Oleh Dr. Abdul Hadi W. M.
Dalam “Piagam Jakarta” yang ditetapkan pada tanggal 22 Juni 1945 oleh 9 (sembilan) founding father negara kesatuan Republik Indonesia dinyatakan seperti berikut:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.”
Nyatalah bahwa kemanusiaan atau humanisme yang dimaksudkan dalam Piagam Jakarta atau Pancasila itu adalah suatu bentuk dari humanisme religius yang dijiwai oleh ajaran agama yang dianut penduduk Indonesia. Humanisme ini bukan hanya mengacu pada nasionalisme dan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, tetapi juga suatu bentuk humanisme yang mengandung peri-keadilan di dalamnya terhadap segenap rakyat Indonesia (lihat sila kelima Pancasila). Keadilan tidak mungkin wujud tanpa pengakuan terhadap martabat manusia dan persamaan derajat manusia di depan hukum universal.
Piagam Jakarta mengindikasikan bahwa martabat manusia adalah sangat mendasar dan esensial dalam membangun masyarakat madani yang menghargai hak asasi manusia. Segala hak politik, ekonomi dan sosial serta seluruh nilai-nilai demokrasi pada hakekatnya adalah untuk melindungi martabat manusia dan mengembangkan kepribadian manusia. Seorang budak yang dirampas hak asasinya, seorang kulit berwarna yang hidup di bawah kebiadaban masyarakat apartheid, sekelompok masyarakat pribumi yang hidup dibawah penindasan pemerintahan kolonial baik hak-hak politik, ekonomi dan kulturalnya seperti dialami bangsa Indonesia pada masa penjajahan dahulu, seorang wanita yang menderita karena tidak mendapat perlakuan setara dengan kaum pria, atau seorang anak/sekelompok generasi muda yang dibesarkan dalam kondisi tidak sehat, miskin dan tidak menguntungkan bagi pengembangkan potensi dirinya, semua ini tidak akan bisa memperoleh martabatnya sebagaui manusia dan tidak akan pula pribadinya berkembang,
Untuk itu harus disusun suatu sistem nilai yang mengakui keunggulan manusia sebagai hakikat kemanusiaannya, dan martabatnya sebagai dasar sistem tersebut. Inilah yang dikandung Piagam Jakarta/Mukadimah UUD 45 beserta Pancasila yang ada di dalamnya. Ternyata apa yang disusun oleh para pendiri NKRI itu sesuai dengan Piagam PBB 1948 tentang Hak-hak Asasi Manusia. Dalam mukadimahnya Piagam PBB menegaskan:
“Kami rakyat Persatuan Bangsa-bangsa memutuskan untuk menegaskan kembali keyakinan kami terhadap hak-hak asasi manusia, terhadap martabat dan kelayakan pribadi-pribadi manusia, terjadap hak-hak persamaan antara kaum wanita dan pria dan antara bangsa-bangsa, besar atau keci;l”
Selanjutnya dinyatakan, “Mengingat pengakuan terhadap martabat yang padu dan hak-hak persamaan yang tidak dapat diganggu gugat dari seluruh anggota keluarga umat manusia adalah dasar kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia…” Kalimat yang sama diulang da;am mukadimah Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966 dan Perjanjian Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966.
Pada peringatan Tahun Hak-hak Asasi Internasional 1968 di Teheran, peserta konferensi memaklumkan deklarasi: “Adalah wajib bagi masyarakat ionternasional untuk menunaikan kewajiban yang sungguh-sungguh menjunjung tinggi hak asasi manusia serta kebebasan dasar bagi semua orang, tanpa membeda-bedakan golongan, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya…Pelanggaran besar-besaran terhadap hak asasi manusia timbul dari diskriminasi ras, agama dan kepercayaan, atau pernyataan pendapat yang melukai hati umat manusia serta membahayakan dasar-dasar kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia”.
Piagam Teheran juga menyebutkan bahwa aparheid, rasialisme dan kolonialisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hak asasi manusia dapat direalisasikan melalu pembangunan kebijakan-kebijakan besar sehingga hak asasi ekonomi, sosial dan budaya dapat dinikmati semua orang, bahwa buta hurud adalah pengingkaran terhadap hak asasi manusia, dan komersialisasi pendidikan oleh negara merupakan penyebab dari kebodohan yang bertentangan dengan kemanusiaan.
Dalam hadis, disebutkan pula bahwa Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut: “Wahai Tuhan, Pemelihara hidupku beserta seluruh semesta alam: Aku menegaskan bahwa sekalian manusia adalah saling bersaudara” (Sunan Abi Daud I, 1369:211).
Dalam Pidato perpisahan di Padang Arafah, Nabi Muhammad s.a. w. juga menyatakan sebagai berikut:
Seluruh manusia bagi Islam sama..
Orang Arab tidak lebih mulia dari yang lain
Orang Persia tidak lebih mulia dari orang Arab
Si Kulit Putih pun tak lebih mulia dari si Kulit Hitam
Tidak pula sebaliknya
Kecuali atas derajat taqwa jua,
Serta kebajikan terhadap sesamanya
…
Jangan beri daku darah nenekmoyangmu
Yang kuinginkan ialah kebajikan”
(Ahmad Imam dalam Musnad)
Pengakuan terhadap Keesaan Tuhan secara tersirat merangkumi pengakuan terhadap adanya saling keterkaitan antara persaudaraan dan persamaan umat manusia. Sebuah syair sufi Melayu menyatakan:
Hamzah Fansuri orang `uryani
Seperti Ismail jadi qurbani
Bukannya `Ajami lagi Arabi
Senantiasa washil dengan Yang Baqi
(Hamzah Fansuri, abad ke-16 M)
Suatu kali Ali bin Abi Thalib r.a. bertanya kepada Rasululllah tentang asas-asas yang mendasari perilaku utama dan kebajikan-kebajikan beliau, dan Rasulullah menjawab:
“Ilmu pengetahuan adalah modalku, akal pikiran adalah dasar dasar agamaku, ingat kepada Allah adalah sahabatku, cemas adalah kawanku, sabar adalah bajuku, pengetahuan adalah tanganku, kepuasan adalah harta perolehanku, menolak kesenangan (yang berlebihan) adalah profesiku, keyakinan adalah makananku, kebenaran adalah saranak, taat adalah perbekalanku, jihad adalah kebiasaanku dan kesenangan hatiku ialah dalam mengerjakan ibadah:.”
Dengan bertitik-tolak dari pernyataan-pernyataan yang telah dikutip tersebut, kita ingin membicarakan gagasan humanisme dalam Islam. Pertama, berkenaan dengan kedudukan dan martabat manusia di alam dunia selaku khalifah Tuhan dan hamba-Nya.; Kedua, manusia dalam pandangan para filosof Muslim sebagai al-haywan al-nathiq dan implikasi-implikasinya bagi kehidupan intelektual dan moral; Ketiga, hubungan gagasan humanisme dengan etika dan adab.
Kedudukan Manusia
Untuk mengetahui dasar-dasar humanisme dalam Islam, kita harus berpaling kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Kitab suci al-Qur’an menegaskan, “Sungguh, telah Kujadikan manusia dalam keadaan/susunan sebaik-baiknya (ahsan taqwim) (Q 94:4). Demikian, dalam pandangan Islam, manusia itu merupakan makhluq yang mulia dan paling tinggi derajatnya di antara sekalian ciptaan Tuhan. Bahkan kitab suci umat Islam itu menegaskan bahwa derajat manusia itu lebih tinggi dari malaikat, dan manusia diciptakan dengan maksud agar malaikat bersujd kepadanya dan segala yang ada di bumi berbakti kepadanya”. Al-Qur’an juga juga menyatakan bahwa manusia dicipta sebagai khalifah (wakil) Tuhan di atas bumi dan memberinya amanat atau tanggungjawab untuk memelihara bumi.
Bumi merupakan tempat terbaik bagi manusia untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi makhluq yang paling mulia. Bumi bukanlah penjara atau tempat manusia dihukum disebabkan dosa-dosa asal yang dibuatnya selama menjadi penghuni Taman Eden. Tetapi Tuhan dapat pula menjerumuskan manusia ke dalam keadaan afsal safilin, keadaan yang serendah-rendahnya apabila melakukan kesalahan dan mendatangkan kerusakan di bumi yang merugikan umat manusia dan kemanusiaan. Agar manusia selamat, ia tetap berpegang pada petunjuk Tuhan (wahyu) dan memiliki pengetahjuan tentang dunia dan seluk beluk kehidupan tentang dirinya dan sesamanya.
