Selasa, 28 Oktober 2008

Mengapa Tidak Ada ”Kampung Minang”?, Catatan Tambahan untuk Artikel Mathias Pandoe

Dari Padek, Selasa, 28 Oktober 2008
Oleh : Suryadi, Dosen dan Peneliti Pada Universiteit Leiden, Belanda

Menarik membaca artikel Mathias Pandoe, “Minangkabau Boulevart” (sic) yang dimuat Padang Ekspres (Jumat, 24 Oktober 2008). Artikel itu mendiskusikan mengapa perantau Minangkabau di banyak daerah di luar Sumatera Barat, termasuk luar negeri, tidak hidup dalam sebuah enclave seperti beberapa etnis lainnya?

Kalau di banyak kota ditemukan Kampung Cina, Kampung Keling, Kampung Nias, Kampung Bali, Kampung Bugis, dan Kampung Ambon, misalnya, mengapa tidak ada Kampung Minang? Mathias menjelaskan bahwa hal itu disebabkan “orang Minang merantau tidak mengelompok di satu kawasan, tapi menyebar dengan jarak agak jauh satu sama lain”. Tetapi mengapa sifat seperti itu muncul pada orang Minang?

Yang menarik sebenarnya penjelasan historis penulis mengenai hal ini yang, sayangnya, hanya menyinggung sedikit dalam artikel itu. Tulisan ini ingin menokok-tambah sedikit penjelasan historis Mathias yang sepintas lalu itu. Analisis dan interpretasi saya didasarkan atas refleksi terhadap sumber-sumber pertama sejarah yang telah saya baca.

Seperti dikatakan dalam artikel Mathias Pandoe, Kampung Ambon, Kampung Cina, dan banyak kampung yang lain itu sudah terbentuk di kota-kota pantai di Nusantara jauh pada zaman lampau. Ada indikasi bahwa beberapa kampung seperti itu sudah muncul sebelum orang Eropa datang ke Nusantara. Tapi kebanyakan kampung seperti itu terbentuk setelah Orang Eropa, khususnya Belanda, mulai bercokol di Nusantara.

Konsolidasi penjajahan Belanda di Kepuluan Nusantara melalui serikat dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) sejak awal abad ke-17 telah ikut mempengaruhi struktur demografi kependudukan wilayah kepulauan ini.

Banyak kelompok etnis melakukan penghijarahan dari daerah asalnya ke daerah lain, khususnya ke kota-kota pelabuhan. Migrasi itu ada yang dilakukan karena terpaksa (biasanya hal ini terkait dengan tugas militer dan perbudakan) dan ada yang dilakukan secara sukarela (biasanya karena motif ekonomi).

Orang-orang yang melakukan penghijrahan itulah yang membuat kampung-kampung sendiri di tempat mereka yang baru. Dapat dibayangkan bahwa pada waktu itu (abad ke 16-awal abad ke-20) masing-masing etnis yang berpindah tempat itu, atau dengan paksa dipindahkan, sangat merasa asing di daerah mereka yang baru tempat mereka tinggal.

Mereka umumnya tidak bisa berbahasa Melayu, oleh karenanya tidaka bisa berkomunikasi dengan kelompok dari suku lain yang juga berimigrasi ke tempat yang sama. Hal ini berlaku juga bagi ras-ras asing yang datang ke Nusantara, seperti orang India (Keling), Arab, dan Cina. Salah satu cara, dan ini semacam naluri makhluk hidup pada umumnya, adalah tinggal berkelompok di wilayah yang sama di tempat yang baru itu.

Cukup dapat dipastikan bahwa awal terbentuknya kampung-kampung beberapa kelompok etnis dari Indonesia timur di kota-kota Jawa (seperti Batavia dan Surabaya)—seperti Kampung Bali, Kampung Ambon, dan Kampung Bugis—disebabkan oleh pendatangan dan pengiriman budak-budak dari daerah itu ke Jawa. Paling tidak ada tiga tipe budak dari wilayah itu: 1) yang diperdagangkan; 2) yang dibawa paksa oleh Belanda ke Batavia sebagai tenaga kerja; 3) yang dihadiahkan sebagai ‘kado’ oleh raja-raja lokal setempat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.

Masyarakat etnis yang hidup di Indonesia Timur umumnya mengenal kasta sosial paling rendah, yaitu budak. Mereka boleh diperdagangkan dan dihadiahkan. Bila raja-raja mereka mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Raad van India-nya di Batavia, maka setiap surat yang dikirim diiringi dengan ‘buah tangan’ berupa ternak, hasil bumi setempat, dan budak (biasanya disebut abdi, lasykar, bingkisan, dan kiriman).

Simak kutipan kalimat penutup Surat Sultan Bima ke-9, Abdul Hamid Muhamad Syah (1773-1817), kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda berikut ini (garis bawah oleh Suryadi):

“Satupun tiada alamat al-hayat hanyalah pada siang dan malam serta keadaan enam orang abdi laki2 yang tiada sepertinya. Maka yang seperti kuda itu telah sediakan oleh Paduka Raja Bima, mau dikirimkan kepada Tuan Gurnadur Jenderal dengan segala Rat van [I]ndia yang sebagaimana yang telah sudah dibiasakan kepada tahun2 dahulu2.” (Naskah Leiden Or.2240-Ia.2).

Dan di bawah ini kutipan dari kalimat penutup surat Raja Buton ke-26, Muhyiuddin Abdul Gafur (1791-1799):
“Apalah kiranya tanda alamat al-hayat pada akhir al-satarnya hanya dua lapan orang bingkisan kepada Kompeni dan dua orang kiriman kepada Tuan Heer Gurnadur Jenderal, demikianlah adanya.” (Naskah Leiden Or.2240-Ia.44).

Banyak sekali budak ‘buah tangan’ itu yang diterima (petinggi) Kompeni Belanda. Bayangkan saja: setiap surat dibarengi dengan hadiah beberapa orang budak (ada yang sampai 28 orang). Sepanjang abad ke-17, 18, dan 19 ada ribuan surat seperti itu yang dikirim oleh raja-raja lokal di Nusantara kepada Gubernur Jenderal Hindua Belanda di Batavia. Bayangkan jumlah budak yang menyertainya.

Minggu lalu saya membaca surat-surat Raja Bali (Buleleng dan Karangasem) yang tersimpan di Universiteitsbibliotheek Leiden. Rupanya raja-raja Bali juga royal mengirim hadiah budak kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Raja-raja atau penghulu Minang dulu kalau mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia menyertai emas sebagai buah tangan, bukan budak. Simak kutipan kalimat penutup surat Panglima Raja di Hilir, Penghulu Kepala kota Padang di bawah ini (garis bawah oleh Suryadi):

“Syahdan maka adalah dipesertakan dengan burhan al-wujud sezarah ini tuhfah haluan daripada yang diperhamba Panglima serta penghulu2 yang dua belas serta istiadat yang dibiasakan keadaannya lima belas tahil mas kepala, serta kami minta selamat sekalian jenis kebajikan dan kesentosaan Tuan Gurnadur Jenderal dan sekalian Tuan Raden van India” (Naskah Leiden Or.2241-IIb 1; 13 Maret 1792).

Dan—he he, tanda si Padang pelit (cimpilik kariang?)—Panglima Raja di Hilir seringkali hanya bilang “dengan hati putih” saja, tanpa dibarengi ‘kado’ lagi, seperti dapat dikesan dalam kutipan suratnya di bawah ini (garis bawah oleh Suryadi):

“Sekarang suatupun belum apa2 persembahan daripada kami melainkan hanya hati putih selamat dengan segala jenis kebajikan Tuan Gurnadur Jenderal dan segala Tuan orang besar [Raad] van India serta sekalaian umur panjang jua adanya.”(Naskah Leiden Or.2241-IIb 4; 28 Maret 1794).

Umumnya penghijrahan orang Minang dilakukan secara spontan—satu ciri merantau orang Minang yang khas (Naim 1979). Satu keuntungan lagi: orang Minang rata-rata bisa berbahasa Melayu, yang di zaman lampau disebut sebagai “bicaro gaduang”. Oleh sebab itu para perantau Minang tidak sulit berkomunikasi dengan kelompok-kelompok etnis yang sudah lebih dulu bermastautin di bandar-bandar Nusantara yang memang sudah menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca dalam komunikasi antaraetnis. Sifat independen nagari-nagari di Minangkabau juga ikut mempengaruhi kohesi sosial antara sesama orang Minang di rantau.

Faktor-faktor di atas—sifat-sifat internal kebudayaan Minangkabau sendiri dan juga faktor kebahasaan—tidak saja mempengaruhi jenis pekerjaan yang disukai orang Minang di rantau, tetapi juga mempengaruhi cara mereka hidup dengan sesamanya dan dengan orang-orang dari kelompok etnis lain. ***