Senin, 29 Desember 2008

Yogyakarta di Mata Pendatang

Oleh Ronidin

Bagi saya yang bukan warga Yogyakarta, membicarakan kota Yogyakarta yang sering disebut sebagai Kota Tua, Kota Revolusi, Kota Gudeg, Kota Pelajar, dan Kota Budaya ini tentu tak lepas dari jerat perspektif pribadi. Hal ini karena secara empiris, saya baru berinteraksi dengan kota ini selama dua bulan lebih.
Menurut saya banyak ikon yang dapat memperkenalkan keberadaan Yogyakarta kepada orang lain di luar Yogyakarta. Pertama-tama UGM misalnya—dengan nama yang diambil dari seorang patih kerajaan Majapahit yang berhasrat untuk mempersatukan nusantara di bawah panji-panji Majapahit—adalah ikon yang menegaskan bahwa Yogyakarta memiliki sebuah universitas yang—setidaknya—berjiwa seperti Gadjah Mada; berhasrat merangkul semua peserta didik untuk melanjutkan studinya di UGM. Menyatukan mereka dibawah panji-panji UGM yang merupakan universitas yang dilambangkan seperti “gajah” yang “besar” dan “tertua” di Indonesia—refleksi Majapahit. Cita–cita itu agaknya sudah menjadi bagian keseharian UGM hari ini, di mana para mahasiswanya berdatangan dari berbagai daerah di Indonesia bahkan dari luar negeri. Nama Gagjah Mada menjadi sangat populer bagi siapa pun karena memiliki konektisitas historis dengan sebuah kerajaan besar yang pernah ada di negeri ini.
 Akan tetapi, apakah semangat patih Gadjah Mada yang lain: keberanian, ketegasan prinsip, cita-cita keinginmajuan yang besar dan sebagainya sudah pula direfleksikan dalam kesehariannya di universitas yang mengambil namanya; Universitas Gadjah Mada? Ini merupakan sebuah pertanyaan yang perlu direnungkan bagi segenap civitas akademika UGM. Siapa pun tentu tidak ingin UGM menjadi universitas yang hanya berat dinama. Kalau di Padang, sebuah nama yang tidak cocok menyebabkan penyandang nama itu sering sakit-sakitan, lambat berkembang dan solusinya harus mengganti nama itu.
Selain UGM, Yogyakarta juga dikenal di luar dengan Malioboronya. Belum lengkap rasanya kunjungan ke Yogyakarta kalau belum mampir ke Malioboro, menikmati peninggalan sejarah di sepanjang jalan itu, menikmati gudeg Yogyakarta dan membeli kaos khas Malioboro merek Dagadu. Malah ketika saya baru sampai di sini dua bulan yang lalu, teman saya dari Padang mengirimkan SMS menanyakan kalau saya sudah ke Malioboro atau belum. Bagi dia, Yogyakarta adalah Malioboro. Bagi saya, hal ini menunjukkan bahwa begitu kuat ikonitas Malioboro sebagai penanda kota Yogyakarta. 
Dari perspektif historis maupun kebudayaan, keberadaan Malioboro terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Ada tiga lapis stratifikasi Malioboro yang akan terus mengalami perubahan itu sepanjang masa. Pertama, keberadaan Malioboro sebagai garis imajiner (aspek mistis) yang memperhubungkan Kraton Yogyakarta dengan Gunung Merapi di Utara dan Pantai Laut Selatan. Artinya, Kraton Yokyakarta sebagai pusat pemerintahan di Yokyakarta berada dalam lingkaran kawasan Merapi sampai ke Pantai Selatan. Kedua, Malioboro sebagai tempat pusat pemerintahan Yogyakarta (protokoler) karena disepanjang jalur itu terdapat kantor gubernur dan kantor DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yokyakarta. Selain itu kawasan ini juga sebagai kawasan yang merefleksikan kawasan budaya Yogyakarta karena di sepanjang jalur ini sering ditampilkan iven-iven kebudayaan. Ketiga, disepanjang kawasan Malioboro itu telah menjadi pusat perdagangan, baik yang berdagang di emperen maupun di swalayan-swalayan mewah. Kondisi ini tentu saja telah menggubah fungsi kawasan Malioboro sebagai pusat kebudayaan tergeser oleh kepentingan kapitalisme global.  
Kondisi di atas menyebabkan Malioboro menjadi kawasan yang ramai, sumpek dan bising. Setiap hari di Malioboro dapat disaksikan berbagai aktivitas—mungkin saja bagi orang tua-tua yang berdomisili di kawasan itu jelas sekali perubahannya—yang saling berhimpitan. Mobil dan motor yang bersileweran dan saling mendahului, kendaraan tanpa mesin seperti becak yang berebut penumpang, jalur bus Transyogya yang sempit, kawasan pejalan kaki yang hampir tak tersedia, perparkiran di areal pertokoan dan kantor pelayanan publik yang penuh sesak, pedagang kaki lima, dan sebagainya merupakan gambaran Malioboro hari ini sebagai suatu akibat yang dapat diindrakan (tungible). Sedangkan perubahan yang tak dapat diindrakan (intungible) terjadi pada pergeseran nilai-nilai (value) estetis Malioboro sebagai kawasan yang dianggap nyaman dan representatif dalam mengurangi beban psikologis yang dialami seseorang. 
Berikutnya, kota Yogyakarta juga dikenal karena adanya Kraton Yogyakarta. Ketika menyebut kata kraton, maka pemaknaan pertama yang muncul adalah bahwa kraton merupakan simbol sebuah kerajaan atau kesultanan. Ini menunjukkan bahwa dari kraton itulah pemerintahan digerakkan. Artinya, raja adalah kepala pemerintahan. Maka tidaklah mengherankan bila kemudian masyarakat DIY tetap menginginkan sultannya (sekarang Sri Sultan Hmengkubuwono X) menjadi gubernur DIY meskipun masa jabatannya telah habis. Bahkan ke depan, banyak pula suara di DIY—termasuk sultan yang telah menyatakan kesediaannya tanggal 28/10 yang lalu—yang menginginkan Sultan menjadi presiden Republik Indonesia. 
Konsep kraton erat hubungannya dengan raja dan kekuasaan. Maka sebenarnya, sesuai dengan konsep Todorov (1985:11-12): tentang hubungan in prasentia, yaitu hubungan antara unsur-unsur yang hadir bersama; dan hubungan in absentia, yaitu hubungan antara unsur-unsur yang hadir dan unsur yang tidak hadir, jelaslah bahwa Kraton Yoyakarta mengisyaratkan makna kekuasaan itu berpusat di kraton dan Sultan adalah rajanya. Akan tetapi mungkinkah Sultan HB X menjadi raja (presiden RI) mengingat kraton hanya terdapat di Yokyakarta dan Surakarta. 
Apa yang disebut ini juga tidak terlepas dari aspek historis tentang kraton Yokyakarta yang merupakan pecahan dari kerajaan Mataram Baru selain kraton Surakarta. Pangeran Mangkubumi (memangku/memeluk bumi, menurut tafsiran orang Padang) yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono 1 yang menjadi raja pertama di Ngayogyakarta dipercaya sebagai pendiri kraton Yogyakarta telah mewariskan dinasti Sultan Yogyakarta yang hingga kini telah mencapai 10. itu menunjukkan bahwa kesultanan kraton Yogyakarta ini akan terus ada dan “berkuasa”.  


Novel Ayat-Ayat Cinta: Sebuah Tinjauan Pragmatik

Oleh Ronidin

Abstrak

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan terhadap novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Pendekatan pragmatik memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu, nilai-nilai tertentu, atau fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan erat dengan audience (pembaca). Dari hasil analisis yang dilakukan, maka novel AAC memuat beberapa aspek pragmatik. Aspek pragmatik tersebut berpusat pada tokoh Fahri sebagai tokoh sentral yang menggerakkan cerita novel ini yang merupakan refleksi kepribadian islami. Beberapa aktivitas Fahri menjadi bermakna bagi pembaca (secara pragmatik) karena dilandasi dengan sudut pandang Islam. Aspek-aspek pragmatik tersebut di antaranya meliputi: (1) Istikamah dengan prinsip hidup, (2) kesederhanaan Fahri menjalani kehidupannya, (3) sikap menghormat turis nonmuslim, (4) memuliakan tetangga, dan (5) melaksanakan pernikahan secara islami. 

selengkapnya hubungi saya


Selasa, 28 Oktober 2008

Mengapa Tidak Ada ”Kampung Minang”?, Catatan Tambahan untuk Artikel Mathias Pandoe

Dari Padek, Selasa, 28 Oktober 2008
Oleh : Suryadi, Dosen dan Peneliti Pada Universiteit Leiden, Belanda

Menarik membaca artikel Mathias Pandoe, “Minangkabau Boulevart” (sic) yang dimuat Padang Ekspres (Jumat, 24 Oktober 2008). Artikel itu mendiskusikan mengapa perantau Minangkabau di banyak daerah di luar Sumatera Barat, termasuk luar negeri, tidak hidup dalam sebuah enclave seperti beberapa etnis lainnya?

Kalau di banyak kota ditemukan Kampung Cina, Kampung Keling, Kampung Nias, Kampung Bali, Kampung Bugis, dan Kampung Ambon, misalnya, mengapa tidak ada Kampung Minang? Mathias menjelaskan bahwa hal itu disebabkan “orang Minang merantau tidak mengelompok di satu kawasan, tapi menyebar dengan jarak agak jauh satu sama lain”. Tetapi mengapa sifat seperti itu muncul pada orang Minang?

Yang menarik sebenarnya penjelasan historis penulis mengenai hal ini yang, sayangnya, hanya menyinggung sedikit dalam artikel itu. Tulisan ini ingin menokok-tambah sedikit penjelasan historis Mathias yang sepintas lalu itu. Analisis dan interpretasi saya didasarkan atas refleksi terhadap sumber-sumber pertama sejarah yang telah saya baca.

Seperti dikatakan dalam artikel Mathias Pandoe, Kampung Ambon, Kampung Cina, dan banyak kampung yang lain itu sudah terbentuk di kota-kota pantai di Nusantara jauh pada zaman lampau. Ada indikasi bahwa beberapa kampung seperti itu sudah muncul sebelum orang Eropa datang ke Nusantara. Tapi kebanyakan kampung seperti itu terbentuk setelah Orang Eropa, khususnya Belanda, mulai bercokol di Nusantara.

Konsolidasi penjajahan Belanda di Kepuluan Nusantara melalui serikat dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) sejak awal abad ke-17 telah ikut mempengaruhi struktur demografi kependudukan wilayah kepulauan ini.

Banyak kelompok etnis melakukan penghijarahan dari daerah asalnya ke daerah lain, khususnya ke kota-kota pelabuhan. Migrasi itu ada yang dilakukan karena terpaksa (biasanya hal ini terkait dengan tugas militer dan perbudakan) dan ada yang dilakukan secara sukarela (biasanya karena motif ekonomi).

Orang-orang yang melakukan penghijrahan itulah yang membuat kampung-kampung sendiri di tempat mereka yang baru. Dapat dibayangkan bahwa pada waktu itu (abad ke 16-awal abad ke-20) masing-masing etnis yang berpindah tempat itu, atau dengan paksa dipindahkan, sangat merasa asing di daerah mereka yang baru tempat mereka tinggal.

