Senin, 29 Desember 2008

Yogyakarta di Mata Pendatang

Oleh Ronidin

Bagi saya yang bukan warga Yogyakarta, membicarakan kota Yogyakarta yang sering disebut sebagai Kota Tua, Kota Revolusi, Kota Gudeg, Kota Pelajar, dan Kota Budaya ini tentu tak lepas dari jerat perspektif pribadi. Hal ini karena secara empiris, saya baru berinteraksi dengan kota ini selama dua bulan lebih.
Menurut saya banyak ikon yang dapat memperkenalkan keberadaan Yogyakarta kepada orang lain di luar Yogyakarta. Pertama-tama UGM misalnya—dengan nama yang diambil dari seorang patih kerajaan Majapahit yang berhasrat untuk mempersatukan nusantara di bawah panji-panji Majapahit—adalah ikon yang menegaskan bahwa Yogyakarta memiliki sebuah universitas yang—setidaknya—berjiwa seperti Gadjah Mada; berhasrat merangkul semua peserta didik untuk melanjutkan studinya di UGM. Menyatukan mereka dibawah panji-panji UGM yang merupakan universitas yang dilambangkan seperti “gajah” yang “besar” dan “tertua” di Indonesia—refleksi Majapahit. Cita–cita itu agaknya sudah menjadi bagian keseharian UGM hari ini, di mana para mahasiswanya berdatangan dari berbagai daerah di Indonesia bahkan dari luar negeri. Nama Gagjah Mada menjadi sangat populer bagi siapa pun karena memiliki konektisitas historis dengan sebuah kerajaan besar yang pernah ada di negeri ini.
 Akan tetapi, apakah semangat patih Gadjah Mada yang lain: keberanian, ketegasan prinsip, cita-cita keinginmajuan yang besar dan sebagainya sudah pula direfleksikan dalam kesehariannya di universitas yang mengambil namanya; Universitas Gadjah Mada? Ini merupakan sebuah pertanyaan yang perlu direnungkan bagi segenap civitas akademika UGM. Siapa pun tentu tidak ingin UGM menjadi universitas yang hanya berat dinama. Kalau di Padang, sebuah nama yang tidak cocok menyebabkan penyandang nama itu sering sakit-sakitan, lambat berkembang dan solusinya harus mengganti nama itu.
Selain UGM, Yogyakarta juga dikenal di luar dengan Malioboronya. Belum lengkap rasanya kunjungan ke Yogyakarta kalau belum mampir ke Malioboro, menikmati peninggalan sejarah di sepanjang jalan itu, menikmati gudeg Yogyakarta dan membeli kaos khas Malioboro merek Dagadu. Malah ketika saya baru sampai di sini dua bulan yang lalu, teman saya dari Padang mengirimkan SMS menanyakan kalau saya sudah ke Malioboro atau belum. Bagi dia, Yogyakarta adalah Malioboro. Bagi saya, hal ini menunjukkan bahwa begitu kuat ikonitas Malioboro sebagai penanda kota Yogyakarta. 
Dari perspektif historis maupun kebudayaan, keberadaan Malioboro terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Ada tiga lapis stratifikasi Malioboro yang akan terus mengalami perubahan itu sepanjang masa. Pertama, keberadaan Malioboro sebagai garis imajiner (aspek mistis) yang memperhubungkan Kraton Yogyakarta dengan Gunung Merapi di Utara dan Pantai Laut Selatan. Artinya, Kraton Yokyakarta sebagai pusat pemerintahan di Yokyakarta berada dalam lingkaran kawasan Merapi sampai ke Pantai Selatan. Kedua, Malioboro sebagai tempat pusat pemerintahan Yogyakarta (protokoler) karena disepanjang jalur itu terdapat kantor gubernur dan kantor DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yokyakarta. Selain itu kawasan ini juga sebagai kawasan yang merefleksikan kawasan budaya Yogyakarta karena di sepanjang jalur ini sering ditampilkan iven-iven kebudayaan. Ketiga, disepanjang kawasan Malioboro itu telah menjadi pusat perdagangan, baik yang berdagang di emperen maupun di swalayan-swalayan mewah. Kondisi ini tentu saja telah menggubah fungsi kawasan Malioboro sebagai pusat kebudayaan tergeser oleh kepentingan kapitalisme global.  
