Selasa, 29 Januari 2008

GERAKAN KEBUDAYAAN PASCA KEMERDEKAAN


Selepas Indonesia merdeka, semua orang ingin agar bangsa ini segera berbenah diri dari keporakporandaan akibat perang. Para intelektual bangsa terus berjuang membebaskan bangsa ini dari pengaruh-pengaruh asing yang ingin kembali menguasai Indonesia. Masa-masa antara tahun 1945 sampai tahun 1949 adalah masa-masa berat bagi para pejuang menentang keinginan Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia. Pasca proklamasi 17 Agustus 1945, para pejuang melakukan berbagai perlawanan baik dengan senjata maupun dengan diplomasi.
Para intelektual bangsa dengan kegigihannya memperlihatkan kepada dunia internasional bahwa bangsa Indonesia masih ada dan akan terus ada. Kegigihan ini kemudain berbuah dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda di awal 50-an. Lalu, masa-masa selanjutnya, tahun 1950-an ke atas, bangsa ini mengalami berbagai persoalan internal, baik di bidang politik, sosial, budaya, ekonomi, maupun kesusastraan. Persoalan itu bermula dari perbedaan persepsi ke arah mana bangsa ini akan dibawa. Terjadilah ketika itu berbagai bentuk agresifitas masyarakat baik berupa gerakan daerah maupun gerakan-gerakan lainnya. Rata-rata terjadi perbedaan pandangan menyikapi berbagai kebijakan pelaksana pemerintahan ketika itu.
Di bidang kebudayaan dan kesusastraan, pada masa ini, para seniman dihadapkan pada perbedaan pandangan mengenai eksistensi kebudayaan dan kesusastraan itu sendiri. Perbedaan ini ditandai dengan adanya polemik atau perselisihan pendapat antara generasi yang memproklamirkan diri sebagai generasi gelanggang (kemudain melahirkan surat kepecayaan gelanggang) yang berpijak pada paham humanisme universal (kemanusian sejagat) dengan generasi realisme sosialis yang berpandangan bahwa para seniman semestinya lebih berpihak pada rakyat.
Perbedaan pandangan ini kemudain menyebabkan dunia kebudayaan dan kesusastraan Indonesia menjadi terkotak-kotak, terpecah menurut ideologi yang menaunginya, serta mengikuti intrik politik yang berkembang kala itu. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sebagai lembaga kebudayaan yang didirikan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) mengedepankan pandangan bahwa sastrawan atau seniman mestinya memihak pada rakyat (ploretal), serta menempatkan politik sebagai panglima. Sedangkan LESBUMI (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia) yang didirikan oleh Asrul Sani dan Usmar Ismail yang berinduk pada NU, memilih mengedepankan peran agama dalam membangun kebudayaan atau kesusastraan. Lalu, para sastrawan dan seniman yang tidak memihak pada Lekra maupun Lesbumi, mendirikan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang berinduk pada PNI.