Mereka umumnya tidak bisa berbahasa Melayu, oleh karenanya tidaka bisa berkomunikasi dengan kelompok dari suku lain yang juga berimigrasi ke tempat yang sama. Hal ini berlaku juga bagi ras-ras asing yang datang ke Nusantara, seperti orang India (Keling), Arab, dan Cina. Salah satu cara, dan ini semacam naluri makhluk hidup pada umumnya, adalah tinggal berkelompok di wilayah yang sama di tempat yang baru itu.

Cukup dapat dipastikan bahwa awal terbentuknya kampung-kampung beberapa kelompok etnis dari Indonesia timur di kota-kota Jawa (seperti Batavia dan Surabaya)—seperti Kampung Bali, Kampung Ambon, dan Kampung Bugis—disebabkan oleh pendatangan dan pengiriman budak-budak dari daerah itu ke Jawa. Paling tidak ada tiga tipe budak dari wilayah itu: 1) yang diperdagangkan; 2) yang dibawa paksa oleh Belanda ke Batavia sebagai tenaga kerja; 3) yang dihadiahkan sebagai ‘kado’ oleh raja-raja lokal setempat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.

Masyarakat etnis yang hidup di Indonesia Timur umumnya mengenal kasta sosial paling rendah, yaitu budak. Mereka boleh diperdagangkan dan dihadiahkan. Bila raja-raja mereka mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Raad van India-nya di Batavia, maka setiap surat yang dikirim diiringi dengan ‘buah tangan’ berupa ternak, hasil bumi setempat, dan budak (biasanya disebut abdi, lasykar, bingkisan, dan kiriman).

Simak kutipan kalimat penutup Surat Sultan Bima ke-9, Abdul Hamid Muhamad Syah (1773-1817), kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda berikut ini (garis bawah oleh Suryadi):

“Satupun tiada alamat al-hayat hanyalah pada siang dan malam serta keadaan enam orang abdi laki2 yang tiada sepertinya. Maka yang seperti kuda itu telah sediakan oleh Paduka Raja Bima, mau dikirimkan kepada Tuan Gurnadur Jenderal dengan segala Rat van [I]ndia yang sebagaimana yang telah sudah dibiasakan kepada tahun2 dahulu2.” (Naskah Leiden Or.2240-Ia.2).

Dan di bawah ini kutipan dari kalimat penutup surat Raja Buton ke-26, Muhyiuddin Abdul Gafur (1791-1799):
“Apalah kiranya tanda alamat al-hayat pada akhir al-satarnya hanya dua lapan orang bingkisan kepada Kompeni dan dua orang kiriman kepada Tuan Heer Gurnadur Jenderal, demikianlah adanya.” (Naskah Leiden Or.2240-Ia.44).

Banyak sekali budak ‘buah tangan’ itu yang diterima (petinggi) Kompeni Belanda. Bayangkan saja: setiap surat dibarengi dengan hadiah beberapa orang budak (ada yang sampai 28 orang). Sepanjang abad ke-17, 18, dan 19 ada ribuan surat seperti itu yang dikirim oleh raja-raja lokal di Nusantara kepada Gubernur Jenderal Hindua Belanda di Batavia. Bayangkan jumlah budak yang menyertainya.

Minggu lalu saya membaca surat-surat Raja Bali (Buleleng dan Karangasem) yang tersimpan di Universiteitsbibliotheek Leiden. Rupanya raja-raja Bali juga royal mengirim hadiah budak kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Raja-raja atau penghulu Minang dulu kalau mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia menyertai emas sebagai buah tangan, bukan budak. Simak kutipan kalimat penutup surat Panglima Raja di Hilir, Penghulu Kepala kota Padang di bawah ini (garis bawah oleh Suryadi):

“Syahdan maka adalah dipesertakan dengan burhan al-wujud sezarah ini tuhfah haluan daripada yang diperhamba Panglima serta penghulu2 yang dua belas serta istiadat yang dibiasakan keadaannya lima belas tahil mas kepala, serta kami minta selamat sekalian jenis kebajikan dan kesentosaan Tuan Gurnadur Jenderal dan sekalian Tuan Raden van India” (Naskah Leiden Or.2241-IIb 1; 13 Maret 1792).

Dan—he he, tanda si Padang pelit (cimpilik kariang?)—Panglima Raja di Hilir seringkali hanya bilang “dengan hati putih” saja, tanpa dibarengi ‘kado’ lagi, seperti dapat dikesan dalam kutipan suratnya di bawah ini (garis bawah oleh Suryadi):

“Sekarang suatupun belum apa2 persembahan daripada kami melainkan hanya hati putih selamat dengan segala jenis kebajikan Tuan Gurnadur Jenderal dan segala Tuan orang besar [Raad] van India serta sekalaian umur panjang jua adanya.”(Naskah Leiden Or.2241-IIb 4; 28 Maret 1794).

Umumnya penghijrahan orang Minang dilakukan secara spontan—satu ciri merantau orang Minang yang khas (Naim 1979). Satu keuntungan lagi: orang Minang rata-rata bisa berbahasa Melayu, yang di zaman lampau disebut sebagai “bicaro gaduang”. Oleh sebab itu para perantau Minang tidak sulit berkomunikasi dengan kelompok-kelompok etnis yang sudah lebih dulu bermastautin di bandar-bandar Nusantara yang memang sudah menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca dalam komunikasi antaraetnis. Sifat independen nagari-nagari di Minangkabau juga ikut mempengaruhi kohesi sosial antara sesama orang Minang di rantau.

Faktor-faktor di atas—sifat-sifat internal kebudayaan Minangkabau sendiri dan juga faktor kebahasaan—tidak saja mempengaruhi jenis pekerjaan yang disukai orang Minang di rantau, tetapi juga mempengaruhi cara mereka hidup dengan sesamanya dan dengan orang-orang dari kelompok etnis lain. ***

Kamis, 04 September 2008

Beberapa Aspek Pragmatik Novel Ayat-Ayat Cinta

Novel Ayat- Ayat Cinta ini disebut oleh penulisnya sebagai novel dakwah. Tidak berlebihan karena memang begitulah adanya. Hadi Susanto dalam prolog novel ini juga mengatakan hal yang sama. Pengarang AAC berhasil menyampaikan pesan-pesan moral dan dakwah secara halus sebagai bagian dari cerita. Pesan-pesan itulah—yang bersifat mendidik dan membina—jika dipandang dari sisi pragmatik, memberi manfaat kepada pembaca.
Bila diinterpretasi lebih jauh, novel karya Habiburahman El Shirazy yang merupakan sarjana Universitas Al Azhar Kairo, Mesir ini memuat beberapa aspek pragmatik. Aspek pragmatik tersebut di antaranya meliputi:

1. Istikamah Mempertahankan Prinsip Hidup
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istikamah berarti teguh pendirian dan selalu konsekuen. Istikamah merupakan prinsip hidup yang harus dimiliki seorang muslim. Prinsip ini mencerminkan identitas berislam yang sesungguhnya. Seorang muslim yang teguh pendirian dan konsekuen tidak akan mudah berubah pikiran maupun perbuatan ketika dihadapkan pada berbagai godaan kehidupan yang bersifat duniawi. Prinsip seperti inilah yang dimiliki oleh Fahri, tokoh utama dalam novel AAC ini.
Pertama-tama, Habiburahman El Shirazy melalui tokoh Fahri ingin mengukuhkan prinsip bahwa hubungan laki-laki dan perempuan belum halal sebelum akad nikah dilaksanakan. Laki-laki dan perempuan tidak boleh saling bersentuhan, apalagi berpelukan, berdekatan atau berdua-duaan tanpa mahram sebelum ijab kabul diucapkan mempelai laki-laki. Hal ini merupakan prinsip hidup yang didasari oleh Al-Quran dan sunah rasul. Fahri memegang teguh prinsip ini. Keteguhan itu dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Ku mohon turunlah dan usaplah air matanya. Aku paling tidak tahan jika ada perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon. Andaikan aku halal baginya tentu aku akan turun mengusap airmatanya dan membawanya ke tempat yang jauh dari linangan air mata selama-lamanya” (hal 76).

Teks di atas memberi gambaran bahwa Fahri teguh dengan prinsipnya untuk tidak menyentuh dan berduaan dengan perempuan yang bukan mahramnya meskipun Fahri dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk menolong Noura. Di satu sisi, Fahri tidak tega melihat Noura disiksa oleh ayahnya. Sedangkan di sisi lain, Fahri tidak mungkin turun menolong gadis itu yang menangis sendirian memeluk tiang lampu karena tidak halal baginya. Atas dasar itulah Fahri meminta Maria turun dari apartemennya untuk menolong Noura.
Berikutnya, keteguhan Fahri menghadapi godaan perempuan terlihat ketika Maria—seorang gadis koptik yang cantik dan menggairahkan—mengajaknya berdansa. Perhatikan kutipan berikut:

“…Maafkan aku Maria. Maksudku aku tidak mungkin bisa melakukannya. Ajaran Al-Quran dan Sunnah melarang aku bersentuhan dengan perempuan kecuali dia istri atau mahramku. Kuharap kau mengerti dan tidak kecewa!” terangku tegas. Dalam masalah seperti ini aku tidak boleh membuka ruang keraguan yang membuat setan masuk ke dalam aliran darah” (hal 133).

Fahri tidak bisa berdansa dengan Maria yang bukan istri atau mahramnya. Fahri secara tegas—tanpa keraguan—menolak ajakan Maria tersebut. Apalagi bagi Fahri dansa adalah budaya Eropa yang tidak sejalan dengan budaya Islam. Prinsip Fahri ini jika dibandingkan sangat kontras dengan sebagian anak muda Islam sekarang yang justru berlomba-lomba mencari pasangan kencan, lalu mengajaknya berdansa atau bergoyang. Bagi mereka yang suka hidup glamour seperti itu, sosok seperti Fahri dianggap kolot, aneh, dan tidak mengikuti perkembangan zaman.
Ketegasan prinsip Fahri juga nampak ketika ia sakit. Waktu itu Fahri amat marah mendapati dirinya berduaan dengan Maria ketika ia terbaring lemah di rumah sakit. Menurut Dr. Yusuf Al Qardawi, menjenguk orang sakit disyariatkan oleh Islam meliputi penjengukan wanita kepada laki-laki, meskipun bukan muhrimnya, dan laki-laki kepada wanita. Tetapi suatu hal yang tidak diragukan ialah bahwa menjenguknya itu terikat dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan syara', bersopan santun sebagai muslimah dalam berjalan, gerak-gerik, memandang, berbicara, tidak berduaan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa ada yang lain, aman dari fitnah, diizinkan oleh suami bagi yang bersuami, dan diizinkan oleh wali bagi yang tidak bersuami.
Ketika itu yang menjaga Fahri adalah Saiful, temannya sesama mahasiswa. Namun, karena Saiful belum makan dan mandi sejak semalam dan kelihatan letih, dia digantikan Maria yang kebetulan datang menjenguk Fahri. Maria menyuruh Saiful makan dan membersihkan diri. Maria sendiri menemani Fahri yang masih pingsan di kamar rumah sakit itu. Ketika Fahri sadar dari pingsannya dan melihat Maria menunggui dirinya sendirian tanpa Saiful, ia marah. Kepada Saiful yang masuk sehabis makan dan membersihkan diri ia berujar:

“Saif, kenapa kau tinggalkan aku sendirian dengan Maria? Kenapa dia yang menungguiku? Dia bukan mahramku.” Aku memaksakan diri untuk bersuara agak keras. Saiful sepertinya tahu kalau aku marah dan tidak berkenan” (hal 177).