Prinsip dasar ajaran Islam ialah keimanan atas tauhid, bahwa tidak ada yang patut disembah selain Allah. Prinsipini tidak hanya menciptakan doktrin monotheistic Islam yang khas dan utuh, tetapi juga menjamin bahwa di dunia ini tidak ada yang lebih tinggi derajatnya dari manusia. Kedudukan istimewa yang diberikan Tuhan kepada manusia ini diterangkan dalam al-Qur’an, yakni bahwa hukum kehidupan ini telah ditetapkan oleh Tuhan kepadanya. Hukum itu ialah bahwa sementara Tuhan menanamkan bakat bawaan yang murni (fitrah) kepada manusia untuk dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, Tuhan juga memberi kebebasan bagi manusia sebagai pribadi untuk mengembangkan dan menguji fikirannya antara kedua hal itu (salah dan benar, buruk dan baik, jelek dan indah) hingga mencapai kesimpulan akhir.
Perbuatan dan ikhtiar manusia merupakan tanggungjawab pribadi manusia itu sendiri. Firman Allah dalam al-Qur’an: “Jika mereka mendustakan kamu (ya Muhammad), katakanlah: Aku bertanggungjawab atas apa yang aku kerjakan, dan kalian pun beranggungjawab atas apa yang kalian kerjakan, sehingga kalian tidak perlu mempertanggungjawabkan perbuatan aku dan aku pun tidak perlu mempertanggungjawabkan perbuatan kalian.”( Q 10:41)
Dalam ayat lain dikemukakan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu kaum, sampai mereka sendiri mau merubah dirinya” (Q 13:11). Jadi al-Qur’an dan Nabi Muhammad s.a.w. menegaskan pentingnya ikhtiar dan kemauan bebas (freewill), kebebasan berbuat serta kemandirian bagi manusia. Dalam Islam setiap individu bisa berhubungan spiritual dengan Tuhan tanpa perantara. Kedudukan manusia begitu tingginya dalam Islam.
Hendaklah dicatat di sini bahwa ayat yang telah dikutip, khususnya berkenaan dengan kata-kata ‘diri’ dihubungkan dengan ‘keadaan’ atau ‘dunia’ di dalam diri manusia, jadi bersifat spiritual atau diri spiritual manusia. Nurcholis Madjid menerjemahkan dunia dalam diri manusia itu sebagai ‘pemikirannya’ (tentang segala sesuatu), sedangkan Kuntowijoyo memperluasnya dengan pemahaman lain. Mengubah diri adalah juga mengubah pandangan dunia (weltanschauung) , orientasinya pada nilai-nilai dan cara-cara memahami ajaran agama serta cara-cara mengaktualisasikannya dalam kehidupan pribadi dan sosial. Iqbal, sebelumnya, mengatakan bahwa yang dirubah mestinya bukan sekadar pemikiran, sistem nilai dan pandangan dunia, tetapi juga cita-cita, kehendak dan pemahaman terhadap diri kulturalnya. Jadi yang dirubah bukan hanya alam pemikirannya, tetapi juga kkondisi-kondisi sosial politik, ekonomi dan budayanya.
Perubahan itu tertuju pada kemajuan dan dalam Islam yang disebut kemajuan ialah “Kembali kepada asas-asas ajaran Islam yang sejati dan benar”, sebab kemajuan ke arah yang bersifat material semata-mata bukanlah tujuan bagi Islam melainkan semata-mata sebagai ‘kendaraan’ atau ‘sarana’ untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi.
Kini kita kembali pada persoalan kedudukan dan martabat manusia. Para filosof Muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Tufayl, al-Ghazali dan lain-lain, dalam rangka menyelaraskan falsafah Yunani yang mereka pelajari dengan ajaran Islam, telah berusaha merubah pemahaman para filosof Yunani mengenai manusia dengan memberinya dimensi-dimensi spiritual yang lebih luas dan mendasar. Ini tampak dalam perkataan al-hayawan al-nathiqا [u1] sebuah kata-kata Arab yang diterjemahkan dari perkataan Yunani animal rational. Di sini manusie diberi definisi formal sebagai ‘animal rational’ atau ‘binatang yang berpikir”.
Definisi ini sekurang-kurangnya mengandung gagasan tentang arti ‘rasional’ sebagaimana dipahami secara umum, yaitu ‘nalar. Dalam sejarah intelektual di Barat konsep tentanng ‘rasio’ telah mengalami perubahan sedemikian rupa dalam perkembangannya, bahkan menjadi penuh dengan kontroversi dan problematic. Seacara bertahap ia dipisahkan dari ‘intelek’ (intelectus), kemampuan tertinggi manusia untuk membedakan yang salah dan benar, serta untuk mengenal kebenaran tertinggi. Para filosof Muslim tidak memahami rasio sebagai terpisah dari apa yang disebut intellectus atau al-`aql. Bagi mereka `aql merupakan kesatuan organic dari rasio dan intelectus (al-Attas 1980:37). Dengan cara demikianlah filosof Muslim mendefinisikan manusia sebagai al-hayawan al-nathiq. Di sini kata al-nathiq menunjuk pada fakulti bati manusia berkenaan dengan nalar atau kemampuan berfikir secara rasional dan intelektual, yaitu ‘merumuskan makna-makna’ (dzu-nuthuq).
Akar kata nathiq dan nuthuq mempunyai makna dasar ‘pembicaraan’, yaitu ‘pembicaraan manusia’. Setelah dibentuk menjadi kata-kata nathiq dan nuthq maka ia berarti sebagai kekuatan, atau kesanggupan dan kemampuan tertentu dalam diri manusia untuk ‘menyampaikan kata-kata dalam sebuah pola yang bermakna’. Kepada pengertian inilah apa yang diucapkan Nabi Muhammad s.a.w. kepada Ali bin Abi Thalib r.a. dapat kita rujuk,
Dari apa yang telah dikemukakan kata-kata al-hayawan al-nathiq itu dapat diartikan sebagai ‘binatang berbahasa’ sebab bahasa merupakan hasil pemikiran manusia dan berbahasa dengan baik hanya mungkin dapat dicapai dengan kecerdasan berpikir. Berbahasa berarti menyampaikan simbol-simbol linguistik ke dalam suatu pola bermakna. Penyampaian itu hanya dapat dimengerti dengan fakulti kerohanian yang tertinggi yang disebut `aql. Menurut Muhmmad Naquib al-Attas, kata `aql itu sendiri pada sasrnya bermakna sejenis ‘ikatan’ atau ‘simpul’, sehingga ia bisa diberi arti sebagai ‘atribut batin manusia yang mengikat dan menyimpulkan obyek-obyek ilmu dengan menggunakan sarana kata-kata’. Ingatlah bahwa al-Qur’an juga mengatakan bahwa hanya Adam (manusia) yang dikaruniai ‘pengetahuan tentang nama-nama’ oleh Allah. Dan pengetahuan tentang nama-nama itu tidak adalah pemahaman atau pengetahuan tentang obyek-obyek menyangkut perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya, cirri-ciri atau sifat-sifat khususnya, keadaan dan bentuknya, serta tempatnya dalam tatanan wujud metafisis dan fisis kehidupan.
.Jadi kemuliaan manusia terutama ditentukan oleh pencapaian akalnya, serta realisasi dari apa yang dicapai oleh akalnya dalam kehidupan, dan kearifannya dalam mengarahkan hidupnya menuju kebaikan dan kebenaran. Kata-kata `aql berpadanan dengan kata-kata qalb (kalbu). Sebagaimana kalbu, yang merupakan alat pencerapan pengertian ruhaniah, demikian pula halnya dengan akal. Keduanya dengan demikian merupakan substansi (jawhar) ruhaniah yang dengannya ‘diri rasional’ (al-nafs al-nathiq) seseorang dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan (lihat al-Jurjani 157).
Dalam membuat definisi yang benar tentang manusia sebagai al-hayawan al-nathiq ialah bila yang kita maksud dengan al-nathiq (nalar) dalam pendefinisian itu ialah ‘kemampuan untuk memahami pembicaraan dan kesanggupan untuk beranggung jawab atas perumusan makna – yang melibatkan penilaian, pembedaan, pencirian dan penjelasan, serta yang berkaitan dengan penyampaian kata-kata atau ungkapan dalam suatu pola yang bermakna. Kata-kata makna atau ma`na harus didasarkan pada arti kata ma’na sebagai konsep dalam ilmu dan falsafah Islam, yaitu “pengenalan tempat-tempat segala sesuatu dalam tatanan wujud masing-masing”. Pengenalan seperti hanya mungkin terjadi bilamana ‘hubungan’ sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam tatanan tersebut telah ‘terjelaskan’ dan ‘terpahamkan’. Hubungan tersebut menguraikan keteraturan tertentu.
Hakikat manusia, dalam pengertian ini, ditentukan oleh substansi ruhaniahnya yang berperan mengenal sesuatu secara benar, yaitu tempat sesuatu dalam tatanan wujudnya masing-masing dan hubungannya dengan yang lain dalam tatanan wujud yang lain yang membentuk keteratuiran. Obyek-obyek pengenalan yang memiliki keteraturan hubungan satu sama lain itulah yang merupakan obyek ilmu pengetahuan, yang dikatakan Nabi sebagai modal dan tangan beliau (sarana menguasai sesuatu),
Orang Islam sepakat bahwa semua ilmu datang dari Allah. Kita juga tahu bahwa cara ilmu itu datang, dan fakulti kerohanian dan indera yang menerima dan menafsirkannya tidak sama. Oleh karena semua pengetahuan datang dari Allah dan ditafsirkan oleh jiwa melalui fakulti kerohanian dan indera, maka definisi terbaik tentang ilmu – dengan mengacu kepada Allah sebagai sumbernya – adalah bahwa ilmu itu ialah ‘kehadiran/kedatangan (hushul) makna sesuatu atau suatu obyek pengetahuan di dalam jiwa” (hushul ma`na aw shurat ‘l-syay`i fi al-nafs).
Sedangkan apabila kita mengacu pada jiwa sebagai penafsirnya maka ilmu pengetahuan berarti “ sampainya (wushul) jiwa pada makna sesatu atau obyek pengetahuan”. Di sini seorang berilmu (`alim) berarti seseorang yang jiwanya memperoleh makna dari sesuatu yang diketahui”. Pengertian ini merangkum pula konsep-konsep kunci lain seperti konsep-konsep tentang ayat (tanda-tanda Tuhan). Konsep ini mengacu pada ‘kata-kata’ dan ‘sesuatu’ (yang merupakan tanda-tanda keagungan Tuhan). Berdasarkan ini para mufassir mendefinisikan ilmu secar epistemologis sebagao ‘sampainya makna ke da;am jiwa’ dan ‘m,akna sesuatu’ berarti makna atau artinya yang benar. Benar dalam pandangan Islam berkenaan dengan hakikat dan kebenaran sebagai diproyeksikan oleh sistem konseptual al-Qur’an.
Konsep lain yang berkenaan dengan itu konsep `amal (tindakan), sebab tanpa tindakan sesuatu itu tidak akan sampai kepada jiwa dan tanpa tindakan menyampaikannya maka ilmu pengetahuan tidak akan tersebar dan berkembang. Ilmu harus dilengkapi dengan amal. Kecuali itu ilmu juga harus mengandung makna sebagai pengetahuan tentang sesuatu dalam tempatnya yang benar atau tepat. Tempat yang benar atau tepat berarti tempat yang sempurna dan sejati sebagaimana ditunjukkan oleh istilah haqq, yang berarti hakikat dan sekaligus kebenaran yang berkenaan dengan hakikatnya.
Istilah haqq juga mengantung arti suatu penilaian (hukm), yaitu penilaian yang sesuai dengan hakikat atau situasi sebenarnya sesuatu. Maka ilmu yang haqq harus mengandung sesuatu penilaian yang dimaksud. Penilaian melibatkan kepercayan bahwa ajaran agama dan mazhab pemikiran dalam Islam itu benar. Lawan dari haqq ialah bathil, artinya,lebih kurang ialah kepalsuan, sesuatu yang sia-sia, nihilistic, tidak ada manfaatnya, gagal. Di lain hal kata-kata haqq juga mempunyai arti sebagai suatu keserasian dengan pensyaratan kearifan dan keadilan.
Pengetahuan atau ilmu yang benar adalah mengandung kearifan dan keadilan. Keadilan (`adl) di sini merupakan suatu kondisi harmonis dari benda-benda disebabkan berada di tempatnya yang benar dan tepat. Sedangkan kearifan (hikmah) adalah ilmu yang dianugerahkan Tuhan dan menjadikan penerimanya mampu mel;akukan penilaian yang benar.
Manusia yang ideal dalam Islam ialah manusia berilmu yang dapat mengamalkan ilmunya, tahu tempat yang haqq dan bathil dari obyek-obyek pengetahuan yang dikenalnya, serta mampu memberi penilaian yang arif dan adil terhadap sesuatu berdasarkan hakikat sesuatu dan tempatnya yang benar di alam wujud. Haqqjuga berarti tugas atau kewajiban, dan karenanya manusia Muslim yang berilmu memiliki tanggungjawab dan kewajiban membangun kemanusiaan berdasarkan ajaran Islam.
Demikianlah telah kita kemukakan bahwa konsep Islam tentang kemanusiaan atau martabat manusia dikitari oleh gagasan-gagasan dasar seperti Makna (ma’na), ilmu (`ilm), adil (`adl), kebijaksanaan (hikmah), tindakan (`amal), kebenaran (haqq), nalar (nathiq), jiwa (nafs), kalbu (qalb), pikiran dan intelek (`aql), tatanan hirarkis dari penciptaan atau keberadaan (maratib dan darajat), tanda-tanda atau simbol-simbol (ayat) dan interpretasi (tafsir dan ta’wil).
