Oleh RONIDIN
Musik, tari, teater, teater rakyat, seni rupa, sastra, upacara adat, makanan tradisional, ritual tradisional, dan ungkapan-ungkapan tradisonal lainnya merupakan ekspresi folklor yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Ekspresi folklor tersebut mengandung nilai-nilai estetik, nilai simbolik, dan nilai fungsi. Semua nilai itu untuk memperkukuh sistem sosial dalam masyarakat pendukungnya.
Karena itu, banyak orang akan keberatan dan komplein ketika ekspresi folklor (kebudayaan) yang mereka miliki diklaim oleh pihak lain sebagai milik mereka pula. Hal itulah yang terjadi ketika negeri Jiran Malaysia mengklaim ini dan itu sebagai milik mereka, padahal yang diklaim itu hidup dan berakar di Indonesia. Lagu “Rasa Sayange” diklaim milik mereka, lalu “Reog Ponorogo”. Di Sumatera Barat (Minangkabau) heboh terjadi soal rendang Padang dan indang Sungai Garinggiang yang khabarnya juga telah “dicuri” Malaysia.
Terjadinya klaim oleh pihak “asing” yang bukan pemilik ekspresi folklor tersebut, jelas merupakan “pencurian” terang-terangan terhadap kekayaan tradisi milik orang lain. Karena itu, wajar bila pemiliknya marah dan kemudian menggugat. Tidak wajar bila mereka hanya diam saja. Komplein dan gugatan dilancarkan sebagai akibat dari “pencurian” itu yang pada akhirnya akan berujung pada pemanfaatan tidak adil oleh pihak-pihak di luar pemilik syah folklor yang bersangkutan.
Permasalahan selanjutnya yang lebih penting selain soal klaim mengklaim dan gugat menggugat itu adalah sejauh mana pemilik ekspresi folklor tersebut merasa memiliki kekayaan mereka. Hal ini penting karena kepemilikan yang benar-benar akan menuntun pemiliknya untuk menjaga, melindungi, memelihara, melestarikan dan mencintai milik mereka secara sepenuh hati.
Kontradiktif, mungkin itu kata yang cocok untuk menggambarkan hubungan antara pemilik folklor tersebut dengan keberadaannya. Masyarakat sekarang umumnya tidak abai lagi dengan ekspresi folklor mereka. Tetapi ketika ada yang mengambil (mengklaim) sebagai milik mereka, maka pemilik aslinya akan marah, harga dirinya tersinggung meskipun sebelumnya sikap mereka seperti tak memiliki. Kepedulian dan kepemilikan mereka akan muncul manakala orang telah mengambilnya.
Sikap keseharian sebagian pemilik ekspresi folkolor hari ini hanya mengikuti arus zaman. Ekspresi folklor itu mau hidup, ya syukur; mau mati/punah, mereka juga tidak akan menangisi. Mereka tidak perlu risau. Bila ada yang punah mereka akan menggantinya dengan yang lebih moderen, yang in fashion. Mereka tidak perlu merevitalisasi.
Dalam masyarakat Minangkabau muncul istilah “hiduik sealiran maso, adat di dunia baganti-ganti”. Zaman berganti, kebudayaan pun berubah. Jadi wajar bila ada ekspresi folklor (terutama tradisi/sastra lisan) yang punah dan tak ada yang menyesali. Dari catatan Adriyetti Amir—pakar tradisi/sastra lisan Unand—ada beberapa yang telah punah sama sekali seperti indang tagak di Solok, banalam di Payakumbuh; ada yang hampir punah seperti bataram di Pesisir Selatan, barabuak di Padang, batintin di Batusangkar, si jobang di Payakumbuh.
Masih menurut Adriyetti, perubahan yang signifikan itu terjadi pada aspek fungsi. Dulu orang datang dan menikmati berbagai bentuk ekspresi folklor seperti disebut di atas, sebagai sarana perekat hubungan sosial. Masyarakat akan ke galanggang rami—mereka mewajibkan dirinya hadir—karena ingin menunjukkan kesediaan sehilir-semudik dengan orang kampung, kepedulian pada urusan kampung. Kepedulian dan kesedian sehilir semudik dengan orang sekampung itu merupakan wujud kehidupan komunal; orang hidup saling terkait satu dengan lainnya, saling tergantung, saling membutuhkan, dan hampir semua dilakukan bersama. Kalau untuk acara-acara yang bersifat pribadi seperti kenduri, maka akan dihadiri orang lain dengan undangan. Namun dalam kemalangan, amat ditentukan oleh kepedulian. Ketika orang tidak peduli pada kemalangan orang lain, maka orang pun tidak akan peduli pada kesulitannya.
Itu dulu, sekarang kehidupan komunal itu telah berganti dengan kehidupan pribadi. Ekspresi folklor (utamanya tradisi yang dulu dipertunjukkan untuk kepentingan komunal) sekarang telah berubah menjadi milik pribadi. Sekarang orang akan menonton indang, saluang, randai, teater rakyat, rabab, petatah petitih, melalui VCD/DVD. Di satu sisi ada untungnya, kekayaan tradisi (ekspresi folklor Minangkabau yang belum punah dapat direkam (diarsipkan) agar generasi mendatang juga dapat menikmatinya. Namun, di sisi lain, fungsinya sosialnya hilang. Tidak ada lagi interaksi hangat yang terjadi di antara penampil dengan audiensnya, tidak ada pula interaksi antara sesama anggota masyarakat sebagai pemilik bersama. Setiap orang bisa menikmati itu secara pribadi, di rumah (bahkan di kamar) masing-masing. Fungsi galanggang rami menjadi mati. Kepemilikan bersama menjadi pudar. Kesediaan sehilir semudik menjadi kesedian nafsi-nafsi.
Lalu, ke depan, ada sebuah gelagat yang menggusarkan, ketika masyarakat kita tak peduli, dan kepemilikan pribadi sudah menjadi panglima, maka orang asing akan memanfaat kondisi itu. Mereka berebut. Mereka “berburu”. Gatra No. 6 yang beredar 20 Desember 2007, menurunkan laporannya bahwa peneliti-peneliti Malaysia saat ini dengan dana besar sedang “berburu” naskah kuno/manuskrip ke Minangkabau. Manuskrip yang mereka buru itu umumnya berisi tentang kebudayaan Minangkabau/Melayu masa lalu. Di samping itu, mereka juga “memburu” berbagai ekspresi folklor yang tak lagi dipedulikan pemiliknya. Malaysia sekarang memang sedang getol-getolnya mempopulerkan kebudayaan Melayu sebagai bagian dari kebudayaan dunia yang berakar di Malaysia. Ekspresi-ekspresi folklor yang hidup di Semenanjung Melayu “dicap” sebagai milik mereka, tak peduli itu “hidup” di luar wilayah teritorial Malaysia. Maka jadilah mereka seperti sekarang, sebagai “tukang klaim” milik orang lain.
Menyadari kondisi seperti yang disebutkan di atas, agaknya berbagai ekspresi folklor sebagai kekayaan tradisi yang dimiliki masyarakat butuh perlindungan. Perlindungan yang bisa menjamin agar kekayaan tradisi itu tak diambil orang lain. Kalau jawaban sudah ada aturan-aturan tentang Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), maka itu perlu dijalankan. Selama ini kita terlalu lengah. Konsep-konsep perlindungan dalam undang-undang HaKi dipandang memberatkan, berbelit-belit dan tak tersosialisasi. Untuk mengurus paten saja misalnya, banyak masyarakat yang tidak tahu. Lalu kita juga miskin aplikasi. UU ada, tapi tak dijalankan efektif.
Kita tentu hanya bisa menyaran. Keputusannya ada di tangan Pemerintah. Bagaimana Ditjen HaKI? Wallahualam.
Selasa, 19 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar