Oleh Ronidin
Meskipun kadang-kadang kehabisan bahan, aku dan ibunya anak-anak mesti harus mendongeng untuk dua orang buah hati kami sehabis makan malam menjelang tidurnya. Mendongeng sudah menjadi janji harian kami pada mereka ketika jam menonton tivi dikurangi.
Mulanya memang berat. Anak-anak sudah terlanjur akrab dengan tokoh dan idola mereka di televisi. Bagi mereka Spiderman, Power Rangers, Batman, Sincan, Dora Emon, dan lain-lain jauh lebih perkasa dibandingkan tokoh-tokoh yang kami dongengkan.
Akan tetapi, ketika kami sudah mendongengi mereka setiap hari dengan berbagai variasi cerita, perlahan-lahan mereka mulai menyenangi dongeng. Malah, justru mereka akan menagih kalau kami emoh mendongeng pada waktu itu.
Seperti pada malam itu, aku tidak bisa mengelak ketika kedua anakku itu memaksaku untuk mendongeng. Aku sedang tidak mood dan kehabisan bahan, sementara ibunya tidak bisa diganggu karena sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk ujian siswanya besok.
Aku berpikir keras apa yang akan aku dongengkan. Hampir semua stok cerita yang aku punya rasanya sudah aku ceritakan pada mereka.
“Ayolah, Yah, mana dongengnya? Katanya Ayah jago dongeng di planet ini?” Anakku yang sulung tidak sabar lagi.
“I ya, Sayang. Ayah sedang berpikir untuk mulai dari mana,” kilahku. Aku masih belum menemukan cerita yang akan aku sampaikan pada mereka. Tiba-tiba telepon rumahku berdering. Aku bangkit, minta izin pada anakku untuk mengangkat telepon tersebut.
Telepon kuangkat, ternyata dari ibuku, dari kampung; mengabarkan bahwa panen padi tahun ini berhasil dengan gemilang. Acara panenan akan disaksikan oleh bupati. Akan ada pesta rakyat. Aku di minta pulang membawa anak-anak.
Aku iyakan permintaan Ibu. Kuberitahu anak-anak. Mereka senang bukan kepalang.
Namun, setelah itu, tetap saja mereka menagih dongengku untuk malam ini.
Aku kembali berpikir, mengingat-ingat sesuatu. Pikiranku melayang-layang hingga akhirnya aku dibawa ke masa lalu, ke kampung. Aku ingat almarhum ayahku yang juga guru ngajiku. Aku ingat masa-masa kecilku di surau. Selesai mengaji, ayahku akan meminta beberapa murid laki-laki untuk memijiti kakinya. Sebagai imbalannya, ayahku akan bercerita; kadang dongeng, kadang cerita nabi, kadang cerita perang, kadang cerita asal-usul segala sesuatu yang ada di nagari kami.
Sebentar kemudian aku menemukan cerita untuk anak-anakku yang menunggu. Nah, inilah kisahnya.
***
Dulu, kampungku belum punya nama seperti sekarang. Bukan hanya tidak punya nama, tetapi juga belum diakui sebagai sebuah kampung (orang-orang kami menyebutnya nagari). Apa pasal? Karena kampungku belum memiliki mesjid.
Untuk diakui sebagai sebuah nagari mesti ada wilayah yang akan didiami, ada penduduk, ada pandan perkuburan, mesti ada tempat pemandian, ada tempat bermusyawarah (balai adat), ada pasar tempat berjual beli dan mesjid. Dari semua itu hanya mesjid yang belum ada.
Maka diadakanlah musyawarah oleh warga. Agendanya tunggal: rencana pembangunan mesjid.
Dalam musyawarah itu setiap warga bebas mengemukakan pendapatnya. Maka bermunculanlah banyak ide. Ada yang mengusulkan mesjid dibangun dekat dengan tempat pemandian. Ada yang ingin mesjid didirikan di atas tanah kaum mereka. Ada yang mengusulkan mesjid dibangun dekat pasar, atau di tengah-tengah kampung, dan pendapat lainnya.
Rapat jadi berlarut-larut. Hingga menjelang tengah malam belum juga dicapai kata sepakat di mana dan dengan cara apa mesjid akan dibangun.
Maka mengajukan dirilah seorang anak muda untuk memberikan pendapat. Anak muda itu dikenal warga sebagai seorang yang shaleh dan banyak kepandaian. Tidak diketahui siapa nama anak muda itu sebenarnya, tetapi orang-orang memanggilnya Katik Mudo. Ia baru beberapa bulan ini kembali dari Aceh belajar agama.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, niniak mamak, urang sumado, semuanya, izinkan saya mengemukan pendapat,” katanya.
“Silahkan!” jawab pimpinan rapat.
“Begini, kita kan punya aliran sungai. Meskipun airnya tidak terlalu deras tapi bisa kita pakai untuk menghanyutkan sesuatu dari hulu. Bagaimana kalau sungai itu kita bendung di hulu. Lalu dengan air yang kita bendung itu kita hanyutkan sebatang kayu besar ke kampung ini. Kayu yang kita hanyutkan itu kalau bisa sebatang utuh. Tidak ada yang dibuang kecuali akarnya bila kita tebang. Jika ada yang bisa mencabut kayu besar itu dengan akar-akarnya maka semuanya kita hanyutkan,” kata Katik Mudo sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
“Lalu,” kata peserta rapat yang lain.
“Kita biarkan kayu itu hanyut sampai sejauh yang dikehendaki Allah. Di mana kayu itu berhenti, maka di sanalah kita akan membangun mesjid,” lanjut Katik Mudo.
Semua peserta musyawarah saling pandang. “Ide yang bagus dan cemerlang, kenapa tidak kita coba,” kata seorang tua dari belakang.
“Ya, ide yang kita tunggu-tunggu,” kata yang lain menimpali.
“Kalau begitu, agaknya musyawarah kita malam ini sudah bisa mengambil kata sepakat,” ujar pimpinan musyawarah.
Semua mengangguk setuju.
Begitulah, musayawarah malam itu diakhiri dengan keputusan seperti yang diusulkan Katik Mudo.
Selesai musyawarah, sebagian warga langsung pulang. Sebagian lagi masih bertahan di ruang musyawarah itu. Berbicara ini dan itu. Ada yang memuji usulan Katik Mudo. Ada yang berharap agar kayu yang kelak akan dihanyutkan berhenti di dekat tanah kaum mereka atau di dekat rumah mereka. Tetapi ada juga yang cemas jika kayu itu tidak berhenti di kampung mereka dan terus ke kampung sebelah.
Katik Mudo sejak tadi sudah mohon diri. Pulang ke pondoknya di ikuti oleh beberapa orang anak muda; murid-murid mengaji Katik Mudo.
Malam kian larut.
Aku melihat kedua anakku. Rupanya mereka sudah tertidur. Untuk malam ini cerita tentang kampungku kupenggal sampai di situ. Besok dilanjutkan. Aku angkat mereka ke kamarnya. Kubaringkan di tempat tidurnya. Kuselimuti. Kubisikkan ke kupingnya doa akan tidur. “Selamat tidur, Sayang,” kataku sambil beranjak menemui ibunya yang masih larut dalam pekerjaannya.
***
“Lalu setelah rapat malam itu, apa yang dilakukan masyarakat, Yah? Bagaimana dengan Katik Mudo?” tanya anakku ketika malam ini kembali aku harus mendongeng melanjutkan yang kemarin.
“Menurut kamu apa yang akan mereka lakukan?” tanyaku memancing animonya.
“Aku tidak tahu. Nanti kalau aku kira-kira nggak mecing dengan cerita Ayah. Ayo dong, lanjutkan ceritanya!” jawabnya.
Maka aku lanjutkan kisahnya. Ini dia....
Besoknya mulailah masyarakat bekerja dengan bergotong-royong. Semua warga turun; laki-laki perempuan, tua muda. Mereka meninggalkan pekerjaan pribadi masing-masing.
Pertama-tama mereka membersihkan kawasan hulu yang akan dibendung. Dalam waktu yang tidak lama kawasan itu telah bersih. Siap untuk dibendung.
Air sungainya kelihatan bersih. Ikan-ikan berlarian di dalamnya dengan damai tanpa ada seorang pun warga yang mengganggu apalagi menangkapnya. Memang sudah menjadi kesepakatan warga di kampung itu bahwa segala sesuatu yang bukan milik pribadi (artinya milik nagari) maka untuk mengambilnya harus dengan kesepakatan bersama melalui musyawarah.
Pekerjaan dilanjutkan dengan mengumpulkan batu. Batu-batu itulah yang akan dipakai untuk membendung sungai. Setelah air sungai terbendung, maka dengan kekuatan air yang dibendung itulah nanti kayu akan dihanyutkan.
Semua warga bekerja dengan penuh semangat. Laki-laki berdua atau bertiga mengangkat atau menggulingkan satu batu. Ada juga yang mengangkat satu batu seorang diri. Ibu-ibu dan gadis-gadis dengan cekatan bekerja di dapur umum menyiapkan santap siang. Beberapa tetua nagari masuk ke hutan mencari kayu yang akan ditebang atau dicabut jika ada bisa melakukannya.
Katik Mudo juga larut dalam pekerjaannya. Mulanya ia ikut mengangkat batu, tetapi kemudian oleh Sutan Penghulu, ia dipanggil untuk membantu mencari kayu yang cocok.
Rombongan tetua nagari dan Katik Mudo memeriksa kayu-kayu yang tumbuh perkasa di hutan itu. Mereka mencari kayu yang memungkinkan sebatang saja untuk keperluan perkayuan mesjid. Beberapa kayu sudah diperiksa dan dipatut. Banyak kayu bagus dan kuat yang ada di hutan itu, sehingga untuk memilih satu di antaranya rombongan tersebut mesti bermusyawarah dulu.
Akhirnya didapati kata sepekat bahwa kayu yang akan diambil adalah yang paling besar dan paling kuat yang tumbuh di tebing dekat sungai yang sedang dibendung. Kalau diambil di tempat lain, takutnya akan susah ditarik ke sungai. Jika yang ditebing, bisa bersama-sama ditarik langsung ke arah sungai ketika ditebang. Lebih mudah.
Diperiksalah kayu itu oleh oleh rombongan tetua nagari dan Katik Mudo. Ternyata cocok. Cuma, di atas kayu itu bersarang ribuan burung dan kelelawar. Ada pula
beberapa ekor ular meliliti cabang pohon itu. Tidak beberapa jauh dari pohon itu mengaum pula seekor induk harimau sedang menjilati dua ekor anaknya.
Para tetua nagari menjadi kecut. Takut kalau harimau itu menerjang dengan tiba-tiba. Sutan Penghulu meraba goloknya. Begitu juga yang lain.
Katik Mudo kemudian maju ke depan dan berseru, “Wahai segala makhluk Allah yang ada di sekitar pohon ini, apakah kami boleh mengambil pohon ini untuk dijadikan perkayuan mesjid. Kami tahu pohon ini telah menjadi sarang kalian entah sejak kapan. Jika kami diizinkan untuk mengambil pohon ini, maka berilah tanda. Jika tidak, kami akan cari pohon yang lain.”
Suasana hening. Orang-orang yang sedang bekerja sejenak berhenti. Mereka mendengar suara Katik Mudo bagai kilatan yang begitu menggetarkan.
Sampai menjelang sore tidak ada tanda. Para tetua nagari tidak ada yang berani mendekati pohon itu. Katik Mudo dan yang lain menunggu dengan sabar. Akhirnya diputuskan bahwa pekerjaan dilanjutkan besoknya. Orang-orang pulang ke rumah masing-masing.
Ceritaku sampai di sini, kulihat kedua anakku sudah tertidur. Kuminta ibunya mengangkatnya ke kamar. Aku ke kamar kecil. Berwudhuk, lalu sholat Isya.
***
Malam ini aku tidak bisa mendongeng buat anak-anakku. Aku ada pekerjaan tambahan di kantor hingga sampai sekarang pun belum kelar juga. Kutelepon istriku untuk melanjutkan cerita yang kemarin masih belum selesai.
Kuberitahu ia lanjutan ceritanya sekilas. Sesungguhnya ia sudah pernah mendengar cerita tersebut dariku, dulu, ketika kami masih belum punya anak. Jadi, sebelum ke anak, aku sudah mendongeng ke ibunya terlebih dahulu.
Aku membayangkan, maka ibunya anak-anakku akan melanjutkan cerita itu seperti ini:
Malam itu Kepala Kampung bermimpi. Pohon itu boleh diambil dengan syarat masyarakat tidak mengganggu para penghuni hutan. Mereka tidak boleh diburu, apalagi dibunuh dengan semena-mena.
Kepala Kampung menyatakan setuju. Ia akan menyampaikannya kepada seluruh warganya perjanjian itu.
Paginya semua warga telah berkumpul di balai adat. Mereka akan kembali bekerja atau bagaimana. Menunggu perintah dari Kepala Kampung. Lalu Kepala Kampung menyampaikan perihal mimpinya kepada seluruh yang hadir. Mereka setuju. Maka kembalilah mereka melanjutkan pekerjaan kemarin yang masih terbengkalai.
Ketika sampai di hutan, ternyata seluruh rombongan tetua nagari dan Katik Mudo mengalami mimpi yang sama malam tadi. Mereka lalu berikrar akan memegang teguh janji itu.
Sesampai di dekat pohon yang akan diambil itu, ternyata seluruh penghuninya sudah tidak ada lagi di situ kecuali seekor harimau besar, tidak tiga seperti kemarin. Harimau itu mengendus-endus dan pergi ke hadapan Katik Mudo. Ia mengulurkan kaki depannya.
Katik Mudo agak bingung. Tetapi kemudian ia memberanikan diri menyambut kaki harimau itu. Mereka seperti orang bersalaman. Selanjutnya harimau itu menggerak-gerakkan ekornya beberapa kali, lalu pergi meninggalkan Katik Mudo dan rombongan tetua nagari yang bingung. Harimau itu mengaum, lalu menghilang di balik rimbunan pohon.
“Maha suci, Allah. Mudah-mudahan ini pertanda baik,” ujar Katik Mudo
“Mudah-mudahan demikian, Angku Mudo,” jawab Mak Labai. “Jadi bagaimana, kita tebang pohon ini sekarang?” lanjutnya.
“Bagaimana Mak Sutan, kita tebang sekarang?” tanya Katik Mudo.
“Baiklah kalau begitu. Siapa yang akan menebang?” tanya Sutan Penghulu.
“Bagaimana kalau aku saja,” Mak Labai menawarkan diri.
“Baik, silahkan!” kata Sutan Penghulu.
Mak Labai mengeluarkan kapak dari keranjangnya. Mata kapaknya berkilat-kilat terkena cahaya matahari. Kayu-kayu kecil di sekitar rumpun pohon itu dipangkasnya. Katik Mudo dan yang lain memperhatikan dengan seksama.
Mak Labai membaca Basmallah. Lalu mengayunkan kapaknya. Mata kapak yang tajam itu mengenai kulit pohon itu. Tidak tejadi apa-apa, kulit pohon itu tidak tergores sama sekali. Malah justru Mak Labai yang terjejar beberapa langkah ke belakang. Dicobanya lagi, lagi dan lagi, tetap sama. Kapak Mak Labai seperti membentur dinding tembok yang keras. Mak Labai akhirnya menyerah. Ia tidak sanggup lagi. Seluruh tubuhnya mandi keringat.
Kapak diambil Mak Sutan Penghulu. Ia melakukan seperti yang tadi dilakukan Mak Labai. Sama. Pohon itu tak bergeming. Lalu, anggota rombongan yang lain juga mencoba, termasuk Katik Mudo. Hasilnya sama. Pohon itu tak mempan dikapak. Sampai siang pohon itu masih seperti sedia kala.
“Bagaimana ini?” seru mereka.
“Kita minta dulu petunjuk Yang Kuasa,” kata Katik Mudo. “Mari kita sholat Zuhur dan berdoa bersama!”
Mereka lalu sholat Zuhur.
Cerita sampai di situ dulu. Istriku tidak melanjutkan karena anak-anak sudah tidur.
***
Malam ini kembali giliranku meneruskan cerita yang masih belum kelar. Anak-anak makin penasaran bagaimana kelanjutan kisahnya. Baru saja selesai sholat Magrib, sudah ditagihnya aku untuk melanjutkan cerita itu. Aku pun melanjutkan:
Ketika rombongan Katik Mudo dan tetua nagari kembali ke pohon itu, di sana sudah berdiri harimau besar yang tadi disalami Katik Mudo. Harimau itu membawa beberapa potong akar. Sambil menggigit akar itu, harimau itu menengadah ke atas dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Anggota rombongan bingung; tidak mengerti maksud harimau itu. Tapi justru Katik Mudo dapat menangkap maksud harimau itu dengan jelas. Setelah Katik Mudo mengangguk mengiyakan maksud harimau itu, ia pun pergi seperti tadi. Menghilang dalam sekejab ke balik pepohonan.
“Apa maksud harimau itu, Angku Mudo?” tanya Sutan Penghulu dan Mak Labai hampir bersamaan.
“Ia ingin kita menarik pohon itu bersama-sama ke bawah atau ke sungai.“
“Caranya?”
“Kita pasang tali di atas dahannya, lalu kita tarik bersama-sama. Harus ada pula di sini yang bertugas menggali akarnya agar lebih mudah ditarik,” kata Katik Mudo.
“Kalau begitu segera kita kerjakan,” kata Mak Labai.
“Ayo, tunggu apa lagi,” timpal yang lain.
Maka demikianlah. Pohon itu pun ditarik bersama-sama. Subhannallah, tiupan angin ikut membantu. Beberapa saat pohon itu berderit-derit dan akhirnya rubuh. Suara bergemuruh terdengar disertai terikan warga yang gembira. Pohon itu menggelinding ke sungai dan berhenti persis di bawah bendungan.
“Benar-benar pertolongan Allah. Kita tinggal membobol bendungan dan setelah itu pohon ini akan dihanyutkan. Kita akan tunggu di kampung. Di mana ia berhenti, di sanalah kita akan membangun mesjid,” ujar Kepala Kampung lega.
***
Demikianlah, pohon itu pun dihanyutkan. Dengan air bendungan yang berkekuatan seperti air bah itu, pohon itu pun hanyut tanpa kendala. Semua warga yang menyaksikannya berharap-harap cemas. Dimanakah pohon itu akan berhenti.
Bersamaan dengan pohon itu juga ikut hanyut batu-batu yang tadinya di pakai untuk membendung air. Maka antara batu dan pohon itu hanyut susul menyusul mirip galodo atau sekarang disebut banjir bandang. Bekas yang dilaluinya membentuk badan sungai yang agak lebar dibandingkan sebelumnya.
Kini pohon itu telah sampai di perkampungan. Satu dua tempat yang diharapkan sebelumnya untuk menjadi tempat perhentiannya telah dilewati. Namun, ia belum juga berhenti. Semua warga berharap pohon itu segera berhenti karena sudah hampir mendekati batas kampung.
Akhirnya sebuah batu besar yang hanyut mendahului pohon itu berhenti. Berhentinya batu itu menghambat hanyutnya pohon. Ya, pohon itu berhenti. Benhenti di sebuah lembah. Lembah itu oleh warga setempat dinamai Koto.
Semua warga merasa lega. Mereka ramai-ramai memanjatkan doa syukur. Setelah itu pohon itu pun dibersihkan.
Mesjid pun segera di bangun. Mereka bergotong royong dengan penuh semangat.
Akhirnya mesjid itu selesai juga. Berdiri kokoh di Lembah Koto. Mesjid itu dibangun hanya dengan sebatang pohon. Tidak dipaku.
Di depan mesjid itu berdiri kokoh sebuah batu besar. Konon dari bawah batu itu memancarlah air bersih. Air itulah yang dipakai untuk berwudhuk.
Hingga kini mesjid itu masih ada dan masih dipakai. Orang-orang menyebutnya mesjid Tua Koto. Menurut warga setempat, sekali setahun menjelang masuknya bulan puasa atau ketika akan datang bencana, maka mesjid itu akan bergetar dan membayang ke langit.
Begitulah. Setelah mesjid itu selesai, kampungku diakui menjadi sebuah nagari. Nagari itu dinamai Batang Barus. Berasal dari kata batang berarus. Batang yang dihanyutkan dengan arus.
Sebagian wilayah Batang Barus sekarang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Solok. Sedangkan mesjid Tuo Koto lerletak kira-kira 6 kilometer ke arah selatan dari Aro Suka, ibu kota Kabupaten Solok Sumatera Barat.