Suatu konsep lagi yang penting dan merupakan konsep kunci yang berkenaan dengan pentingnya pendidikan. Konsep tersebut terkandung dalam kata adab, yaitu disiplin tubuh, jiwa, kalbu dan roh. Sebagai ilmu, adab merupakan metode untuk mengenal, mengetahui dan memahami sesuatu sehingga kita berada di tempat yang benar dalam meletakkan diri kita dan memandang segala sesuatu. Adab adalah cerminan dari kearifan dan kebijaksanaan. Dalam hubungannya dengan masyarakat, adab ialah tatanan yang adil dalam masyarakat manusia, yang di dalamnya martabat manusia menjadi perhatian utama. Ini dapat dikaitkan dengan arti kata asal dan dasar dari ata-kata adab itu sendiri.
Aeri kata asal dari adab ialah undangan untuk suatu perjamuan atau majlis. Di dalam gagasan ini tersirat pengertian bahwa tuan rumah adalah seorang yang mulia dan orang banyak yang diundang untuk hadir dalam perjamuan yang ia selenggarakan adalah juga semestinya orang-orang yang pantas mendapatkan kehormatan untuk diundang. Oleh karena itu mereka mestinya orang-orang yang baik dan berpendidikan sehingga diharapkan bertingkah sesuai dengan keadaan, baik dalam berbicara dan bertindak, maupun dalam etiket. Ini menunjukkan bahwa manusia yang baik menurut Islam selain beriman dan berakhlaq mulia, ia juga seorang yang berilmu.
Ibnu Mas’ud menghubungkan kata adab dalam pengertian seperti telah diberikan dengan gambaran yang diberikan al-Qur’an tentang kitab suci itu sendiri, yaitu bahwa ia (al-Qur’an) merupakan “undangan Tuhan untuk menghadiri suatu perjamuan di atas bumi, dan kita dianjurkan ambil bagian di dalamnya dengan cara memiliki pengetahuan yang benar tentangnya”. Perjamuan yang dimaksud al-Qur’an ialah perjamuan ruhaniah dan pencapaian ilmu yang benar terhadapnya adalah memakan makanan terbaik yang dhidangkan dalam perjamuan itu.
Karena itulah para cerdik cendikia Muslim selalu mengaitkan ilmu dengan amal dan adab, dan memandang kombinasi harmonis ketiganya sebagai asas pendidikan untuk membina manusia yang baik. Sedangkan manusia yang baik adalah manusia yang ihsan dan adil. Kaitkanlah hal ini dengan sila kedua dari Pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sila ini dengan jelasnya menyatakan bahwa gagasan kemanusiaan yang dikehendaki rumusan Pancasila ini ialah humanisme religius seperti tercermin dalam Islam.
Adab dikenal sebagai ilmu tentang tujuan mencari pengetahuan. Dalam Islam tujuan mencari ilmu ialah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai manusia dan manusia sebagai diri pribadi. Tujuan pendidikan dalam Islam ialah menghasilkan manusia yang baik, dalam pengertian akalnya berkembang sehat, moralnya baik, perasaan kemanusiaan dan keagamaannya luhur, beriman dan bertaqwa, serta sanggup mengamalkan ilmunya bagi masyarakat dan kemanusiaan.
Ilmu dan adab merupakan sarana penting bagi manusia untuk mencapai dan memahami martabat kemanusiaannya. Pendidikan Islam harus menekankan pada dua hal ini untuk mencapai tujuannya dalam membina manusia yang yang saleh dan cerdas dalam arti sesungguhnya. Ilmu dibagi dua sesuai sumbernya atau hubungannya dengan kitab suci al-Qur’an. Yang pertama, yang bersumber langsung dari al-Qur’an disebut ilmu agama, meliputi: Tafsir al-Qur’an, Sunnah, Ilmu Tauhid atau teologi, Syariah, Tasawuf (metafisika Islam), dan ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti nahu, semantic, sastra dan leksikografinya. Yang kedua, ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia dengan ikhtiar akal dan inderanya, disebut Ilmu Filosofis meliputi ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, ilmu alam dan matematika, ilmu-ilmu terapan dan tehnologi. Dalam Islam, kebenaran dan kemanfaatan ilmu-ilmu ini harus dirujuk pada al-Qur’an.