Kutipan ini menunjukkan bahwa Fahri kukuh dengan prinsipnya. Antara laki-laki dan perempuan yang belum dalam ikatan pernikahan tidak diperkenankan berdua-duaan. Meskipun Fahri sedang sakit dan membutuhkan seseorang untuk menjaganya, ia menolak dijaga oleh perempuan yang bukan mahramnya. Hal ini diingatkan pengarang ketika menyadari bahwa sekarang amat banyak pemuda Islam yang mudah terjerumus kenistaan. Banyak laki-laki atau perempuan saat ini ketika sakit ditunggui oleh pacarnya, atau kemana-mana selalu berdua seperti pasangan suami istri. Padahal mereka belum halal melakukan itu.
Selain konsekuen terhadap prinsip hubungan laki-laki dan perempuan, Fahri juga konsekuen dan tegas dengan suap-menyuap. Baginya menyuap dan disuap adalah haram; kedua-duanya masuk neraka.
Persolan suap menyuap ini muncul ketika Aisha—istri Fahri—ingin membebaskan Fahri dari penjara dengan menyuap hakim. Aisha yang orang kaya tidak ingin kehilangan Fahri suaminya. Ia akan melakukan apa saja untuk membebaskan Fahri dari penjara termasuk menyuap hakim, walaupun secara terpaksa. Akan tetapi, apa yang direncanakan Aisha ditolak mentah-mentah oleh Fahri. “Lebih baik aku mati dari pada melakukan itu,” katanya (hal 358). Fahri mengatakan kepada istrinya bahwa mereka harus teguh dan komitmen memegang keyakinan dan kebenaran dalam kondisi seperti apa pun.
Pengarang melalui novel ini meyampaikan pesan kepada pembaca bahwa suap menyuap, sogok menyogok, KKN adalah perbuatan yang harus dijauhi oleh umat muslim apalagi bagi mereka yang terpelajar/mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dalam Islam. Dalam hal ini, Habiburrahman melalui tokoh Fahri menyampaikan:

“Jika aku yang telah belajar di Al Azhar sampai merelakan istriku menyuap, maka bagaimana dengan mereka yang tidak belajar agama sama sekali. Suap menyuap adalah perbuatan yang diharamkan dengan tegas oleh Baginda Nabi. Beliau bersabda, ‘Arraasyi wal murtasyi fin naar!’ Artinya, orang menyuap dan disuap masuk neraka!” (hal. 359).


2. Interaksi Sosial Menurut Islam
Selain konsekuen dengan prinsip-prinsip hidupnya, Fahri juga merupakan sosok yang dikagumi dan dituakan oleh teman-temannya. Dalam interaksi kesehariannya, sosok Fahri dikenal teman-temanya sebagai pemuda yang berjiwa besar, toleran, dan amat menghormati orang lain. Ia menunjukkan bagaimana seorang muslim harus berbuat, bersikap atau berprilaku terhadap orang lain sesuai dengan tuntunan Al Quran dan sunnah rasul.

A. Sikap Terhadap Turis Nonmuslim
Suatu ketika Fahri membela tiga orang turis Amerika yang dilecehkan/dizhalimi oleh beberapa pemuda Mesir beragama Islam di atas sebuah metro (kereta api). Para pemuda itu tidak senang dengan keberadaan turis Amerika itu karena dianggap sebagai turis kafir dan tidak beradab—mereka berpakaian you can see saja. Orang Amerika dianggap menjadi biang kerusakan moral masyarakat Timur Tengah termasuk Mesir. Ketiga turis itu dilaknat, dihina dan disumpah-serapahi. Untung saja ketiganya tidak mengerti bahasa Arab, sehingga mereka biasa-biasa saja dan tidak tidak merasa tersinggung mendapatkan perlakuan itu.
Akan tetapi, bagi Fahri yang menyaksikan kejadian itu dan mendengarkan hinaan para pemuda Mesir kepada turis Amerika itu, merasa terpanggil untuk mengambil sikap, tidak tinggal diam saja. Ia maju menyampaikan kebenaran. Ia membela turis-turis Amerika itu karena menurut Islam mereka adalah tamu bagi orang-orang Mesir tersebut. Dan tentu saja, menurut pandangan Islam, tamu haruslah dihormati. Fahri mengatakan bahwa ketiga turis itu adalah ahlu dzimmah. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Ahlu dzimmah adalah semua non muslim yang berada di dalam negara kaum muslimin secara baik-baik, tidak illegal, dengan membayar jizyah dan mentaati peraturan yang ada dalam negara itu. Hak mereka sama dengan hak kaum muslimin. Darah dan kehormatan mereka sama dengan darah dan kehormatan kaum muslimin. Mereka harus dijaga dan dilindungi. Tidak boleh disakiti sedikit pun. Dan kalian pasti tahu, tiga turis Amerika ini masuk ke Mesir secara resmi. Mereka membayar visa. Kalau tidak percaya coba saja lihat paspornya. Maka mereka hukumnya sama dengan ahlu dzimmah. Darah dan kehormatan mereka harus kita lindungi. Itu yang diajarkan Rasulullah Saw” (hal. 50).

Selanjutnya Fahri juga membaca beberapa hadis nabi tentang kewajiban melindungi tamu asing. Nabi mengancam bahwa barang siapa yang menyakiti ahlu dzimmah, maka ia telah menyakiti nabi dan menyakiti nabi berarti menyakiti Allah. Selain itu mereka juga akan menjadi seteru nabi di akhirat. Apa yang disampaikan Fahri ini ternyata menyentuh hati para pemuda Mesir tersebut. Mereka menyadari kekeliruannya. Mereka dapat menerima apa yang disampaikan oleh Fahri. Mereka lalu beristigfar berkali-kali.
Dengan demikian, nampaklah bahwa pengarang novel AAC ini ingin menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa sebagai seorang muslim harus mampu menghargai tamu asing, menjaga kehormatan mereka tanpa melihat perbedaan agama dan kebudayaan. Begitu sikap berislam yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.

Bersambung ....

Minggu, 27 Juli 2008

Dilarikan Cindaku

Sudah seminggu Mamad tidak pulang. Ia pergi tanpa meninggalkan pesan. Ibunya yang dibantu oleh orang-orang sekampung sudah mencari ke mana-mana. Hasilnya nihil. Mamad tak ditemukan. Ia hilang seperti ditelan bumi. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan ke mana hilangnya bocah itu. Jejaknya pun tidak ditemukan. Kata orang-orang yang mencarinya, kemungkinan Si Mamad dilarikan cindaku.

Siang hari sebelum menghilang, Mamad masih bermain kancil-kancilan bersama Nuan, Jali, Ayuk dan Garende di kebun belakang rumahnya. Ketika teman-temanya itu ditanyai ke mana perginya Si Mamad, mereka menjawab tidak tahu. Mereka cuma memberi penjelasan bahwa selesai bermain kancil-kancilan, Mamad masih berada di kebun itu sendirian. Katanya dia mau istirahat sebentar sambil tidur-tiduran. Sedangkan yang lain pergi mandi-mandi ke sungai.

Sampai sore dan bahkan malam Mamad tak pulang. Tidak biasanya ia begitu. Seasyik-asyiknya bermain, kalau sudah pukul empat, ia pasti akan balik ke rumahnya dan mandi. Setelah itu bersiap-siap untuk pergi mengaji ke surau. Begitu setiap harinya.

Ketidakpulangan Mamad membuat ibunya risau. Wanita separuh baya itu lalu mencari putra semata wayangnya itu. Mencarinya di kebun dan menanyai teman-teman bermainnya. Namun, sampai menjelang jam sembilan malam, Mamad pelum juga ditemukannya. Wanita itu mulai khawatir dan kalut. Untunglah para tetangga dibantu oleh Nuan, Jali dan teman-teman bermain Si Mamad yang lain membantu mencari. Mereka menelusuri kebun di belakang rumah Si Mamad yang memang berbatasan langsung dengan hutan di sebelah selatannya. Karena keterbatasan alat penerangan, pencarian malam itu tidak dilanjutkan ke hutan.

Malam itu Mamad tak berhasil ditemukan. Pencarian dilanjutkan pagi harinya. Kali ini yang mencari semakin bertambah banyak, dikordinir oleh kepala kampung. Para pencari mulai menelusuri hutan di sekitarnya. Menelusuri jalan setapak yang biasanya di lalui warga untuk mencari kayu dan hasil-hasil hutan lainnya. Namun, sejauh perjalanan, rombongan itu tak menemukan apa-apa. Bahkan tanda-tanda yang menunjukkan ke mana hilangnya Si Mamad pun tidak ditemukan sama sekali.

Hari itu Mamad tak ditemukan. Kampung Siguntang di sekitar Lereng Gunung Talang itu menjadi geger. Orang-orang mulai menduga-duga. Ada yang berpendapat Si Mamad diculik oleh orang yang membutuhkan kepala manusia untuk tumbal pembuatan jembatan. Ada pula yang menduga Si Mamad dilarikan Harimau atau cindaku. Tidak ada yang tahu ke mana sebetulnya Si Mamad. Ibunya Si Mamad kelihatan seperti orang setengah gila, bingung, tak tahu apa yang harus dikerjakannya.

Berita hilangnya Si Mamad sampai ke tangan polisi. Polisi pun kemudian membentuk tim untuk membantu mencari Si Mamad. Tetapi, sampai hari ketiga, tetap tak ditemukan apa-apa. Orang-orang yang mencari mulai kendor semangatnya. Ke mana lagi mereka harus mencari. Seluruh pelosok kampung termasuk sepanjang aliran sungai sudah dilacak. Setiap jengkal hutan telah ditelusuri. Tetap saja Si Mamad tak ditemukan. Aneh memang. Semua berada di luar jangkauan akal penduduk kampung Siguntang.

Hari keempat, ibu Si Mamad masih saja mencari dibantu orang-orang terdekatnya. Tetap juga tak ada tanda-tanda Mamad akan ditemukan. Malah justru beredar kabar yang tidak tahu siapa yang menyebarkannya bahwa memang Si Mamad dilarikan cindaku. Pada sore hari sebelum Si Mamad hilang ada yang melihatnya berjalan dengan seseorang yang berambut panjang tergerai. Baunya wangi. Orang itu tidak mau memperlihatkan mukanya. Hanya membelakang saja. Ia berjalan menuju hulu sungai sambil menggandeng tangan Si Mamad. Ketika diikuti, orang itu secepat kilat menghilang, termasuk Si Mamad.

Hari-hari berikutnya pembicaraan orang tentang Si Mamad yang dilarikan cindaku semakin meluas. Bahkan teman-teman bermain Si Mamad pun turut meramaikan berita itu.

“Ada yang melihat Si Mamad berjalan ke hulu sungai dengan wanita berambut panjang waktu itu,” kata Garende pada ibunya.

“Siapa yang lihat?” tanya ibunya.

“Ndak tahu,” jawab Garende

“Kalau tak tahu, tak usang ngomong. Bisa-bisa kamu nanti ditanyai polisi,” nasehat ibunya.

“Saya dengar, orang-orang di lapau Uwo ngomongnya begitu.”

“Ssst... jangan diteruskan. Itu namanya gosip. Tidak baik. Orang muslim tidak boleh menggosip. Kamu tidak kasihan melihat ibunya Si Mamad. Dia sangat sedih dengan peristiwa ini. Kamu jangan menambah penderitaannya lagi.”

“Iya... saya ngerti kok, Bu!” jawab Garende sambil menatap ke depan tanpa berkedip. Dari kejauan ia melihat sesuatu berjalan ke arahnya. Garende mengucek-ngucek matanya. Tidak ada yang salah. Dia mencubit lengannya. Sakit. Berarti ia tidak bermimpi.

“Ada apa?” tanya ibunya

“Bu, lihat!” sambil menunjuk. “Bukankah itu Si Mamad,” katanya tak yakin.

Ibunya melihat ke arah yang ditunjukkan anaknya. Benar. Nun di depan sana ia melihat sesuatu yang membuat dadanya berdebar. Si Mamad dengan gaya berjalannya yang khas, menuju kearah mereka.”Benar itu Si Mamad?” katanya tak percaya.

“Benar, Bu...” jawab Garende yang langsung berlari ke arah Si Mamad. “Mamad, ke mana saja kamu. Kami semua mencemaskanmu. Ibumu apalagi. Telah seminggu ini kami mencarimu ke sana-kemari. Malah ada yang mengatakan kamu dilarikan cindaku,” kata Garende tanpa dapat dibendung.

“Aku pergi ke kota dengan Bapakku,” jawab Si Mamad tanpa dosa.

“Kenapa kamu tidak titip pesan?” kali ini ibunya Garende yang bertanya.

“Sudah... sama nenek,” jawan Si Mamad. “Waktu itu, kita kan main-main di kebun, lalu kalian pergi mandi. Aku tinggal sendirian. Saat itulah, Bapakku datang. Beliau mengajakku pergi ke kota. Ya sudah. Aku pergi, deh! Karena ibuku tidak ada di rumah, aku titip pesan saja sama nenek. Berarti nenek tidak menyampaikan pesanku kali, ya” jawab Si Mamad.

“Bagaimana nenekmu akan menyampaikan pesanmu, dia kan sudah pikun!” kata Garende.

“Sssttt...”

Kamis, 10 Juli 2008

Mesjid Serumpun Kayu

Oleh Ronidin

Meskipun kadang-kadang kehabisan bahan, aku dan ibunya anak-anak mesti harus mendongeng untuk dua orang buah hati kami sehabis makan malam menjelang tidurnya. Mendongeng sudah menjadi janji harian kami pada mereka ketika jam menonton tivi dikurangi.

Mulanya memang berat. Anak-anak sudah terlanjur akrab dengan tokoh dan idola mereka di televisi. Bagi mereka Spiderman, Power Rangers, Batman, Sincan, Dora Emon, dan lain-lain jauh lebih perkasa dibandingkan tokoh-tokoh yang kami dongengkan.

Akan tetapi, ketika kami sudah mendongengi mereka setiap hari dengan berbagai variasi cerita, perlahan-lahan mereka mulai menyenangi dongeng. Malah, justru mereka akan menagih kalau kami emoh mendongeng pada waktu itu.

Seperti pada malam itu, aku tidak bisa mengelak ketika kedua anakku itu memaksaku untuk mendongeng. Aku sedang tidak mood dan kehabisan bahan, sementara ibunya tidak bisa diganggu karena sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk ujian siswanya besok.

Aku berpikir keras apa yang akan aku dongengkan. Hampir semua stok cerita yang aku punya rasanya sudah aku ceritakan pada mereka.

“Ayolah, Yah, mana dongengnya? Katanya Ayah jago dongeng di planet ini?” Anakku yang sulung tidak sabar lagi.

“I ya, Sayang. Ayah sedang berpikir untuk mulai dari mana,” kilahku. Aku masih belum menemukan cerita yang akan aku sampaikan pada mereka. Tiba-tiba telepon rumahku berdering. Aku bangkit, minta izin pada anakku untuk mengangkat telepon tersebut.

Telepon kuangkat, ternyata dari ibuku, dari kampung; mengabarkan bahwa panen padi tahun ini berhasil dengan gemilang. Acara panenan akan disaksikan oleh bupati. Akan ada pesta rakyat. Aku di minta pulang membawa anak-anak.

Aku iyakan permintaan Ibu. Kuberitahu anak-anak. Mereka senang bukan kepalang.

Namun, setelah itu, tetap saja mereka menagih dongengku untuk malam ini.

Aku kembali berpikir, mengingat-ingat sesuatu. Pikiranku melayang-layang hingga akhirnya aku dibawa ke masa lalu, ke kampung. Aku ingat almarhum ayahku yang juga guru ngajiku. Aku ingat masa-masa kecilku di surau. Selesai mengaji, ayahku akan meminta beberapa murid laki-laki untuk memijiti kakinya. Sebagai imbalannya, ayahku akan bercerita; kadang dongeng, kadang cerita nabi, kadang cerita perang, kadang cerita asal-usul segala sesuatu yang ada di nagari kami.

Sebentar kemudian aku menemukan cerita untuk anak-anakku yang menunggu. Nah, inilah kisahnya.

***

Dulu, kampungku belum punya nama seperti sekarang. Bukan hanya tidak punya nama, tetapi juga belum diakui sebagai sebuah kampung (orang-orang kami menyebutnya nagari). Apa pasal? Karena kampungku belum memiliki mesjid.

Untuk diakui sebagai sebuah nagari mesti ada wilayah yang akan didiami, ada penduduk, ada pandan perkuburan, mesti ada tempat pemandian, ada tempat bermusyawarah (balai adat), ada pasar tempat berjual beli dan mesjid. Dari semua itu hanya mesjid yang belum ada.

Maka diadakanlah musyawarah oleh warga. Agendanya tunggal: rencana pembangunan mesjid.

Dalam musyawarah itu setiap warga bebas mengemukakan pendapatnya. Maka bermunculanlah banyak ide. Ada yang mengusulkan mesjid dibangun dekat dengan tempat pemandian. Ada yang ingin mesjid didirikan di atas tanah kaum mereka. Ada yang mengusulkan mesjid dibangun dekat pasar, atau di tengah-tengah kampung, dan pendapat lainnya.

Rapat jadi berlarut-larut. Hingga menjelang tengah malam belum juga dicapai kata sepakat di mana dan dengan cara apa mesjid akan dibangun.

Maka mengajukan dirilah seorang anak muda untuk memberikan pendapat. Anak muda itu dikenal warga sebagai seorang yang shaleh dan banyak kepandaian. Tidak diketahui siapa nama anak muda itu sebenarnya, tetapi orang-orang memanggilnya Katik Mudo. Ia baru beberapa bulan ini kembali dari Aceh belajar agama.

“Bapak-bapak, Ibu-ibu, niniak mamak, urang sumado, semuanya, izinkan saya mengemukan pendapat,” katanya.

“Silahkan!” jawab pimpinan rapat.

“Begini, kita kan punya aliran sungai. Meskipun airnya tidak terlalu deras tapi bisa kita pakai untuk menghanyutkan sesuatu dari hulu. Bagaimana kalau sungai itu kita bendung di hulu. Lalu dengan air yang kita bendung itu kita hanyutkan sebatang kayu besar ke kampung ini. Kayu yang kita hanyutkan itu kalau bisa sebatang utuh. Tidak ada yang dibuang kecuali akarnya bila kita tebang. Jika ada yang bisa mencabut kayu besar itu dengan akar-akarnya maka semuanya kita hanyutkan,” kata Katik Mudo sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

“Lalu,” kata peserta rapat yang lain.

“Kita biarkan kayu itu hanyut sampai sejauh yang dikehendaki Allah. Di mana kayu itu berhenti, maka di sanalah kita akan membangun mesjid,” lanjut Katik Mudo.

Semua peserta musyawarah saling pandang. “Ide yang bagus dan cemerlang, kenapa tidak kita coba,” kata seorang tua dari belakang.

“Ya, ide yang kita tunggu-tunggu,” kata yang lain menimpali.

“Kalau begitu, agaknya musyawarah kita malam ini sudah bisa mengambil kata sepakat,” ujar pimpinan musyawarah.

Semua mengangguk setuju.

Begitulah, musayawarah malam itu diakhiri dengan keputusan seperti yang diusulkan Katik Mudo.

Selesai musyawarah, sebagian warga langsung pulang. Sebagian lagi masih bertahan di ruang musyawarah itu. Berbicara ini dan itu. Ada yang memuji usulan Katik Mudo. Ada yang berharap agar kayu yang kelak akan dihanyutkan berhenti di dekat tanah kaum mereka atau di dekat rumah mereka. Tetapi ada juga yang cemas jika kayu itu tidak berhenti di kampung mereka dan terus ke kampung sebelah.

Katik Mudo sejak tadi sudah mohon diri. Pulang ke pondoknya di ikuti oleh beberapa orang anak muda; murid-murid mengaji Katik Mudo.

Malam kian larut.

Aku melihat kedua anakku. Rupanya mereka sudah tertidur. Untuk malam ini cerita tentang kampungku kupenggal sampai di situ. Besok dilanjutkan. Aku angkat mereka ke kamarnya. Kubaringkan di tempat tidurnya. Kuselimuti. Kubisikkan ke kupingnya doa akan tidur. “Selamat tidur, Sayang,” kataku sambil beranjak menemui ibunya yang masih larut dalam pekerjaannya.

***

“Lalu setelah rapat malam itu, apa yang dilakukan masyarakat, Yah? Bagaimana dengan Katik Mudo?” tanya anakku ketika malam ini kembali aku harus mendongeng melanjutkan yang kemarin.

“Menurut kamu apa yang akan mereka lakukan?” tanyaku memancing animonya.

“Aku tidak tahu. Nanti kalau aku kira-kira nggak mecing dengan cerita Ayah. Ayo dong, lanjutkan ceritanya!” jawabnya.

Maka aku lanjutkan kisahnya. Ini dia....

Besoknya mulailah masyarakat bekerja dengan bergotong-royong. Semua warga turun; laki-laki perempuan, tua muda. Mereka meninggalkan pekerjaan pribadi masing-masing.

Pertama-tama mereka membersihkan kawasan hulu yang akan dibendung. Dalam waktu yang tidak lama kawasan itu telah bersih. Siap untuk dibendung.

Air sungainya kelihatan bersih. Ikan-ikan berlarian di dalamnya dengan damai tanpa ada seorang pun warga yang mengganggu apalagi menangkapnya. Memang sudah menjadi kesepakatan warga di kampung itu bahwa segala sesuatu yang bukan milik pribadi (artinya milik nagari) maka untuk mengambilnya harus dengan kesepakatan bersama melalui musyawarah.