Perkembangan pergerakan kebudayaan dan kesusastraan pasca-kemerdekaan menjadi begitu penting karena mencerminkan semangat masyarakat Indonesia waktu itu. Jika kala itu, kesusastraan maupun seni lainnya berkembang sesuai dengan arah perkembangan politik, maka dapat dikatakan bahwa semangat kaum seniman dan budayawan untuk ikut serta mengisi kemerdekaan dengan pembangunan kebudayaan tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan pembangunan politik dan militer yang sangat mendesak waktu itu. Jadi, pergerakan kebudayaan tersebut merupakan bagian penting dari sejarah bangsa ini.
Cuma sayang, pertentangan politik dan stabilitas nasional yang tidak kondusif mereduksi keberadaan gerakan kebudayaan sebagai pilar pembentuk kesadaran sosial maupun politik masyarakat tadi. Penerbitan karya-karya kebudayaan dan sastra justru berubah arah menjadi ajang ketidaksenangan, iri hati, dengki dan berujung pada polemik yang menjurus pada kebencian, caci maki, dan fitnah. Lihatlah bagaimana tidak senangnya seniman-seniman Lekra terhadap seniman-seniman yang religius seperti HAMKA. HAMKA dihujat, dicaci dan dituduh plagiator. Novel fenomenal Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, menurut golongan kiri (Lekra) diplagiat HAMKA dari roman Alphonse Karr, sastrawan Prancis, yang sudah disadur ke dalam bahasa Arab oleh Al Manfaluthi.
Kemudian pemerintah Sokarno pernah melarang Manifes Kebudayaan (Lekra menyebutnya Manikebu) pada tanggal 8 Mei 1964. Para penandatangannya tidak diberi ruang gerak, HB Jassin diberhentikan jadi dosen di FSUI. Ini adalah sebagai akibat keberhasilan propaganda Lekra yang sebagian cakarnya sudah mencengkram pemerintah. Mereka berusaha menerkam lawan-lawan politiknya dengan polemik yang keras (bahkan kemudian menjadi teror budaya) terutama terhadap seniman yang kontra revolusioner melalui penerbitan mereka seperti Zaman Baru, Bintang Timur dan Harian Rakyat..
Manifes Kebudayaan lahir sebagai bentuk perlawan terhadap situasi politik yang semakin menguntungkan Lekra (PKI) waktu itu. Para seniman dan budayawan yang berbeda pandangan dengan Lekra menyatukan langkah dan merapatkan barisan. Mereka bertahan pada konsep otonomi seni dalam kehidupan, walaupun harus berhadapan dengan agresifitas kelompok Lekra. Puncaknya pertahanan konsep ini adalah deklarasi Manifes Kebudayaan tanggal 17 Agustus 1963 yang ditandatangani HB Jassin dan kawan-kawan. Bagi kelompok ini, “Kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.”
Manifes kebudayaan ini kemudian mendapat sambutan hangat dari kelompok kebudayaan yang terancam oleh agresifitas Lekra. Tetapi, justru kemudian Lekra menyerang serta menuduh kelompok Manikebu ini sebagai kelompok yang anti Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) yang ditetap sebagai GBHN melalui Tap MPRS No. 1/MPRS/1960. Lekra juga mendeskreditkan kelompok Manikebu sebagai kelompok kontra-revolusioner sehingga harus dihapuskan dari bumi Indonesia. Itulah salah satu sebabnya kemudian pemerintahan Soekarno melarang Manifes Kebudayaan.
Akan tetapi, pasca G 30 SPKI 1965 yang gagal, perkembangan gerakan kebudayaan justru berbalik arah. Perubahan yang sangat drastis adalah pelarangan PKI dan sayap-sayap politiknya. Kemudain terjadilah penangkapan terhadap orang-orang PKI, sehingga dalam waktu yang singkat hancurlah slogan progresif revolusioner itu. Ternyata orang-orang PKI tidak sehebat dan segarang ketika mereka berpolemik. Mereka harus rela dianggap sebagai orang-orang yang berkianat terhadap bangsa Indonesia. Lalu, buku-buku mereka pun kemudian dilarang.