Selain itu dalam Islam kehidupan manusia tidak hanya didasarkan atas ilmu yang diperolehnya, tetapi juga atas moralitas atau akhlaq. Namun moralitas yang di maksud bukan moralitas yang sederhana dan statis. Apa yang dikatakan Nabi kepada Ali bin Abi Thalib seperti telah dikutip di awal pembicaraan ini, dapat dijadikan acuan. Sejalan dengan itu kehidupan manusia dalam Islam mesti diarahkan agar manusia itu mampu menguasai tingkah laku moralnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan akal dan pemahaman berdasarkan ilmu yang benar, sekaligus penuh rasa syukur terhadap Penciptanya. Moralitas tidak menyangkut makhluq lain kecuali manusia. Sebab manusia dicipta dari dua macam substansi yang berbeda berupa jasad dan jiwa. Yang terakhir merupakan kesadaran Ilahi yang murni, sumber sehala perak dan laku tubuh. Inilah bagian dari diri manusia yang dibebani tanggung-jawab atau amanah. Jiwalah yang berbuat Dario dalam dan segala perilaku luar memberi kessasian tentang keadaan jiwa di dalam.”
Seperti dikatakan Jalaluddin Rumi, “Salat, puasa, haji dan jihad di jalan Allah memberi kesaksian tentang iman dalam hati. Memberi derma dan sumbangan serta menghilangkan sifat kikir juga memberikan kesaksian tentang fikiran-fikiran rahasia.” Selanjutnya Rumi mengatakan, “Puasa beratrti seseorang harus mengekang diri dari makanan yang diperbolehkan dimakan, karena itu tidak diragukan lagi ia akan menmghindari makan yang dilarang. Sedekah ialah memberikan harta miliknya sendiri, karena itu jelas ia tidak akan merampok harta orang lain.
Islam tidak mengenal dikotomi kehidupan di dunia ini dan dunia sana. Yang terbaik di dunia ini adalah juga yang terbaik di akhirat. Demikian pula Islam tidak memisahkan antara urusan dunia dan urusan akhirat, urusan keagamaan dan urusan politik, seperti juga tidak memisahkan kegiatan budaya dari kegiatan keagamaan. Dalam masyarakat Barat yang sekuler kedua urusan yang berbeda itu sering dipertentangkan. Ini merupakan implikasi dari pandangan dikotomis mereka berkenaan dengan roh dan badan, yang spiritual dan yang material, yang religius dan yang duniawi. Padahal keduanya melekat sebagai sifat ganda dari manusia yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
Sebagai Khalifah Tuhan
Telah dikemukakan bahwa manusia terdiri dari roh dan badan, yang dengan demikian memiliki sifat-sifat ganda yang kemudian menjadi bawaan dalam hidupnya dan sekaligus menjadi persoalan yang runcing dalam kehidupannya. Sebagai konsekwensinya manusia juga memperoleh pengetahuan yang bersifat ganda, yaitu pengetahuan mengenai dunia ini dan pengetahuan berkenaan dunia yang lain.
Pengetahuan pertama, sebagaimana dikemukakan dalam Q 2:31 (surat al-Baqarah) disebut “pengetahuan nama-nama” (al-asma). Yang disebut pengetahuan tentang segala sesuatu di alam dunia (al-asyya’). Pengetahuan ini tidak menunjuk pada pengetahuan tentang esensi (dzat) atau tentang hal yang paling dalam (sirr) dar segala sesuatu – seperti misalnya tentang roh, sebab mengenai yang ini hanya sedikit manusia memperolehnya (lihat Q 17:85). Yang dimaksud dengan `ilm al-asma (pengetahuan nama-nama) ialah mengenai fenomena-fenomena atau kejadian-kejadian (`arad) yang dapat diindera dan sifat-sifat dari segala sesuatu yang berbeda. Ini dapat ditangkap atau dicerap melalui akal budi (mahsusat dan ma`qulat) yang dengan itu hubungannya dapay doiketahui, begitu pula ciri masing-masing yang berbeda.
Pengetahuan lain yang lebih tinggi yang dikaruniakan kepada manusia ialah pengetahuan tentang Allah (ma`rifa). Ini kita ketahui dalam Q 7:172) ketika Tuhan berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku bersaksi” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna..). Inilah perjanjian pertama yang mengikat manusia pada Tuhan. Perjanjian itu diikrarkan sebelum manusia diturunkan ke dunia dalam bentuknya sebagai makhluq jasmani dan rohani. Dari sini kita mengetahui bahwa pengetahuan itu ditanamkan Tuhan dalam roh, kalbu dan jiwa manusia, bukan dalam badannya.