Pekerjaan dilanjutkan dengan mengumpulkan batu. Batu-batu itulah yang akan dipakai untuk membendung sungai. Setelah air sungai terbendung, maka dengan kekuatan air yang dibendung itulah nanti kayu akan dihanyutkan.

Semua warga bekerja dengan penuh semangat. Laki-laki berdua atau bertiga mengangkat atau menggulingkan satu batu. Ada juga yang mengangkat satu batu seorang diri. Ibu-ibu dan gadis-gadis dengan cekatan bekerja di dapur umum menyiapkan santap siang. Beberapa tetua nagari masuk ke hutan mencari kayu yang akan ditebang atau dicabut jika ada bisa melakukannya.

Katik Mudo juga larut dalam pekerjaannya. Mulanya ia ikut mengangkat batu, tetapi kemudian oleh Sutan Penghulu, ia dipanggil untuk membantu mencari kayu yang cocok.

Rombongan tetua nagari dan Katik Mudo memeriksa kayu-kayu yang tumbuh perkasa di hutan itu. Mereka mencari kayu yang memungkinkan sebatang saja untuk keperluan perkayuan mesjid. Beberapa kayu sudah diperiksa dan dipatut. Banyak kayu bagus dan kuat yang ada di hutan itu, sehingga untuk memilih satu di antaranya rombongan tersebut mesti bermusyawarah dulu.

Akhirnya didapati kata sepekat bahwa kayu yang akan diambil adalah yang paling besar dan paling kuat yang tumbuh di tebing dekat sungai yang sedang dibendung. Kalau diambil di tempat lain, takutnya akan susah ditarik ke sungai. Jika yang ditebing, bisa bersama-sama ditarik langsung ke arah sungai ketika ditebang. Lebih mudah.

Diperiksalah kayu itu oleh oleh rombongan tetua nagari dan Katik Mudo. Ternyata cocok. Cuma, di atas kayu itu bersarang ribuan burung dan kelelawar. Ada pula

beberapa ekor ular meliliti cabang pohon itu. Tidak beberapa jauh dari pohon itu mengaum pula seekor induk harimau sedang menjilati dua ekor anaknya.

Para tetua nagari menjadi kecut. Takut kalau harimau itu menerjang dengan tiba-tiba. Sutan Penghulu meraba goloknya. Begitu juga yang lain.

Katik Mudo kemudian maju ke depan dan berseru, “Wahai segala makhluk Allah yang ada di sekitar pohon ini, apakah kami boleh mengambil pohon ini untuk dijadikan perkayuan mesjid. Kami tahu pohon ini telah menjadi sarang kalian entah sejak kapan. Jika kami diizinkan untuk mengambil pohon ini, maka berilah tanda. Jika tidak, kami akan cari pohon yang lain.”

Suasana hening. Orang-orang yang sedang bekerja sejenak berhenti. Mereka mendengar suara Katik Mudo bagai kilatan yang begitu menggetarkan.

Sampai menjelang sore tidak ada tanda. Para tetua nagari tidak ada yang berani mendekati pohon itu. Katik Mudo dan yang lain menunggu dengan sabar. Akhirnya diputuskan bahwa pekerjaan dilanjutkan besoknya. Orang-orang pulang ke rumah masing-masing.

Ceritaku sampai di sini, kulihat kedua anakku sudah tertidur. Kuminta ibunya mengangkatnya ke kamar. Aku ke kamar kecil. Berwudhuk, lalu sholat Isya.

***

Malam ini aku tidak bisa mendongeng buat anak-anakku. Aku ada pekerjaan tambahan di kantor hingga sampai sekarang pun belum kelar juga. Kutelepon istriku untuk melanjutkan cerita yang kemarin masih belum selesai.

Kuberitahu ia lanjutan ceritanya sekilas. Sesungguhnya ia sudah pernah mendengar cerita tersebut dariku, dulu, ketika kami masih belum punya anak. Jadi, sebelum ke anak, aku sudah mendongeng ke ibunya terlebih dahulu.

Aku membayangkan, maka ibunya anak-anakku akan melanjutkan cerita itu seperti ini:

Malam itu Kepala Kampung bermimpi. Pohon itu boleh diambil dengan syarat masyarakat tidak mengganggu para penghuni hutan. Mereka tidak boleh diburu, apalagi dibunuh dengan semena-mena.

Kepala Kampung menyatakan setuju. Ia akan menyampaikannya kepada seluruh warganya perjanjian itu.

Paginya semua warga telah berkumpul di balai adat. Mereka akan kembali bekerja atau bagaimana. Menunggu perintah dari Kepala Kampung. Lalu Kepala Kampung menyampaikan perihal mimpinya kepada seluruh yang hadir. Mereka setuju. Maka kembalilah mereka melanjutkan pekerjaan kemarin yang masih terbengkalai.

Ketika sampai di hutan, ternyata seluruh rombongan tetua nagari dan Katik Mudo mengalami mimpi yang sama malam tadi. Mereka lalu berikrar akan memegang teguh janji itu.

Sesampai di dekat pohon yang akan diambil itu, ternyata seluruh penghuninya sudah tidak ada lagi di situ kecuali seekor harimau besar, tidak tiga seperti kemarin. Harimau itu mengendus-endus dan pergi ke hadapan Katik Mudo. Ia mengulurkan kaki depannya.

Katik Mudo agak bingung. Tetapi kemudian ia memberanikan diri menyambut kaki harimau itu. Mereka seperti orang bersalaman. Selanjutnya harimau itu menggerak-gerakkan ekornya beberapa kali, lalu pergi meninggalkan Katik Mudo dan rombongan tetua nagari yang bingung. Harimau itu mengaum, lalu menghilang di balik rimbunan pohon.

“Maha suci, Allah. Mudah-mudahan ini pertanda baik,” ujar Katik Mudo

“Mudah-mudahan demikian, Angku Mudo,” jawab Mak Labai. “Jadi bagaimana, kita tebang pohon ini sekarang?” lanjutnya.

“Bagaimana Mak Sutan, kita tebang sekarang?” tanya Katik Mudo.

“Baiklah kalau begitu. Siapa yang akan menebang?” tanya Sutan Penghulu.

“Bagaimana kalau aku saja,” Mak Labai menawarkan diri.

“Baik, silahkan!” kata Sutan Penghulu.

Mak Labai mengeluarkan kapak dari keranjangnya. Mata kapaknya berkilat-kilat terkena cahaya matahari. Kayu-kayu kecil di sekitar rumpun pohon itu dipangkasnya. Katik Mudo dan yang lain memperhatikan dengan seksama.

Mak Labai membaca Basmallah. Lalu mengayunkan kapaknya. Mata kapak yang tajam itu mengenai kulit pohon itu. Tidak tejadi apa-apa, kulit pohon itu tidak tergores sama sekali. Malah justru Mak Labai yang terjejar beberapa langkah ke belakang. Dicobanya lagi, lagi dan lagi, tetap sama. Kapak Mak Labai seperti membentur dinding tembok yang keras. Mak Labai akhirnya menyerah. Ia tidak sanggup lagi. Seluruh tubuhnya mandi keringat.

Kapak diambil Mak Sutan Penghulu. Ia melakukan seperti yang tadi dilakukan Mak Labai. Sama. Pohon itu tak bergeming. Lalu, anggota rombongan yang lain juga mencoba, termasuk Katik Mudo. Hasilnya sama. Pohon itu tak mempan dikapak. Sampai siang pohon itu masih seperti sedia kala.

“Bagaimana ini?” seru mereka.

“Kita minta dulu petunjuk Yang Kuasa,” kata Katik Mudo. “Mari kita sholat Zuhur dan berdoa bersama!”

Mereka lalu sholat Zuhur.

Cerita sampai di situ dulu. Istriku tidak melanjutkan karena anak-anak sudah tidur.

***

Malam ini kembali giliranku meneruskan cerita yang masih belum kelar. Anak-anak makin penasaran bagaimana kelanjutan kisahnya. Baru saja selesai sholat Magrib, sudah ditagihnya aku untuk melanjutkan cerita itu. Aku pun melanjutkan:

Ketika rombongan Katik Mudo dan tetua nagari kembali ke pohon itu, di sana sudah berdiri harimau besar yang tadi disalami Katik Mudo. Harimau itu membawa beberapa potong akar. Sambil menggigit akar itu, harimau itu menengadah ke atas dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

Anggota rombongan bingung; tidak mengerti maksud harimau itu. Tapi justru Katik Mudo dapat menangkap maksud harimau itu dengan jelas. Setelah Katik Mudo mengangguk mengiyakan maksud harimau itu, ia pun pergi seperti tadi. Menghilang dalam sekejab ke balik pepohonan.

“Apa maksud harimau itu, Angku Mudo?” tanya Sutan Penghulu dan Mak Labai hampir bersamaan.

“Ia ingin kita menarik pohon itu bersama-sama ke bawah atau ke sungai.“

“Caranya?”

“Kita pasang tali di atas dahannya, lalu kita tarik bersama-sama. Harus ada pula di sini yang bertugas menggali akarnya agar lebih mudah ditarik,” kata Katik Mudo.

“Kalau begitu segera kita kerjakan,” kata Mak Labai.

“Ayo, tunggu apa lagi,” timpal yang lain.

Maka demikianlah. Pohon itu pun ditarik bersama-sama. Subhannallah, tiupan angin ikut membantu. Beberapa saat pohon itu berderit-derit dan akhirnya rubuh. Suara bergemuruh terdengar disertai terikan warga yang gembira. Pohon itu menggelinding ke sungai dan berhenti persis di bawah bendungan.

“Benar-benar pertolongan Allah. Kita tinggal membobol bendungan dan setelah itu pohon ini akan dihanyutkan. Kita akan tunggu di kampung. Di mana ia berhenti, di sanalah kita akan membangun mesjid,” ujar Kepala Kampung lega.

***

Demikianlah, pohon itu pun dihanyutkan. Dengan air bendungan yang berkekuatan seperti air bah itu, pohon itu pun hanyut tanpa kendala. Semua warga yang menyaksikannya berharap-harap cemas. Dimanakah pohon itu akan berhenti.

Bersamaan dengan pohon itu juga ikut hanyut batu-batu yang tadinya di pakai untuk membendung air. Maka antara batu dan pohon itu hanyut susul menyusul mirip galodo atau sekarang disebut banjir bandang. Bekas yang dilaluinya membentuk badan sungai yang agak lebar dibandingkan sebelumnya.

Kini pohon itu telah sampai di perkampungan. Satu dua tempat yang diharapkan sebelumnya untuk menjadi tempat perhentiannya telah dilewati. Namun, ia belum juga berhenti. Semua warga berharap pohon itu segera berhenti karena sudah hampir mendekati batas kampung.

Akhirnya sebuah batu besar yang hanyut mendahului pohon itu berhenti. Berhentinya batu itu menghambat hanyutnya pohon. Ya, pohon itu berhenti. Benhenti di sebuah lembah. Lembah itu oleh warga setempat dinamai Koto.

Semua warga merasa lega. Mereka ramai-ramai memanjatkan doa syukur. Setelah itu pohon itu pun dibersihkan.

Mesjid pun segera di bangun. Mereka bergotong royong dengan penuh semangat.

Akhirnya mesjid itu selesai juga. Berdiri kokoh di Lembah Koto. Mesjid itu dibangun hanya dengan sebatang pohon. Tidak dipaku.

Di depan mesjid itu berdiri kokoh sebuah batu besar. Konon dari bawah batu itu memancarlah air bersih. Air itulah yang dipakai untuk berwudhuk.

Hingga kini mesjid itu masih ada dan masih dipakai. Orang-orang menyebutnya mesjid Tua Koto. Menurut warga setempat, sekali setahun menjelang masuknya bulan puasa atau ketika akan datang bencana, maka mesjid itu akan bergetar dan membayang ke langit.

Begitulah. Setelah mesjid itu selesai, kampungku diakui menjadi sebuah nagari. Nagari itu dinamai Batang Barus. Berasal dari kata batang berarus. Batang yang dihanyutkan dengan arus.

Sebagian wilayah Batang Barus sekarang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Solok. Sedangkan mesjid Tuo Koto lerletak kira-kira 6 kilometer ke arah selatan dari Aro Suka, ibu kota Kabupaten Solok Sumatera Barat.

Selasa, 13 Mei 2008

Menuntut Walikota

Aku rasa aku mengenalnya. Tapi di mana ya? Aku tidak ingat lagi. Ketika kutanya maksud kedatangannya, dia bilang mau menghadap Tuhan. Untuk urusan apa? Aku tak memperoleh jawabannya. Dia hanya mengatakan bahwa ada hal penting yang ingin dituntutnya langsung di hadapan Tuhan.
“Aku ingin menemui Tuhan untuk minta keadilan atas sebuah persoalan yang belum terselesaikan di dunia,” katanya.
“Persoalan apa?” kejarku.
“Kamu akan tahu jika kamu bersamaku menemui Tuhan,” jawabnya.
“Caranya?”
“Kamu ini bagaimana? Bukankah seharusnya aku yang bertanya demikian. Kamu kan sudah berwaktu-waktu di sini menjadi asisten Tuhan. Masa kamu tidak tahu prosedur menghadap-Nya,” katanya menohokku.
“Aku hanya seorang hamba. Seorang pesuruh Tuhan!”
“Terserah apalah namanya, yang penting kamu kan sering berhubungan dengan-Nya. Kamu tentu lebih dekat dan hafal dengan kebiasaan-kebiasaan Tuhan. Nah, sekarang kamu antarkanlah aku ke hadapan-Nya.”
“Aku tidak bisa!”
“Kenapa? Loyalitas kerjamu perlu dipertanyakan kalau begitu!”
“Sebagai pesuruh Tuhan, aku sendiri pun belum pernah bertemu dengan-Nya. Bagaimana pula aku akan membawamu menghadap-Nya. Apalagi persoalan yang akan kamu ajukan juga tidak jelas,” kataku beralasan.
“Ahk ... dari dulu kamu juga begitu. Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Biar aku sendiri yang akan pergi,” katanya berlalu meninggalkan aku yang kebingungan.
“Dari dulu kamu juga begitu,” kuulangi kalimat itu. Kurenung-renungkan maksudnya. Orang aneh. Mungkinkah dia mengenalku? Kalau tidak, mana mungkin dia akan berkata seperti itu. Aku berusaha mengingat-ingat. Pernah tidak, kami berurusan sebelumnya?
Ops... aku ingat. Bukankah dia itu Pak Dedi. Seorang guru privat yang dulu pernah datang ke Balaikota. Waktu itu dia marah-marah, menepuk-nepuk meja dan mengamuk karena tidak kuizinkan bertemu Pak Wako.
Sebagai sekretaris Pak Wako, aku tidak dapat mengizinkannya masuk karena di luar prosedur. Seharusnya terlebih dahulu dia memasukkan surat audiensi. Baru setelah itu akan diproses dan ditentukan jadwal untuk bertemu dengan Pak Wako. Ini tidak. Dia main serobot saja.
Pagi itu dia datang. Katanya ingin bertemu Pak Wako dan menuntutnya. Ketika kutanya duduk persoalannya, dia tidak mau menjelaskan, sama persis seperti kejadian yang barusan dia lakukan ketika hendak menghadap Tuhan.
“Ini urusan aku dengan Pak Wako. Kamu tidak perlu tahu!” katanya.
“Ya. Tapi setiap urusan yang berhubungan dengan Pak Wako di kantor ini, harus diberitahukan di sini dulu. Baru kemudian diagendakan,” kataku memberi penjelasan.
“Aku tidak peduli, yang jelas aku harus bertemu dengan Pak Wako. Aku ingin menuntutnya!” katanya lagi.
“Menuntut Pak Wako dalam urusan apa?” tanyaku.
“Kamu tidak perlu tahu,” katanya ketus.
“Mesti!”
“Tidak bisa. Ini urusanku dengan Pak Wako.”
“Kalau begitu, Anda saya ingatkan untuk tidak membawa dendam pribadi ke sini.
Jadi, bersegeralah untuk meninggalkan ruangan ini,” kataku kesal.
“Ini bukan dendam pribadi. Ini demi kemaslahatan.
“Kemaslahatan apa?”
“Kemaslahatan umat. Karena itu, aku tidak akan pergi sebelum bertemu dengan Pak Wako!”
“Anda jangan atas namakan kemaslahatan di atas kepentingaan pribadi. Sekali lagi saya ingatkan, Anda jangan bikin keributan di sini. Saya bisa saja panggil Pol PP untuk mengusir Anda.”
“Silahkan! Aku tidak akan pergi.”
“Tolonglah mengerti. Ini kantor, Bung!”
“Aku paham ini kantor. Aku hanya ingin bertemu Pak Wako. Itu saja. Apakah itu salah?”
“Tidak.”
“lalu?”
“Untuk bertemu Pak Wako, ada prosedurnya.”
“Prosedur...?” katanya mencibir. “Prosedur apa?”
“Ya, semacam aturan yang harus ditaati.” kataku memberi penjelasan.
“Ah... omong kosong saja ‘tu. Bisa jadi, gara-gara prosedur-prosedur itu, negeri ini jadi salah urus,” katanya sinis.
“Anda jangan berpikir begitu!”
“Faktanya memang begitu kan? Dimana-mana bukan rahasia lagi kasus-kasus salah prosedur. Boleh jadi, kedatanganku ke sini salah satunya gara-gara kesalahan prosedur itu.”
“Ah, sudahlah. Tidak ada gunanya berdebat denganmu. Sekarang kamu tinggal pilih: pergi secara baik-baik atau kusuruh Pol PP mengusirmu!” kataku mencoba bersikap tegas.
“Kamu ini bagaimana?” tangannya menepuk meja. Keras sekali. “Kan sudah aku katakan, aku tidak akan pergi sebelum bertemu Pak Wako. Minggir! Minggir!” Dia berdiri dan berusaha menerobos mejaku membuka pintu ruangan Pak Wako.
Aku kaget. Aku berusaha menahannya. Menghalang-halanginya. Tapi tidak bisa. Dia seperti kerasutan. Tenaganya berlipat-lipat.
Tidak ada jalan lain. Dia harus dihentikan. Aku segera menghubungi beberapa anggota Pol PP. Meminta mereka menghentikan orang aneh ini. Dia harus dikeluarkan dari sini sebelum berbuat terlalu jauh.


Ketika beberapa anggota Pol PP datang, dia tetap saja bersikeras untuk masuk. Dengan nekat dia malah menendang Pol PP yang berusaha menghalanginya. Tak diharapkan, terjadilah keributan yang membuat para pegawai yang sedang bekerja terganggu. Mereka ramai-ramai meninggalkan pekerjaannya, melihat apa gerangan yang terjadi.

Pak Wako pun merasa terusik. Buru-buru ia keluar dari ruangannya.

“Ada apa? Kok ribut-ribut?” tanyanya kemudian.
“Ada orang stenggil datang ke sini dan marah-marah semaunya, Pak!” kata seorang pegawai yang kebetulan berada di samping Pak Wako.
“Apa katamu? Aku kamu bilang stenggil ? Awas kamu, ya! Kurobek-robek mulutmu yang bau jengkol itu baru tahu rasa.” jawab Pak Dedi sambil menuding-nudingkan telunjuknya di antara kepitan tangan beberapa Pol PP. “Aku ke sini bukan untuk bikin keributan seperti ini. Aku hanya ingin bertemu Pak Wako. Itu saja. Tapi ternyata, karena aku orang kecil yang dekil, di sini aku justru diperlakukan tak ubahnya seperti binatang saja.”
“Ada perlu apa Anda ingin bertemu dengan saya?” tanya Pak Wako.
“Bagaimana aku akan bisa bicara, kalau anak buah Bapak, mengekang saya seperti ini,” jawab Pak Dedi.
“Parno, biarkan dia bicara,” perintah Pak Wako. “Nah, sekarang katakan ada apa Anda ingin bertemu saya!”
“Aku ingin menuntut Bapak!”
“Atas dasar apa?” tanya Pak Wako heran.
“Atas kerusakan vespaku!”
“Lho... vespamu yang rusak kok harus menuntut saya?!” Pak Wako heran.
“Ya.”
“Ya, kenapa?”
“Karena kelalaian Bapak!”
“Maksud Anda?”
“Sejak terpilih jadi walikota, Bapak lebih suka bermegah-megah di kantor ini. Pada hal dulu ketika kampanye, Bapak pernah berjanji ini dan itu kepada kami. Salah satu janji Bapak yang masih saya ingat adalah janji untuk memperbaiki jalan di tempat kami tinggal. Namun, sampai sekarang janji itu tinggal janji saja,” kata Pak Dedi polos.
“Lalu apa hubungannya dengan kerusakan vespa Anda dan kedatangan Anda ke sini?”
“Aku kesini karena jalan yang sudah berlubang-lubang itu telah membuat banyak masalah bagi siapa saja yang lewat di sana. Misalnya, kehadiran para preman tukang palak yang meminta uang sebagai imbalan karena mereka telah menimbun lubang-lubang itu dengan tanah yang jika hujan akan sangat becek. Tapi bagiku itu tidak terlalu dipusingkan. Yang justru aku pusingkan adalah kerusakan vespaku ketika lewat disana. Suatu kali sehabis hujan, aku lewat di sana. Tanpa kukira, karena tergenang air, aku kecemplung ke lubang besar. Aku terjatuh. Vespaku terbalik dan rusak. Rusaknya parah.”
“Lalu?” tanya Pak Wako.
“Karena vespaku rusak, sejak itu, aku pergi pergi ke mana-mana terpaksa naik angkot yang ongkosnya tak tanggung-tanggung tingginya, do. Kata sopir BBM mahal. Akibatnya, honor privatku habis untuk ongkos saja. Karena itu aku ke sini. Aku ingin meminta ganti rugi. Aku ingin Bapak memperbaiki vespaku, sekaligus memperbaiki jalan itu secepatnya!”
“O... itu persoalannya. Kalau begitu, mari kita bicarakan di ruangan saya saja. Saya pikir itu bukanlah masalah yang perlu diributkan,” kata Pak Wako. “Ayo, semua kembali ke tempat kerja masing-masing!” perintahnya.
“Aku tidak ingin ribut, Pak. Tapi anak buah Bapak yang memulainya,” kata Pak Dedi di ruangan Pak Wako.