Tulisan ini pernah disampaikan di RRI Padang, Desember 2007

Kamis, 17 Januari 2008

GENERASI MINANGKABAU: Dari Generasi Penakut ke Generasi Televisi

Dulu, ketika saya masih kecil, entah kenapa saya begitu takut mendengar atau mengucapkan kata Minangkabau. Bagi saya ketika itu, kata Minangkabau adalah sesuatu yang asing, begitu aneh dan menyeramkan. Bisa jadi kemungkinannya karena saya tidak mengerti apa itu Minangkabau atau karena saya memang pernah ditanduak kerbau. Entahlah, yang saya ingat, ketika itu, setiap orang menyebut Minangkabau, maka saya akan lari, sama persis ketika orang memperlihatkan kepada saya gambar tengkorak.
Bertahun-tahun saya hidup dalam ketakutan itu, hingga suatu saat guru saya di Sekolah Dasar mengajarkan kepada saya bahwa kata Minangkabau itu berasal dari kata “menang” dan “kerbau”. Guru saya itu kemudian menceritakan bahwa dulu pernah ada pertandingan adu kerbau antara orang-orang Pagaruyung dengan orang-orang Majapahit. Dalam pertandingan itu, kerbau orang Pagaruyung berhasil mengalahkan kerbau orang Majapahit. Orang-orang Pagaruyung yang gembira, lalu meneriakkan “menang kerbau”. Lama kelamaan, istilah menang kerbau ini berubah menjadi Minangkabau seperti yang kita kenal sekarang.
Berawal dari situ, ketakutan saya terhadap kata Minangkabau berangsur-angsur mulai berkurang. Ketika saya melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, saya dengan sendirinya jadi terpicu; ingin tahu dan berhasrat sekali untuk mempelajari seluk-beluk Minangkabau. Ouu ternyata, Minangkabau itu adalah negeri saya; tempat darah ibu saya tertumpah untuk melahirkan saya. Keinginan saya berlanjut. Saya kemudian terobsesi membaca buku-buku yang berbicara tentang daerah saya itu. Namun, ketika pembacaan saya sampai pada catatan/ulasan tentang keadaan/nasib rakyat Minangkabau pasca peristiwa PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), saya jadi terpana, hening beberapa saat, Astagfirullah, ternyata yang mengalami ketakutan itu tidak cuma saya. Dari catatan sejarah, ketakutan rupanya telah menjadi bagian kolektif derita masyarakat Minangkabau dalam kurun waktu yang panjang pasca peristiwa berdarah itu. Bukan cuma takut, masyarakat Minangkabau juga kehilangan harga dirinya, hidup selama 40 tahun lebih tanpa bisa manegakkan kepala.
Peristiwa PRRI tahun 1958 dan berakhir tahun 1961 menyisakan trauma kemanusian yang mendalam bagi rakyat Minangkabau. Bukan hanya korban jiwa dan harta yang tidak terhitung jumlahnya, tetapi PRRI juga dicap sebagai pemberontak dan dianggap sebagai pembawa nasib buruk bagi rakyat Sumatera Barat. Kekalahan PRRI berarti penderitaan dan penghinaan yang tak alang kepalang besarnya. Harga diri orang Minangkabau diinjak-injak dengan cara yang tak dapat mereka terima. Keadaan ini bahkan berlangsung untuk waktu yang lama, hingga 40 tahun kemudian tatkala orde reformasi digerakkan oleh orang-orang muda (Mestika Zed dan Hasril Chaniago dalam bukunya Perlawanan Seorang Pejuang: Biografi Kolonel Ahmad Husein, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001 halaman 2).
Di awal-awal usai kekalahan PRRI, masyarakat Minangkabau menjadi centang prenang. Pranata sosial tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Kejahatan merajalela di mana-mana. Rakyat dicekam ketakutan. Ekonomi memburuk, banyak rakyat yang kelaparan, kebutuhan hidup sulit di dapat, sawah-sawah tidak bisa digarap, ladang dibiarkan merimba. Para pemuda pergi ijok atau pergi merantau. Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Minangkabau kehilangan harga diri sehinga berubah menjadi penakut, pemalu, dan merasa rendah diri. Anak-anak mereka dibesarkan dalam kehidupan yang serba tidak menentu dan penuh ketakutan. Mereka takut dengan tentara, helikopter, mobil jeep dan segala sesuatu yang asing di tengah-tengah mereka. Semua generasi PRRI pasti bisa menceritakan betapa mencekamnya suasana setelah PRRI. Siapa pun yang melewati pos penjagaan tentara harus turun dan membimbing sepedanya di sepanjang kawasan tersebut. Kalau tidak, mereka akan dipanggil untuk melapor dan bisa-bisa tamparan akan mendarat di muka. (Mestika Zed, Edi Utama, dan Hasril Chaniago dalam bukunya Sumatera Barat di Panggung Sejarah 1945-1995, 1998 halaman 164).
Tidak hanya sampai di situ, Ahmad Syafei Maarif ( dalam Republika, 2004: 12) malah mengatakan bahwa kekalahan PRRI kemudian telah merubah orang Minangkabau menjadi pragmatis. Asa lai tanduak makan, biarlah kapalo bakubang. Makanya, banyak orang Minangkabau yang memakai nama dengan ujung huruf o demi pragmatisme dalam menghadapi rezim Soekarno dan Soeharto yang otoritarian. Bahkan yang agak menggelikan adalah kebiasaan sebagian elit Minang yang mengucapkan akhiran kan dengan ken dan pemakaian perkataan daripada yang tidak pada tempatnya. Inilah pertanda budaya orang-orang yang kalah (Maarif, 2004). Sementara itu Mursal Esten dalam makalahnya “Tantangan Budaya Minangkabau dalam Menghadapi Globalisasi”, yang terhimpun dalam buku Tantangan Sumatera Barat, Mengembalikan Keunggulan Pendidikan Berbasis Budaya Minangkabau, Jakarta: Citra Pendidikan, 2001 halaman 124, dikatakan bahwa orang Minangkabau telah kehilangan jati dirinya dan menjadi objek perubahan selama 40 tahun lebih di bawah rezim yang sentralistik.
Kini, ketakutan sudah mulai hilang dari masyarakat Minangkabau seiring dengan bergantinya generasi. Generasi yang dibesarkan dengan ketakutan sepanjang 40 tahun itu, sekarang sudah memiliki anak, di antara mereka ada yang telah bersekolah tinggi. Anak-anak mereka itu telah mengajarkan mereka banyak hal, telah membawa perubahan dalam hidup mereka. Namun demikian, perubahan-perubahan yang terjadi kemudian membawa saya pada “ketakutan” jenis baru. Agaknya, ketakutan itu tidak akan pernah beranjak dari saya, atau dari bumi Minangkabau ini. Saya takut (lagi) karena generasi Minangkabau sekarang di samping tidak pula memahami apa itu Minangkabau sebagaimana saya dulu, juga merupakan generasi yang hidup di tengah-tengah kemerosotan budaya.
Generasi Minangkabau sekarang adalah generasi yang dibesarkan oleh televisi. Melalui siaran-siaran televisi yang beragam jenisnya, mereka akrab dengan berbagai macam budaya dan gaya hidup. Termasuk di antaranya budaya dan gaya hidup yang bukan saja tidak mengakar, tapi juga bertentangan dengan kebiasaan di Minangkabau. Dapat kita ambil contoh misalnya melalui acara-acara telusur kasus yang berbagai bentuk dan jenisnya. Melalui acara itu masyarakat dibuat akrab dengan berbagai jenis kekerasan, sehingga mudah saja disulut untuk kemudian menimbulkan kejahatan dan amuk massa; terjadilah tawuran antara kampung (cakak banyak) atau tawuran antar pelajar/mahasiswa, terjadilah pembunuhan mamak oleh kemenakan, pembunuhan orang tua oleh anak, terjadi pula berbagai bentuk kejahatan kelamin dan sebagainya. Melalui acara-acara hiburan dan infotaiment, masyarakat kemudian menjadi terhipnotis dengan gaya hidup materialistik dan konsumenistik, sehingga terjadilah kemudian berbagai bentuk kejahatan ketika hasrat untuk memenuhi kebutuhan itu terhambat. Terang saja, untuk memenuhi gaya hidup demikian diperlukan “sesuatu”. Pada kenyataannya “sesuatu” itu terbatas dimiliki. Kalau pun ada, ia ada pada orang lain, atau bahkan milik negara. “Sesuatu” itu mau tak mau harus dimiliki/didapatkan, maka menjadilah mereka sebagai penjambret, penipu, pembual dan sebagainya. Lebih parah lagi, ada juga mereka yang menjadi penjahat terhormat di gedung-gedung elit. Parahnya, karena mereka tidak hanya makan makanan kelas orang-orang elit, tapi mereka juga makan beton, aspal, semen dan benda-benda lain yang menjadi milik negara. Mereka lakukan itu secara berjamaah pula.
Pengaruh negatif yang kuat dari budaya televisi, juga terjadi dalam kehidupan perempuan Minangkabau. Sebagaimana kenyataan yang ada, sebagian dari mereka telah menjadikan standar duniawi sebagai tolak ukur berhasil tidaknya kualitas hidup mereka. Tengoklah, ketika orang ramai-ramai menjadikan artis sebagai idola/rujukan, sebagian perempuan Minangkabau (terutama kelompok mudanya) tidak mau ketinggalan. Ketika Agnes Monika mengecat rambutnya, mereka ramai-ramai meniru. Ketika Inul Daratista membuat sensasi dengan goyang ngebornya, gadis-gadis Minang pun menirunya. Buktinya: betapa banyak kaset-kaset/VCD lagu-lagu Minang yang diikuti goyangan seronok. Ketika para selebritis ramai-ramai berpakaian sempit, transparan dan mengumbar pusar, gadis-gadis Minang mengikutinya tanpa sungkan. Baju kurung mereka tanggalkan, lalu diganti dengan baju kurang yang katanya lebih modis dan moderen.
Jadi, generasi televisi sama saja dengan generasi sebelumnya. Bedanya, generasi televisi dan generasi sebelumnya hidup di dua era yang berbeda. Generasi televisi tumbuh dan berkembang dengan apa-apa yang disodorkan televisi itu. Jika tidak direfresh secara budaya, generasi televisi sebagai korban budaya, jauh lebih “berbahaya” mengeroposkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Minangkabau dibandingkan generasi penakut sebagai korban pelaku sejarah yang masanya telah lewat. Demikianlah, generasi yang dibesarkan oleh televisi sama parahnya dengan generasi yang dihantui ketakutan selama puluhan tahun. Saya tidak tahu ke depan entah apa lagi yang akan terjadi di Minangkabau ini. Yang saya tahu generasi penakut dan generasi televisi adalah dua hantu yang pernah ada di negeri ini. Walahualam Bissawab.

Rabu, 09 Januari 2008

Mahasiswa: Intelektual vs Pengkianat

Oleh Ronidin


Tidak ada seorang pun yang bercita-cita menjadi generasi bodoh. Kalau pun ada, itu adalah orang yang benar-benar bodoh. Demikian juga menjadi seorang yang intelek (sukses menjalani fase-fase kehidupannya) tidak seorang pun yang tidak menginginkannya. Kalau pun ada, itu tidak lain adalah generasi yang benar-benar dilingkupi kebodohan. Paling tidak punya cita-cita untuk sukses. Kalau toh kemudian cita-cita itu tidak dapat diwujukan karena berbagai kendala, maka cita-cita itu dapat dikatakan sebagai sebuah ikhtiar untuk keluar dari kebodohan. Bukankah sebagai manusia ‘hidup’ kita perlu berikhtiar (?)

Upaya yang dapat ditempuh seseorang untuk mewujudkan impiannya mencapai keberhasilan (dengan titik fokus menjadi generasi yang intelek) adalah dengan terus meningkatkan atau meng-up grade pendidikannya. Pendidikan perlu terus ditingkatkan karena ilmu dalam setiap zaman terus berkembang. Bukankah pendidikan itu tidak mengenal batas-batas sebagaimana kita mengenal batas-batas lain secara fisik. Pendidikan mesti dijalani selama hayat masih dikandung badan. Tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai menjelang masuk liang lahat. Lalu cari dan gali pulalah ilmu itu walau sampai ke negeri China, begitu kata Rasulullah Muhammad saw lima belas abad yang lalu.

Pendidikan dapat dikatakan sebagai kendaraan yang akan membawa seseorang menjadi dihormati. Secara formal, pendidikanlah yang akan membawa seseorang menjadi intelektual sejati. Pendidikanlah yang akan menyelamatkan masa depan seseorang sekaligus membawanya mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Lengkap sudah, pendidikan adalah alat untuk mengantarkan seseorang kepada cita-cita yang diimpikannya. Pendidikan merupakan jendela untuk menjelajah/mengitari dunia dan alam sekitarnya (lihat Q.S. 55: 33).

Salah satu level pendidikan formal adalah Perguruan Tinggi (PT) yang dapat dicapai sesudah melewati level-level di bawahnya. Perguruan Tinggi merupakan jenjang terakhir yang hampir mendekati puncak keberhasilan meraih impian. Di Perguruan Tinggi-lah sejatinya keintelektualan itu dapat diasah setajam-tajamnya. Para pelajar yang mengasah pisau keintelektualan itu kemudian disandangkan ke pundak mereka sebutan mahasiswa. Maha sepadan dengan agung atau tinggi sedangkan siswa sepadan dengan pelajar/penuntut ilmu. Mahasiswa: pelajar yang agung atau penuntut ilmu di kelas yang tinggi. Dengan demikian, sebutan mahasiswa tidak hanya berupa status, di baliknya tersimpan tanggung jawab moral seseorang untuk “belajar” menjadi seorang intelektual; orang yang tidak hanya sekedar berilmu, tetapi juga mengamalkan ilmu itu serta mengajarkannya pula.

Menjadi mahasiswa menyebabkan seseorang begitu dihargai di tengah-tengah masyarakatnya. Hal itu tidak lain karena status mahasiswa dipandang sebagai sesuatu yang bergengsi, tinggi, dan terhormat. Mahasiswa dianggap sebagai agent of change untuk kemudian dititahi sebagai golden boy bangsa ini di kemudian hari.