Kondisi di atas menyebabkan Malioboro menjadi kawasan yang ramai, sumpek dan bising. Setiap hari di Malioboro dapat disaksikan berbagai aktivitas—mungkin saja bagi orang tua-tua yang berdomisili di kawasan itu jelas sekali perubahannya—yang saling berhimpitan. Mobil dan motor yang bersileweran dan saling mendahului, kendaraan tanpa mesin seperti becak yang berebut penumpang, jalur bus Transyogya yang sempit, kawasan pejalan kaki yang hampir tak tersedia, perparkiran di areal pertokoan dan kantor pelayanan publik yang penuh sesak, pedagang kaki lima, dan sebagainya merupakan gambaran Malioboro hari ini sebagai suatu akibat yang dapat diindrakan (tungible). Sedangkan perubahan yang tak dapat diindrakan (intungible) terjadi pada pergeseran nilai-nilai (value) estetis Malioboro sebagai kawasan yang dianggap nyaman dan representatif dalam mengurangi beban psikologis yang dialami seseorang. 
Berikutnya, kota Yogyakarta juga dikenal karena adanya Kraton Yogyakarta. Ketika menyebut kata kraton, maka pemaknaan pertama yang muncul adalah bahwa kraton merupakan simbol sebuah kerajaan atau kesultanan. Ini menunjukkan bahwa dari kraton itulah pemerintahan digerakkan. Artinya, raja adalah kepala pemerintahan. Maka tidaklah mengherankan bila kemudian masyarakat DIY tetap menginginkan sultannya (sekarang Sri Sultan Hmengkubuwono X) menjadi gubernur DIY meskipun masa jabatannya telah habis. Bahkan ke depan, banyak pula suara di DIY—termasuk sultan yang telah menyatakan kesediaannya tanggal 28/10 yang lalu—yang menginginkan Sultan menjadi presiden Republik Indonesia. 
Konsep kraton erat hubungannya dengan raja dan kekuasaan. Maka sebenarnya, sesuai dengan konsep Todorov (1985:11-12): tentang hubungan in prasentia, yaitu hubungan antara unsur-unsur yang hadir bersama; dan hubungan in absentia, yaitu hubungan antara unsur-unsur yang hadir dan unsur yang tidak hadir, jelaslah bahwa Kraton Yoyakarta mengisyaratkan makna kekuasaan itu berpusat di kraton dan Sultan adalah rajanya. Akan tetapi mungkinkah Sultan HB X menjadi raja (presiden RI) mengingat kraton hanya terdapat di Yokyakarta dan Surakarta. 
Apa yang disebut ini juga tidak terlepas dari aspek historis tentang kraton Yokyakarta yang merupakan pecahan dari kerajaan Mataram Baru selain kraton Surakarta. Pangeran Mangkubumi (memangku/memeluk bumi, menurut tafsiran orang Padang) yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono 1 yang menjadi raja pertama di Ngayogyakarta dipercaya sebagai pendiri kraton Yogyakarta telah mewariskan dinasti Sultan Yogyakarta yang hingga kini telah mencapai 10. itu menunjukkan bahwa kesultanan kraton Yogyakarta ini akan terus ada dan “berkuasa”.  


Novel Ayat-Ayat Cinta: Sebuah Tinjauan Pragmatik

Oleh Ronidin

Abstrak

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan terhadap novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Pendekatan pragmatik memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu, nilai-nilai tertentu, atau fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan erat dengan audience (pembaca). Dari hasil analisis yang dilakukan, maka novel AAC memuat beberapa aspek pragmatik. Aspek pragmatik tersebut berpusat pada tokoh Fahri sebagai tokoh sentral yang menggerakkan cerita novel ini yang merupakan refleksi kepribadian islami. Beberapa aktivitas Fahri menjadi bermakna bagi pembaca (secara pragmatik) karena dilandasi dengan sudut pandang Islam. Aspek-aspek pragmatik tersebut di antaranya meliputi: (1) Istikamah dengan prinsip hidup, (2) kesederhanaan Fahri menjalani kehidupannya, (3) sikap menghormat turis nonmuslim, (4) memuliakan tetangga, dan (5) melaksanakan pernikahan secara islami. 

selengkapnya hubungi saya