“Sudahlah, Pak! Sekarang begini saja: pertama, terkait dengan masalah verspa Bapak itu –meskipun ini sebenarnya bukan tanggung jawab saya—silahkan Bapak bawa ke bengkel dulu untuk diperbaiki. Berapa biayanya, Bapak bisa minta ke sini. Saya akan ganti. Ini sebagai wujud kepedulian saya kepada nasib Bapak. Apalagi Bapak seorang guru privat. Kedua, tentang masalah jalan yang berlubang-lubang itu, memang sudah ada rencana untuk diperbaiki dalam waktu dekat. Bapak bersabarlah dulu. Kalau tidak ada aral melintang, bulan depan akan kita mulai pengerjaannya. Kami sedang menyusun rancangannya,” kata Pak Wako menjawab keinginan Pak Dedi.

“Kalau memang begitu kata Bapak, aku merasa senang. Aku akan segera ke bengkel dan setelah itu kembali lagi ke sini. Tapi aku tidak mau berurusan dengan anak buah Bapak lagi.”
“Tidak apa-apa. Nanti Bapak bisa langsung temui saya saja!”
“Kalau begitu saya pamit dulu, Pak.”
“Lho, kok buru-buru. Nggak minum dulu?”
“Tidak usah, Pak. Nanti keburu hujan!”
“Kalau begitu, terimalah ini sekedarnya! Untu ongkos” kata Pak Wako sambil memasukkan beberapa lembaran kertas ke kantong Pak Dedi.
“Apa ini, Pak?”
“Terimalah! Sekedar oleh-oleh dari saya!”
“Tidak, Pak. Aku tidak bisa menerimanya. Maafkan aku. Sebaiknya Bapak berikan kepada yang lain saja!”
“Kenapa?”
“Aku tidak minta itu, Pak. Aku hanya minta seperti yang kukatakan tadi. Itu saja.”
“Ya, sudah kalau memang begitu.”

***
Berbulan-bulan kemudian, jalan itu belum juga diperbaiki. Kerusakan bertambah parah.
Pak Dedi tak habis pikir, kenapa Pak Wako belum juga memperbaikinya. Padahal, dulu jelas-jelas dia mengatakan akan memperbaikinya dalam waktu dekat. Pak Dedi penasaran. Dihidupkan mesin vespanya. “Aku harus kembali menemui Pak Wako itu,” katanya pada istrinya.


Dengan rasa penasaran yang tinggi, Pak Dedi memacu vespanya sekencang-kencangnya. Tak peduli apakah sekarang didepannya ada lubang atau bukan. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak; ban depan vespa Pak Dedi pecah karena bergesekan dengan dinding lubang yang tajam. Tak pelak, Pak Dedi lepas kendali. Vespa itu rebah kuda. Pak Dedi terpelanting.
Orang-orang yang ada di tempat itu terkejut. Mereka segera berhamburan ke TKP. Ketika mereka hendak menolong, ternyata tubuh Pak Dedi sudah tak bernyawa lagi.

Minggu, 13 April 2008

Persepsi Generasi Rantau terhadap Minangkabau


Generasi Minang rantau baik yang lahir dan besar di rantau atau generasi yang merantau setelah cukup usia menganggap diri mereka sebagai bagian dari etnis Minangkabau. Tidak ada yang ganjil dalam premis ini. Namun, yang jelas, tentu saja denyut nadi kehidupan generasi rantau akan berbeda dengan generasi kampung. Dalam hal ini, generasi rantau sehari-harinya berinteraksi dengan kehidupan dan kebudayaan rantau yang majemuk, jauh berbeda dengan kebudayaan di kampung. Persoalan yang muncul: akankah generasi tersebut tetap bertahan dengan ‘kebudayaan asli’ atau ‘kebudayaan ibu’ mereka, atau justru malah tercerabut.

Menjawab keraguan ini, saya menerima beberapa email dan SMS dari anak-anak muda Minang yang ada di rantau. Mereka berkomentar tentang kampung mereka; tentang kerinduan dan keprihatinan mereka. Salah satu email yang datang ke saya seperti ini:
“Perkenalkan, nama saya Nopendri. Saya mahasiswa Minang yang kuliah di Bandung. Saya berasal dari kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Saya telah membaca buku Bapak yang berjudul Minangkabau Di Mata Anak Muda. Banyak hal yang saya rasakan setelah membacanya. Mulai dari bangga sampaiprihatin. Bangga karena saya ternyata memiliki identitas, kultur dan sejarah daerah asal yang mengagumkan. Memiliki budaya yang kental akan Islamnya yang sering diingat dengan ABS-SBK. Memiliki tokoh-tokoh besar seperti Buya HAMKA dan Pak Natsir. Akan tetapi, saya juga prihatin akan keadaan sekarang. Di mana orang Minang sekarang bukan seperti dulu lagi. Generasi-generasi surau sudah tidak ada lagi. Bundo-bundo yang ada di kampuang sudah mandul melahirkan tokoh-tokoh besar. Para pemuda tidak tahu lagi tentang budayanya. Islam sebagai the way of live sudah lepas dari diri para pemuda Minang. Saya juga sering mendengar dari orang non-minang tentang istilah “padang bengkok” yang memiliki makna negatif akan orang Minang di rantau. Seperti yang sering saya dengar bahwa Minangkabau hanya tinggal kabaunya saja, minangnya sudah hilang” Lalu ada SMS seperti ini:“Saya Lia asli Saning Baka, tapi besar di rantau. Saya seorang pelajar SMA kelas dua di Lumajang, Jatim. Saya baca buku karangan Bapak Minangkabau di Mata Anak Muda, di situ ada peristiwa PRRI tahun 1958-1961, itu peristiwa tentang apa, Pak?” Ada lagi seperti ini,“Saya Hendri, perantau Minang di Batam, saya baca buku Minangkabau di Mata Anak Muda. Bisa ‘ndak Bapak memberitahu saya di mana saya bisa mendapatkan informasi yang luas tentang Minangkabau?” Ada beberapa catatan saya tentang hal di atas. Pertama, ternyata anak-anak muda Minang yang ada di rantau (terlepas apakah mereka generasi yang lahir dan besar di rantau atau generasi yang datang belakangan) membaca buku-buku tentang kampung halaman mereka. Ini mengindikasikan bahwa mereka ingin tahu tentang kehidupan dan perkembangan Minangkabau. Mereka “haus” akan informasi-informasi tentang perkembangan kampung halaman yang mereka tinggalkan; yang mereka amat rindukan. Dapat dikatakan bahwa mereka adalah generasi yang tak hendak melupakan Minangkabau; tempat darah ibu/nenek mereka tertumpah melahirkan mereka. Mereka tak hendak menjadi malin Kundang. Mereka ingin berkontribusi membangun Minangkabau, minimal menyumbang saran ataupun unjuk keprihatinan terhadap gejala-gejala sosial yang sedang terjadi di ranah bundo ini. Kedua, ada ketegasan sikap bahwa perantau Minangkabau tetap mempertahankan identitasnya (“Saya Nopendri, mahasiswa Minang …; saya Lia asli Saning Bakar …, saya Hendri perantau Minang di….”) Mereka tidak hendak mengganti identitas sebagai orang Minang meskipun kehidupan di rantau mengepung mereka dengan berbagai tantangan. Dikatakan sebagai “Si Padang Bengkok” misalnya merupakan sebuah tamparan kultural yang amat keras. Sejauh ini sulit menjelaskan kepada etnis non-Minang hakekat pribahasa taimpik nak di atek, takurung nak dilua—sebagai implikasi tuduhan Si Padang Bengkok—karena mereka sudah keburu menjustifikasi bahwa orang Minang/Padang adalah curang/licik. Sulit bagi perantau Minang untuk mengubah imeg ini. Akan tetapi, walaupun demikian, perantau Minang tetap dengan identitasnya sebagai orang Minang--kecuali pada masa-masa tertentu pasca PRRI di tahun 60-an. Jadi, inilah wujud keterikatan hati yang tak lapuk kena hujan tak lekang kena panas terhadap Minangkabau tanah nan den cinto. Ketiga, agaknya generasi Minangkabau yang besar dan hidup di rantau perlu meningkatkan pemahaman dan pengetahuan keminangkabauan mereka. Para orang tua dan mamak yang melahirkan dan bertanggung jawab terhadap generasi tersebut merupakan pihak yang patut berada di barisan depan dalam soalan ini. Anak-anak/generasi rantau perlu ditunjukajari tentang seluk beluk Minangkabau, tidak hanya sebatas yang mereka dapatkan di sekolah atau buku-buku yang mereka baca. Mereka perlu pengetahuan adat dan kebudayaan Minangkabau praktis sebagaimana hal yang sama juga diperlukan generasi di kampung. Para orang tua, penghulu, niniak mamak dan cendikia Minangkabau yang ada di rantau mesti memprogramkan hal ini. Tidak perlulah dulu bicara soal hal ini efektif atau tidak, yang penting diprogram dan dilaksanakan dulu secara bertahap. Begitulah, generasi rantau masih menganggap diri mereka sebagai bagian dari generasi Minangkabau. Soal mereka tercerabut dari akar budaya dan tradisi Minangkabau, tidak akan ada bedanya dengan generasi kampung. Toh ketika tidak ada yang peduli dengan mereka, maka mereka akan mencari identitasnya sendiri, tak di rantau tak di kampung. Karena itu menunjukajari generasi rantau dan generasi kampung adalah tanggung jawab moral masyarakat Minagkabau. Wallahualam bissawab. RONIDIN KO

Minggu, 16 Maret 2008

BELAJAR DARI HAMKA

Oleh Ronidin

Belum ada sampai hari ini lahir seorang ulama kharismatik yang juga seorang sastrawan bermoral kecuali HAMKA. Ini fakta sejarah. Tidak dilebih-lebihkan. Sebagai Ulama, HAMKA adalah sosok yang begitu teguh memegang keyakinannya. Ia tidak takut pada siapa pun atas dasar kebenaran. Karena keteguhan itu, ia pernah dipenjara Soekarno. Tetapi, justru di dalam penjara ia kemudian berhasil merampungkan Tafsir Al Azhar. HAMKA pula yang memilih mundur dari ketua MUI dari pada harus mencabut fatwanya tentang haramnya natal bersama bagi umat Islam. Hamka sangat tegas dalam masalah keimanan. Di masa HAMKA, kata banyak orang, MUI lebih berwibawa.
Dalam kesusastraan Indonesia, HAMKA adalah seorang sastrawan yang bermoral. Melalui karya-karyanya, ia menulis pesan-pesan moral dan kemanusian. Meskipun A. Teeuw mengatakan HAMKA bukanlah seorang sastrawan hebat karena terlalu melankolis, namun dalam setiap karyanya kita bisa menemukan “ruh” kehidupan. Dalam Tenggelammnya Kapal Vander Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau Ke Deli, Dijemput Mamaknya dan karyanya yang lain, HAMKA mengemukakan kritik sosial terhadap kehidupan masyarakat di negerinya, utamanya adat dan budaya Minangkabau; memotretnya dari perspektif religi. Bila kemudian ada yang menyebutnya sebagai “kiyai cinta” karena menulis roman percintaan, maka itulah sisi romantis hidup HAMKA.
Sejarah kehidupan HAMKA di masa lalu perlu dikaji dan dipelajari sebagai reflesi perjuaangan panjang sosok HAMKA dari seorang yang “kecil” dari tepi Danau Maninjau sana, yang pada akhirnya menjadi seorang yang “besar” di seantero Nusantara ini. HAMKA adalah putra negeri yang telah memberi marwah terhadap tanah kelahirannya.
HAMKA adalah petarung sejati. Sejarah hidupnya penuh liku. Untuk menjadi HAMKA yang dikenal seperti sekarang, sosok ini telah kenyang dengan asam garam kehidupan. HAMKA kecil bukanlah seorang anak yang suka diam; nrimo begitu saja. Dari kecil ia sudah dihadapkan pada tantangan hidup yang ruwet. Ketika ayahnya menikah lagi, HAMKA kehilangan romansa masa kecilnya. Lalu ia mulai melakukan “pemberontakan”. Ia berani berdebat dan tidak setuju dengan ayahnya. Perkembangan kemudian membawa menjadi remaja pemburu ilmu. Sebanyak bahan bacaan yang ada padanya, sebanyak itu pula yang dilahapnya. Ia juga melalap pelajaran-pelajaran agama dari ulama-ulama yang ditemuinya di mana-mana.
Menyadari kampungnya tak akan memberi apa-apa, maka ia putuskan untuk berguru ke mana pun. Di usia 10 tahun ia masuk Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Usia 19 tahun ia sudah menjadi guru agama di Tebing Tinggi Medan Sumatera Utara. Lalu, berbagai daerah pun dijajakinya untuk mengasah pengalamannya, Makasar, Yogya, dan akhirnya berlabuh di Jakarta. Daerah-daerah itulah yang kemudian menginspirasinya dalam menulis roman.
HAMKA juga melakukan studi mandiri terhadap berbagai ilmu pengetahuan seperti filsafat, kesusastraan, sejarah, sosiologi dan politik. HAMKA juga merupakan teman diskusi yang hangat bagi tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo.
Sebelum tutup usia tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta, HAMKA pernah menerima beberapa penghargaan, antara lain Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Mesir tahun 1958, Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia tahun 1974, gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. Sedangkan roman-romanya menjadi bacaan wajib siswa-siswi di Singapura dan Malaysia.
Itulah HAMKA dari masa lalu. HAMKA dengan kelebihan-kelebihan dan prestasinya yang bukan saja diakui oleh bangsa Indonesia, tapi juga oleh masyarakat internasional. HAMKA yang kepiawaian keulamaannya sama baiknya dengan kepiawaiannya dalam menulis.
Lantas, masihkah akan lahir HAMKA seperti itu di masa depan? Walahualam. Namun, inilah pertanyaan penting yang perlu direnungkan dalam menyenang 100 tahun HAMKA (17 Februari 1908 — 17 Februari 2008). Kenapa begitu? Karena memang kita amat merindukan kelahiran tokoh kharismatik seperti HAMKA sebagai pengobat nestapa pasca krisis ketokohan yang melanda negeri ini dalam beberapa dekade terakhir.
Secara fisik HAMKA mungkin tidak akan lahir kembali, tetapi secara non fisik kemungkinan untuk melahirkan “HAMKA baru” atau “HAMKA masa depan” amat terbuka. Karena itu, tidak ada kata lain, memprogram HAMKA masa depan berarti memprogram diri untuk mencontoh dan belajar dari HAMKA masa lalu. Maka bersiaplah. Jadilah petarung sejati.

Selasa, 19 Februari 2008

Pencurian Kekayaan Tradisi

Oleh RONIDIN


Musik, tari, teater, teater rakyat, seni rupa, sastra, upacara adat, makanan tradisional, ritual tradisional, dan ungkapan-ungkapan tradisonal lainnya merupakan ekspresi folklor yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Ekspresi folklor tersebut mengandung nilai-nilai estetik, nilai simbolik, dan nilai fungsi. Semua nilai itu untuk memperkukuh sistem sosial dalam masyarakat pendukungnya.
Karena itu, banyak orang akan keberatan dan komplein ketika ekspresi folklor (kebudayaan) yang mereka miliki diklaim oleh pihak lain sebagai milik mereka pula. Hal itulah yang terjadi ketika negeri Jiran Malaysia mengklaim ini dan itu sebagai milik mereka, padahal yang diklaim itu hidup dan berakar di Indonesia. Lagu “Rasa Sayange” diklaim milik mereka, lalu “Reog Ponorogo”. Di Sumatera Barat (Minangkabau) heboh terjadi soal rendang Padang dan indang Sungai Garinggiang yang khabarnya juga telah “dicuri” Malaysia.
Terjadinya klaim oleh pihak “asing” yang bukan pemilik ekspresi folklor tersebut, jelas merupakan “pencurian” terang-terangan terhadap kekayaan tradisi milik orang lain. Karena itu, wajar bila pemiliknya marah dan kemudian menggugat. Tidak wajar bila mereka hanya diam saja. Komplein dan gugatan dilancarkan sebagai akibat dari “pencurian” itu yang pada akhirnya akan berujung pada pemanfaatan tidak adil oleh pihak-pihak di luar pemilik syah folklor yang bersangkutan.
Permasalahan selanjutnya yang lebih penting selain soal klaim mengklaim dan gugat menggugat itu adalah sejauh mana pemilik ekspresi folklor tersebut merasa memiliki kekayaan mereka. Hal ini penting karena kepemilikan yang benar-benar akan menuntun pemiliknya untuk menjaga, melindungi, memelihara, melestarikan dan mencintai milik mereka secara sepenuh hati.
Kontradiktif, mungkin itu kata yang cocok untuk menggambarkan hubungan antara pemilik folklor tersebut dengan keberadaannya. Masyarakat sekarang umumnya tidak abai lagi dengan ekspresi folklor mereka. Tetapi ketika ada yang mengambil (mengklaim) sebagai milik mereka, maka pemilik aslinya akan marah, harga dirinya tersinggung meskipun sebelumnya sikap mereka seperti tak memiliki. Kepedulian dan kepemilikan mereka akan muncul manakala orang telah mengambilnya.
Sikap keseharian sebagian pemilik ekspresi folkolor hari ini hanya mengikuti arus zaman. Ekspresi folklor itu mau hidup, ya syukur; mau mati/punah, mereka juga tidak akan menangisi. Mereka tidak perlu risau. Bila ada yang punah mereka akan menggantinya dengan yang lebih moderen, yang in fashion. Mereka tidak perlu merevitalisasi.
Dalam masyarakat Minangkabau muncul istilah “hiduik sealiran maso, adat di dunia baganti-ganti”. Zaman berganti, kebudayaan pun berubah. Jadi wajar bila ada ekspresi folklor (terutama tradisi/sastra lisan) yang punah dan tak ada yang menyesali. Dari catatan Adriyetti Amir—pakar tradisi/sastra lisan Unand—ada beberapa yang telah punah sama sekali seperti indang tagak di Solok, banalam di Payakumbuh; ada yang hampir punah seperti bataram di Pesisir Selatan, barabuak di Padang, batintin di Batusangkar, si jobang di Payakumbuh.
Masih menurut Adriyetti, perubahan yang signifikan itu terjadi pada aspek fungsi. Dulu orang datang dan menikmati berbagai bentuk ekspresi folklor seperti disebut di atas, sebagai sarana perekat hubungan sosial. Masyarakat akan ke galanggang rami—mereka mewajibkan dirinya hadir—karena ingin menunjukkan kesediaan sehilir-semudik dengan orang kampung, kepedulian pada urusan kampung. Kepedulian dan kesedian sehilir semudik dengan orang sekampung itu merupakan wujud kehidupan komunal; orang hidup saling terkait satu dengan lainnya, saling tergantung, saling membutuhkan, dan hampir semua dilakukan bersama. Kalau untuk acara-acara yang bersifat pribadi seperti kenduri, maka akan dihadiri orang lain dengan undangan. Namun dalam kemalangan, amat ditentukan oleh kepedulian. Ketika orang tidak peduli pada kemalangan orang lain, maka orang pun tidak akan peduli pada kesulitannya.
Itu dulu, sekarang kehidupan komunal itu telah berganti dengan kehidupan pribadi. Ekspresi folklor (utamanya tradisi yang dulu dipertunjukkan untuk kepentingan komunal) sekarang telah berubah menjadi milik pribadi. Sekarang orang akan menonton indang, saluang, randai, teater rakyat, rabab, petatah petitih, melalui VCD/DVD. Di satu sisi ada untungnya, kekayaan tradisi (ekspresi folklor Minangkabau yang belum punah dapat direkam (diarsipkan) agar generasi mendatang juga dapat menikmatinya. Namun, di sisi lain, fungsinya sosialnya hilang. Tidak ada lagi interaksi hangat yang terjadi di antara penampil dengan audiensnya, tidak ada pula interaksi antara sesama anggota masyarakat sebagai pemilik bersama. Setiap orang bisa menikmati itu secara pribadi, di rumah (bahkan di kamar) masing-masing. Fungsi galanggang rami menjadi mati. Kepemilikan bersama menjadi pudar. Kesediaan sehilir semudik menjadi kesedian nafsi-nafsi.
Lalu, ke depan, ada sebuah gelagat yang menggusarkan, ketika masyarakat kita tak peduli, dan kepemilikan pribadi sudah menjadi panglima, maka orang asing akan memanfaat kondisi itu. Mereka berebut. Mereka “berburu”. Gatra No. 6 yang beredar 20 Desember 2007, menurunkan laporannya bahwa peneliti-peneliti Malaysia saat ini dengan dana besar sedang “berburu” naskah kuno/manuskrip ke Minangkabau. Manuskrip yang mereka buru itu umumnya berisi tentang kebudayaan Minangkabau/Melayu masa lalu. Di samping itu, mereka juga “memburu” berbagai ekspresi folklor yang tak lagi dipedulikan pemiliknya. Malaysia sekarang memang sedang getol-getolnya mempopulerkan kebudayaan Melayu sebagai bagian dari kebudayaan dunia yang berakar di Malaysia. Ekspresi-ekspresi folklor yang hidup di Semenanjung Melayu “dicap” sebagai milik mereka, tak peduli itu “hidup” di luar wilayah teritorial Malaysia. Maka jadilah mereka seperti sekarang, sebagai “tukang klaim” milik orang lain.
Menyadari kondisi seperti yang disebutkan di atas, agaknya berbagai ekspresi folklor sebagai kekayaan tradisi yang dimiliki masyarakat butuh perlindungan. Perlindungan yang bisa menjamin agar kekayaan tradisi itu tak diambil orang lain. Kalau jawaban sudah ada aturan-aturan tentang Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), maka itu perlu dijalankan. Selama ini kita terlalu lengah. Konsep-konsep perlindungan dalam undang-undang HaKi dipandang memberatkan, berbelit-belit dan tak tersosialisasi. Untuk mengurus paten saja misalnya, banyak masyarakat yang tidak tahu. Lalu kita juga miskin aplikasi. UU ada, tapi tak dijalankan efektif.
Kita tentu hanya bisa menyaran. Keputusannya ada di tangan Pemerintah. Bagaimana Ditjen HaKI? Wallahualam.