Sedemikian agungnya status mahasiswa di mata masyarakat, supaya gayung bersambut kata berjawab pula, maka mau tidak mau, mahasiswa semestinya menampakkan identitas dan keberadaan diri mereka sebagaimana yang dipersepsikan masyarakat tersebut. Sebagai bagian dari generasi yang sedang berusaha menjadi generasi intelektual, mahasiswa tidak boleh apatis apalagi skeptis dengan apa yang ada. Justru itu, mahasiswa sepatutnya berada di garis depan dalam mendadarkan pengetahuan dan kemampuan akademisnya untuk kepentingan masyarakat luas. Dengan bekal yang diporoleh secara akademis maupun nonakademis di lingkungan kampus dan masyarakat, kelak mahasiswa semestinya tak terkendala mengejawantahkan ilmu itu untuk kepentingan orang banyak. Selain itu, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang, mahasiswa mesti berperan aktif di masyarakat, mengisi pembangunan terutama dalam upaya mengawal jalannya cita-cita “reformasi” sebagai harapan kaum muda terhadap perbaikan nasib bangsa ini.

Karena itu, menjadi mahasiswa sebenarnya tidaklah hanya sekedar menyandang status sebagai mahanya siswa. Tidak sekedar gagah-gagahan. Tidak sekedar untuk berbangga-bangga kepada orang-orang di kampung dengan mengatakan bahwa saya adalah mahasiswa, saya adalah agent of change maupun golden boys.

Tentu saja menjadi mahasiswa adalah menjadi tulang penyangga bangsa ini di masa mendatang. Sebuah tugas yang teramat berat, sekaligus sebuah tugas yang mulia. Nilainya kira-kira sama dengan nilai jihad jika dilakukan dengan kesungguhan dan tanpa pamrih. Jika saja tulang penyangga itu rapuh dan hanya mentreng karena statusnya, maka dapat dipastikan bahwa generasi bangsa ini akan sulit bersaing dengan bangsa lain yang terus berkembang secara pesat. Jika saja tulang penyangga it uterus berbangga karena statusnya tanpa berusaha mengisi otak dan imannya, maka status itu akan membuatnya menjadi orang yang mudah lupa diri seperti yang diingatkan Milan Kundera.

Nah, ketika ada gelombang mahasiswa yang tercerabut dari akar akademisnya, maka dapat dikatakan itulah sebuah pernistaan terhadap kaum akademis dan almamaternya. Itulah sebuah kedurhakaan intelektual. Dikatakan demikian karena esensi dari intelektualitas itu sudah mengirap dari mereka. Bagi mereka itu, status mahasiswa hanyalah sekedar tempelan, sekedar status yang diumbar ke mana-mana demi gengsi. Sekedar mengambil contoh, tengoklah betapa naifnya kelompok mahasiswa opurtunis, yaitu kelompok mahasiswa yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh nilai dan ijazah. Bagi mereka nilai dan ijazah itu lebih penting dari pada ilmu. Maka akibatnya, lahirlah sarjana dengan ijazah yang bagus-bagus, namun ketika dihadapkan pada tantangan kerja mereka gagap. Mereka miskin ilmu maupun skill.

Di bawah kelompok mahasiswa oportunis, ada pula kelompok mahasiswa apatis. Kelompok mahasiswa apatis adalah mereka yang tidak peduli dengan diri mereka sendiri apalagi dengan lingkungannya. Mereka adalah mahasiswa tipe cuek, tidak pernah belajar dengan serius, kuliah senin-kamis, terperangkap pada kehidupan bebas, terlibat narkoba dan bahkan free seks, suka hura-hura menghabiskan uang orang tuanya yang diperoleh dengan tunggang-tunggik tidak siang tidak malam, dan sebagainya. Jadi, siapa yang akan membantah, kalau prilaku demikian dikatakan sebagai sebuah luka nestapa; tragedi bagi kaum akademisi di tengah gegap gempitanya orang-orang mempersepsi mereka sebagai agent of change maupun golden boy. Mereka itulah para pengkianat terhadap orang tua mereka dan pengkianat bangsa.

Begitulah, kiranya perlu diinap-inapkan sebuah renungan yang disampaikan Taufik Ismail: mahasiswa takut pada dosen, dosen takut pada dekan, dekan takut pada rektor, rektor takut pada mentri, mentri takut pada presiden, dan presiden takut pada mahasiswa. Itulah sebuah renungan yang menggelitik; menunjukkan bahwa peran mahasiswa sebagai generasi muda (sebagai agen perubah) terutama dalam mengontrol baik buruknya suatu bangsa sangat besar, sehingga seorang presiden “harus” merasa “takut” dengan mahasiswa. Dua kali sejarah bangsa ini mencatat bahwa mahasiswa mampu menjadi lokomotif perubahan dari ototarian sebuah rezim yang berkuasa. Jelas semua itu dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa yang intelek, bukan mahasiswa oportunis apalagi apatis. Walahualam bissawab.