Konsekwensi dari perjanjian yang mengikat itu ialah bahwa dalam hidupnya manusia akan tetap mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai sasaran penyembahannya, bukan yang selain-Nya. Inilah makna Islam sebagai al-din (agama), yaitu sebagai sesuatu yang mengikat hubungan manusia dengan Tuhannya yang esa, dan ikatan itu dapat berjalan terus apabila manusia menunjukkan kepatuhannya (aslama) kepada perintah dan larangan-Nya.
Dengan demikian din dan aslama, menurut para ulama, bersifat saling melengkapi dalam diri manusia dan menjadi sifat hakiki dari manusia, yang disebut sebagai fitrah. Tujuan sejati manusia ialah melaksanakan ibadah atau pengabdian kepada Tuhan (Q 5:56), dan kewajibannya adalah ketaatan kepada-Nya, sebab itulah yang sesuai dengan fitrah manusia. Yang bertentangan dengan itu tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Tetapi manusia juga mempunyai sifat bawaan, yaitu pelupa (nisyan). Karena itu ia disebut insan. Setelah bersaksi bahwa Tuhan hanya satu dan berjanji akan mematuhi-Nya, karena terlena oleh kehidupan dunia maka ia menjadi lupa (nasiya) untuk memenuhi kewajiban dan tujuan hakiki hidupnya. Kelupaan atau kealaian itu menjadi penyebab ketidak-taatannya pada perintah agama, dan sifat ini sangat tercela serta cenderung menjadikan manusia tenggelam dalam ketidakadilan (zhulm) dan kebodohan (jahl). Sekalipun demikian manusia dianugerahi perlengkapan rohani untuk mengingat kembali apa yang diikrarkannya pada hari perjanjian (hari Alastu) dulu. Perlengkapan itu ialah akal pikiran dan kecerdasannya untuk membedakan yang salah dari yang benar. Tetapi semua itu terserah pada manusia untuk memilihnya, dengan konsekwensi yang mesti ditanggungnya sendiri pula.
Firman Tuhan dalam al-Qur’an (2:30) menyatakan bahwa manusia telah ditunjuk menjadi khalifah-Nya di atas bumi dan kepadanya dibebankan amanat, sebuah tanggungjawab yang berat untuk mengetur dan memelihara kehidupan di dunia. Mengatur di sini bukanlah mengatur sesuai dengan kemauannya sendiri atau demi kepentingan egonya sendiri, tetapi mengatur sesuai dengan kehendak Allah dan maksud-Nya (Q 33:72). Amanah menunut pertanggungjawaban untuk bersikap dan berbuat adil terhadap alam dan seisinya, sebagaimana juga terhadap sesama manusia. Mengatur di sini tidak hanya mencakup pengertian sosio-politik, atau mengendalikan alam dan kehidupan di dalamnya secara ilmiah. Tetapi yang lebih mendasar lagi ialah, dalam konsep itu, tercakup konsep lain yang disebut tabi’ah (tabiat). Konsep ini mengandung arti “pengaturan, pemerintahan, pengendalian dan pemeiharaan diri manusia oleh dirinya sendiri”,
Dalam mengatur dan mengendalikan hidupnya itu manusia tergantung pada sifat ganda dari tabiatnya: Tabiat atau bawan sifatnya yang tinggi ialah jiwa rasional (al-nafs al-nathiqah) dan yang lebih rendak ialah jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah). Ketika Allah memaklumkan keesaan-Nya sebagai Tuhan, yang dituju ialah jiwa rasional manusia bukan jiwa hewaninya. Agar manusia memenuhi perjanjiannya dengan Allah dan sealu mmperteguh ikatan dengan perjanjiannya itu, manusia harus melaksanakannya dalam bentuk amal perbuatan dan taat menjalankan ibadah (sesuai syariah-Nya).
Kekuasaan dan pengaturan secara efektif jiwa rasional atas jiwa hewani itulah yang sebenarnya dinamakan din (agama); sedangkan yang dimaksud islam ialah kepatuhan dan ketaatan yang sadar dari jiwa hewani terhadap jiwa rasional. Periaku religius dalam Islam, karena itu, berkaitan dengan kebebasan dan kesadaran jiwa rasional secara penuh untuk merealisasikan diri perjanjiannya dengan Allah, dan kebebasan itu berarti kekuatan (quwwa) dan kemapuan (wus’) untuk berbuat adil terhadap diri dan sesamanya, serta terhadap alam sekitarnya. Diambil dari http://ahmadsamantho.wordpress.com.
Sabtu, 17 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar