Novel Ayat- Ayat Cinta ini disebut oleh penulisnya sebagai novel dakwah. Tidak berlebihan karena memang begitulah adanya. Hadi Susanto dalam prolog novel ini juga mengatakan hal yang sama. Pengarang AAC berhasil menyampaikan pesan-pesan moral dan dakwah secara halus sebagai bagian dari cerita. Pesan-pesan itulah—yang bersifat mendidik dan membina—jika dipandang dari sisi pragmatik, memberi manfaat kepada pembaca.
Bila diinterpretasi lebih jauh, novel karya Habiburahman El Shirazy yang merupakan sarjana Universitas Al Azhar Kairo, Mesir ini memuat beberapa aspek pragmatik. Aspek pragmatik tersebut di antaranya meliputi:
1. Istikamah Mempertahankan Prinsip Hidup
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istikamah berarti teguh pendirian dan selalu konsekuen. Istikamah merupakan prinsip hidup yang harus dimiliki seorang muslim. Prinsip ini mencerminkan identitas berislam yang sesungguhnya. Seorang muslim yang teguh pendirian dan konsekuen tidak akan mudah berubah pikiran maupun perbuatan ketika dihadapkan pada berbagai godaan kehidupan yang bersifat duniawi. Prinsip seperti inilah yang dimiliki oleh Fahri, tokoh utama dalam novel AAC ini.
Pertama-tama, Habiburahman El Shirazy melalui tokoh Fahri ingin mengukuhkan prinsip bahwa hubungan laki-laki dan perempuan belum halal sebelum akad nikah dilaksanakan. Laki-laki dan perempuan tidak boleh saling bersentuhan, apalagi berpelukan, berdekatan atau berdua-duaan tanpa mahram sebelum ijab kabul diucapkan mempelai laki-laki. Hal ini merupakan prinsip hidup yang didasari oleh Al-Quran dan sunah rasul. Fahri memegang teguh prinsip ini. Keteguhan itu dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Ku mohon turunlah dan usaplah air matanya. Aku paling tidak tahan jika ada perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon. Andaikan aku halal baginya tentu aku akan turun mengusap airmatanya dan membawanya ke tempat yang jauh dari linangan air mata selama-lamanya” (hal 76).
Teks di atas memberi gambaran bahwa Fahri teguh dengan prinsipnya untuk tidak menyentuh dan berduaan dengan perempuan yang bukan mahramnya meskipun Fahri dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk menolong Noura. Di satu sisi, Fahri tidak tega melihat Noura disiksa oleh ayahnya. Sedangkan di sisi lain, Fahri tidak mungkin turun menolong gadis itu yang menangis sendirian memeluk tiang lampu karena tidak halal baginya. Atas dasar itulah Fahri meminta Maria turun dari apartemennya untuk menolong Noura.
Berikutnya, keteguhan Fahri menghadapi godaan perempuan terlihat ketika Maria—seorang gadis koptik yang cantik dan menggairahkan—mengajaknya berdansa. Perhatikan kutipan berikut:
“…Maafkan aku Maria. Maksudku aku tidak mungkin bisa melakukannya. Ajaran Al-Quran dan Sunnah melarang aku bersentuhan dengan perempuan kecuali dia istri atau mahramku. Kuharap kau mengerti dan tidak kecewa!” terangku tegas. Dalam masalah seperti ini aku tidak boleh membuka ruang keraguan yang membuat setan masuk ke dalam aliran darah” (hal 133).
Fahri tidak bisa berdansa dengan Maria yang bukan istri atau mahramnya. Fahri secara tegas—tanpa keraguan—menolak ajakan Maria tersebut. Apalagi bagi Fahri dansa adalah budaya Eropa yang tidak sejalan dengan budaya Islam. Prinsip Fahri ini jika dibandingkan sangat kontras dengan sebagian anak muda Islam sekarang yang justru berlomba-lomba mencari pasangan kencan, lalu mengajaknya berdansa atau bergoyang. Bagi mereka yang suka hidup glamour seperti itu, sosok seperti Fahri dianggap kolot, aneh, dan tidak mengikuti perkembangan zaman.
Ketegasan prinsip Fahri juga nampak ketika ia sakit. Waktu itu Fahri amat marah mendapati dirinya berduaan dengan Maria ketika ia terbaring lemah di rumah sakit. Menurut Dr. Yusuf Al Qardawi, menjenguk orang sakit disyariatkan oleh Islam meliputi penjengukan wanita kepada laki-laki, meskipun bukan muhrimnya, dan laki-laki kepada wanita. Tetapi suatu hal yang tidak diragukan ialah bahwa menjenguknya itu terikat dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan syara', bersopan santun sebagai muslimah dalam berjalan, gerak-gerik, memandang, berbicara, tidak berduaan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa ada yang lain, aman dari fitnah, diizinkan oleh suami bagi yang bersuami, dan diizinkan oleh wali bagi yang tidak bersuami.
Ketika itu yang menjaga Fahri adalah Saiful, temannya sesama mahasiswa. Namun, karena Saiful belum makan dan mandi sejak semalam dan kelihatan letih, dia digantikan Maria yang kebetulan datang menjenguk Fahri. Maria menyuruh Saiful makan dan membersihkan diri. Maria sendiri menemani Fahri yang masih pingsan di kamar rumah sakit itu. Ketika Fahri sadar dari pingsannya dan melihat Maria menunggui dirinya sendirian tanpa Saiful, ia marah. Kepada Saiful yang masuk sehabis makan dan membersihkan diri ia berujar:
“Saif, kenapa kau tinggalkan aku sendirian dengan Maria? Kenapa dia yang menungguiku? Dia bukan mahramku.” Aku memaksakan diri untuk bersuara agak keras. Saiful sepertinya tahu kalau aku marah dan tidak berkenan” (hal 177).
Kutipan ini menunjukkan bahwa Fahri kukuh dengan prinsipnya. Antara laki-laki dan perempuan yang belum dalam ikatan pernikahan tidak diperkenankan berdua-duaan. Meskipun Fahri sedang sakit dan membutuhkan seseorang untuk menjaganya, ia menolak dijaga oleh perempuan yang bukan mahramnya. Hal ini diingatkan pengarang ketika menyadari bahwa sekarang amat banyak pemuda Islam yang mudah terjerumus kenistaan. Banyak laki-laki atau perempuan saat ini ketika sakit ditunggui oleh pacarnya, atau kemana-mana selalu berdua seperti pasangan suami istri. Padahal mereka belum halal melakukan itu.
Selain konsekuen terhadap prinsip hubungan laki-laki dan perempuan, Fahri juga konsekuen dan tegas dengan suap-menyuap. Baginya menyuap dan disuap adalah haram; kedua-duanya masuk neraka.
Persolan suap menyuap ini muncul ketika Aisha—istri Fahri—ingin membebaskan Fahri dari penjara dengan menyuap hakim. Aisha yang orang kaya tidak ingin kehilangan Fahri suaminya. Ia akan melakukan apa saja untuk membebaskan Fahri dari penjara termasuk menyuap hakim, walaupun secara terpaksa. Akan tetapi, apa yang direncanakan Aisha ditolak mentah-mentah oleh Fahri. “Lebih baik aku mati dari pada melakukan itu,” katanya (hal 358). Fahri mengatakan kepada istrinya bahwa mereka harus teguh dan komitmen memegang keyakinan dan kebenaran dalam kondisi seperti apa pun.
Pengarang melalui novel ini meyampaikan pesan kepada pembaca bahwa suap menyuap, sogok menyogok, KKN adalah perbuatan yang harus dijauhi oleh umat muslim apalagi bagi mereka yang terpelajar/mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dalam Islam. Dalam hal ini, Habiburrahman melalui tokoh Fahri menyampaikan:
“Jika aku yang telah belajar di Al Azhar sampai merelakan istriku menyuap, maka bagaimana dengan mereka yang tidak belajar agama sama sekali. Suap menyuap adalah perbuatan yang diharamkan dengan tegas oleh Baginda Nabi. Beliau bersabda, ‘Arraasyi wal murtasyi fin naar!’ Artinya, orang menyuap dan disuap masuk neraka!” (hal. 359).
2. Interaksi Sosial Menurut Islam
Selain konsekuen dengan prinsip-prinsip hidupnya, Fahri juga merupakan sosok yang dikagumi dan dituakan oleh teman-temannya. Dalam interaksi kesehariannya, sosok Fahri dikenal teman-temanya sebagai pemuda yang berjiwa besar, toleran, dan amat menghormati orang lain. Ia menunjukkan bagaimana seorang muslim harus berbuat, bersikap atau berprilaku terhadap orang lain sesuai dengan tuntunan Al Quran dan sunnah rasul.
A. Sikap Terhadap Turis Nonmuslim
Suatu ketika Fahri membela tiga orang turis Amerika yang dilecehkan/dizhalimi oleh beberapa pemuda Mesir beragama Islam di atas sebuah metro (kereta api). Para pemuda itu tidak senang dengan keberadaan turis Amerika itu karena dianggap sebagai turis kafir dan tidak beradab—mereka berpakaian you can see saja. Orang Amerika dianggap menjadi biang kerusakan moral masyarakat Timur Tengah termasuk Mesir. Ketiga turis itu dilaknat, dihina dan disumpah-serapahi. Untung saja ketiganya tidak mengerti bahasa Arab, sehingga mereka biasa-biasa saja dan tidak tidak merasa tersinggung mendapatkan perlakuan itu.
Akan tetapi, bagi Fahri yang menyaksikan kejadian itu dan mendengarkan hinaan para pemuda Mesir kepada turis Amerika itu, merasa terpanggil untuk mengambil sikap, tidak tinggal diam saja. Ia maju menyampaikan kebenaran. Ia membela turis-turis Amerika itu karena menurut Islam mereka adalah tamu bagi orang-orang Mesir tersebut. Dan tentu saja, menurut pandangan Islam, tamu haruslah dihormati. Fahri mengatakan bahwa ketiga turis itu adalah ahlu dzimmah. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Ahlu dzimmah adalah semua non muslim yang berada di dalam negara kaum muslimin secara baik-baik, tidak illegal, dengan membayar jizyah dan mentaati peraturan yang ada dalam negara itu. Hak mereka sama dengan hak kaum muslimin. Darah dan kehormatan mereka sama dengan darah dan kehormatan kaum muslimin. Mereka harus dijaga dan dilindungi. Tidak boleh disakiti sedikit pun. Dan kalian pasti tahu, tiga turis Amerika ini masuk ke Mesir secara resmi. Mereka membayar visa. Kalau tidak percaya coba saja lihat paspornya. Maka mereka hukumnya sama dengan ahlu dzimmah. Darah dan kehormatan mereka harus kita lindungi. Itu yang diajarkan Rasulullah Saw” (hal. 50).
Selanjutnya Fahri juga membaca beberapa hadis nabi tentang kewajiban melindungi tamu asing. Nabi mengancam bahwa barang siapa yang menyakiti ahlu dzimmah, maka ia telah menyakiti nabi dan menyakiti nabi berarti menyakiti Allah. Selain itu mereka juga akan menjadi seteru nabi di akhirat. Apa yang disampaikan Fahri ini ternyata menyentuh hati para pemuda Mesir tersebut. Mereka menyadari kekeliruannya. Mereka dapat menerima apa yang disampaikan oleh Fahri. Mereka lalu beristigfar berkali-kali.
Dengan demikian, nampaklah bahwa pengarang novel AAC ini ingin menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa sebagai seorang muslim harus mampu menghargai tamu asing, menjaga kehormatan mereka tanpa melihat perbedaan agama dan kebudayaan. Begitu sikap berislam yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Bersambung ....
Kamis, 04 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar