Pol PP. Meminta mereka menghentikan orang aneh ini. Dia harus dikeluarkan dari sini sebelum berbuat terlalu jauh.


Ketika beberapa anggota Pol PP datang, dia tetap saja bersikeras untuk masuk. Dengan nekat dia malah menendang Pol PP yang berusaha menghalanginya. Tak diharapkan, terjadilah keributan yang membuat para pegawai yang sedang bekerja terganggu. Mereka ramai-ramai meninggalkan pekerjaannya, melihat apa gerangan yang terjadi.

Pak Wako pun merasa terusik. Buru-buru ia keluar dari ruangannya.

“Ada apa? Kok ribut-ribut?” tanyanya kemudian.
“Ada orang stenggil datang ke sini dan marah-marah semaunya, Pak!” kata seorang pegawai yang kebetulan berada di samping Pak Wako.
“Apa katamu? Aku kamu bilang stenggil ? Awas kamu, ya! Kurobek-robek mulutmu yang bau jengkol itu baru tahu rasa.” jawab Pak Dedi sambil menuding-nudingkan telunjuknya di antara kepitan tangan beberapa Pol PP. “Aku ke sini bukan untuk bikin keributan seperti ini. Aku hanya ingin bertemu Pak Wako. Itu saja. Tapi ternyata, karena aku orang kecil yang dekil, di sini aku justru diperlakukan tak ubahnya seperti binatang saja.”
“Ada perlu apa Anda ingin bertemu dengan saya?” tanya Pak Wako.
“Bagaimana aku akan bisa bicara, kalau anak buah Bapak, mengekang saya seperti ini,” jawab Pak Dedi.
“Parno, biarkan dia bicara,” perintah Pak Wako. “Nah, sekarang katakan ada apa Anda ingin bertemu saya!”
“Aku ingin menuntut Bapak!”
“Atas dasar apa?” tanya Pak Wako heran.
“Atas kerusakan vespaku!”
“Lho... vespamu yang rusak kok harus menuntut saya?!” Pak Wako heran.
“Ya.”
“Ya, kenapa?”
“Karena kelalaian Bapak!”
“Maksud Anda?”
“Sejak terpilih jadi walikota, Bapak lebih suka bermegah-megah di kantor ini. Pada hal dulu ketika kampanye, Bapak pernah berjanji ini dan itu kepada kami. Salah satu janji Bapak yang masih saya ingat adalah janji untuk memperbaiki jalan di tempat kami tinggal. Namun, sampai sekarang janji itu tinggal janji saja,” kata Pak Dedi polos.
“Lalu apa hubungannya dengan kerusakan vespa Anda dan kedatangan Anda ke sini?”
“Aku kesini karena jalan yang sudah berlubang-lubang itu telah membuat banyak masalah bagi siapa saja yang lewat di sana. Misalnya, kehadiran para preman tukang palak yang meminta uang sebagai imbalan karena mereka telah menimbun lubang-lubang itu dengan tanah yang jika hujan akan sangat becek. Tapi bagiku itu tidak terlalu dipusingkan. Yang justru aku pusingkan adalah kerusakan vespaku ketika lewat disana. Suatu kali sehabis hujan, aku lewat di sana. Tanpa kukira, karena tergenang air, aku kecemplung ke lubang besar. Aku terjatuh. Vespaku terbalik dan rusak. Rusaknya parah.”
“Lalu?” tanya Pak Wako.
“Karena vespaku rusak, sejak itu, aku pergi pergi ke mana-mana terpaksa naik angkot yang ongkosnya tak tanggung-tanggung tingginya, do. Kata sopir BBM mahal. Akibatnya, honor privatku habis untuk ongkos saja. Karena itu aku ke sini. Aku ingin meminta ganti rugi. Aku ingin Bapak memperbaiki vespaku, sekaligus memperbaiki jalan itu secepatnya!”
“O... itu persoalannya. Kalau begitu, mari kita bicarakan di ruangan saya saja. Saya pikir itu bukanlah masalah yang perlu diributkan,” kata Pak Wako. “Ayo, semua kembali ke tempat kerja masing-masing!” perintahnya.
“Aku tidak ingin ribut, Pak. Tapi anak buah Bapak yang memulainya,” kata Pak Dedi di ruangan Pak Wako.


“Sudahlah, Pak! Sekarang begini saja: pertama, terkait dengan masalah verspa Bapak itu –meskipun ini sebenarnya bukan tanggung jawab saya—silahkan Bapak bawa ke bengkel dulu untuk diperbaiki. Berapa biayanya, Bapak bisa minta ke sini. Saya akan ganti. Ini sebagai wujud kepedulian saya kepada nasib Bapak. Apalagi Bapak seorang guru privat. Kedua, tentang masalah jalan yang berlubang-lubang itu, memang sudah ada rencana untuk diperbaiki dalam waktu dekat. Bapak bersabarlah dulu. Kalau tidak ada aral melintang, bulan depan akan kita mulai pengerjaannya. Kami sedang menyusun rancangannya,” kata Pak Wako menjawab keinginan Pak Dedi.

“Kalau memang begitu kata Bapak, aku merasa senang. Aku akan segera ke bengkel dan setelah itu kembali lagi ke sini. Tapi aku tidak mau berurusan dengan anak buah Bapak lagi.”
“Tidak apa-apa. Nanti Bapak bisa langsung temui saya saja!”
“Kalau begitu saya pamit dulu, Pak.”
“Lho, kok buru-buru. Nggak minum dulu?”
“Tidak usah, Pak. Nanti keburu hujan!”
“Kalau begitu, terimalah ini sekedarnya! Untu ongkos” kata Pak Wako sambil memasukkan beberapa lembaran kertas ke kantong Pak Dedi.
“Apa ini, Pak?”
“Terimalah! Sekedar oleh-oleh dari saya!”
“Tidak, Pak. Aku tidak bisa menerimanya. Maafkan aku. Sebaiknya Bapak berikan kepada yang lain saja!”
“Kenapa?”
“Aku tidak minta itu, Pak. Aku hanya minta seperti yang kukatakan tadi. Itu saja.”
“Ya, sudah kalau memang begitu.”

***
Berbulan-bulan kemudian, jalan itu belum juga diperbaiki. Kerusakan bertambah parah.
Pak Dedi tak habis pikir, kenapa Pak Wako belum juga memperbaikinya. Padahal, dulu jelas-jelas dia mengatakan akan memperbaikinya dalam waktu dekat. Pak Dedi penasaran. Dihidupkan mesin vespanya. “Aku harus kembali menemui Pak Wako itu,” katanya pada istrinya.


Dengan rasa penasaran yang tinggi, Pak Dedi memacu vespanya sekencang-kencangnya. Tak peduli apakah sekarang didepannya ada lubang atau bukan. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak; ban depan vespa Pak Dedi pecah karena bergesekan dengan dinding lubang yang tajam. Tak pelak, Pak Dedi lepas kendali. Vespa itu rebah kuda. Pak Dedi terpelanting.
Orang-orang yang ada di tempat itu terkejut. Mereka segera berhamburan ke TKP. Ketika mereka hendak menolong, ternyata tubuh Pak Dedi sudah tak bernyawa lagi.