Kamis, 17 Januari 2008

GENERASI MINANGKABAU: Dari Generasi Penakut ke Generasi Televisi

Dulu, ketika saya masih kecil, entah kenapa saya begitu takut mendengar atau mengucapkan kata Minangkabau. Bagi saya ketika itu, kata Minangkabau adalah sesuatu yang asing, begitu aneh dan menyeramkan. Bisa jadi kemungkinannya karena saya tidak mengerti apa itu Minangkabau atau karena saya memang pernah ditanduak kerbau. Entahlah, yang saya ingat, ketika itu, setiap orang menyebut Minangkabau, maka saya akan lari, sama persis ketika orang memperlihatkan kepada saya gambar tengkorak.
Bertahun-tahun saya hidup dalam ketakutan itu, hingga suatu saat guru saya di Sekolah Dasar mengajarkan kepada saya bahwa kata Minangkabau itu berasal dari kata “menang” dan “kerbau”. Guru saya itu kemudian menceritakan bahwa dulu pernah ada pertandingan adu kerbau antara orang-orang Pagaruyung dengan orang-orang Majapahit. Dalam pertandingan itu, kerbau orang Pagaruyung berhasil mengalahkan kerbau orang Majapahit. Orang-orang Pagaruyung yang gembira, lalu meneriakkan “menang kerbau”. Lama kelamaan, istilah menang kerbau ini berubah menjadi Minangkabau seperti yang kita kenal sekarang.
Berawal dari situ, ketakutan saya terhadap kata Minangkabau berangsur-angsur mulai berkurang. Ketika saya melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, saya dengan sendirinya jadi terpicu; ingin tahu dan berhasrat sekali untuk mempelajari seluk-beluk Minangkabau. Ouu ternyata, Minangkabau itu adalah negeri saya; tempat darah ibu saya tertumpah untuk melahirkan saya. Keinginan saya berlanjut. Saya kemudian terobsesi membaca buku-buku yang berbicara tentang daerah saya itu. Namun, ketika pembacaan saya sampai pada catatan/ulasan tentang keadaan/nasib rakyat Minangkabau pasca peristiwa PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), saya jadi terpana, hening beberapa saat, Astagfirullah, ternyata yang mengalami ketakutan itu tidak cuma saya. Dari catatan sejarah, ketakutan rupanya telah menjadi bagian kolektif derita masyarakat Minangkabau dalam kurun waktu yang panjang pasca peristiwa berdarah itu. Bukan cuma takut, masyarakat Minangkabau juga kehilangan harga dirinya, hidup selama 40 tahun lebih tanpa bisa manegakkan kepala.
Peristiwa PRRI tahun 1958 dan berakhir tahun 1961 menyisakan trauma kemanusian yang mendalam bagi rakyat Minangkabau. Bukan hanya korban jiwa dan harta yang tidak terhitung jumlahnya, tetapi PRRI juga dicap sebagai pemberontak dan dianggap sebagai pembawa nasib buruk bagi rakyat Sumatera Barat. Kekalahan PRRI berarti penderitaan dan penghinaan yang tak alang kepalang besarnya. Harga diri orang Minangkabau diinjak-injak dengan cara yang tak dapat mereka terima. Keadaan ini bahkan berlangsung untuk waktu yang lama, hingga 40 tahun kemudian tatkala orde reformasi digerakkan oleh orang-orang muda (Mestika Zed dan Hasril Chaniago dalam bukunya Perlawanan Seorang Pejuang: Biografi Kolonel Ahmad Husein, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001 halaman 2).
Di awal-awal usai kekalahan PRRI, masyarakat Minangkabau menjadi centang prenang. Pranata sosial tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Kejahatan merajalela di mana-mana. Rakyat dicekam ketakutan. Ekonomi memburuk, banyak rakyat yang kelaparan, kebutuhan hidup sulit di dapat, sawah-sawah tidak bisa digarap, ladang dibiarkan merimba. Para pemuda pergi ijok atau pergi merantau. Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Minangkabau kehilangan harga diri sehinga berubah menjadi penakut, pemalu, dan merasa rendah diri. Anak-anak mereka dibesarkan dalam kehidupan yang serba tidak menentu dan penuh ketakutan. Mereka takut dengan tentara, helikopter, mobil jeep dan segala sesuatu yang asing di tengah-tengah mereka. Semua generasi PRRI pasti bisa menceritakan betapa mencekamnya suasana setelah PRRI. Siapa pun yang melewati pos penjagaan tentara harus turun dan membimbing sepedanya di sepanjang kawasan tersebut. Kalau tidak, mereka akan dipanggil untuk melapor dan bisa-bisa tamparan akan mendarat di muka. (Mestika Zed, Edi Utama, dan Hasril Chaniago dalam bukunya Sumatera Barat di Panggung Sejarah 1945-1995, 1998 halaman 164).
Tidak hanya sampai di situ, Ahmad Syafei Maarif ( dalam Republika, 2004: 12) malah mengatakan bahwa kekalahan PRRI kemudian telah merubah orang Minangkabau menjadi pragmatis. Asa lai tanduak makan, biarlah kapalo bakubang. Makanya, banyak orang Minangkabau yang memakai nama dengan ujung huruf o demi pragmatisme dalam menghadapi rezim Soekarno dan Soeharto yang otoritarian. Bahkan yang agak menggelikan adalah kebiasaan sebagian elit Minang yang mengucapkan akhiran kan dengan ken dan pemakaian perkataan daripada yang tidak pada tempatnya. Inilah pertanda budaya orang-orang yang kalah (Maarif, 2004). Sementara itu Mursal Esten dalam makalahnya “Tantangan Budaya Minangkabau dalam Menghadapi Globalisasi”, yang terhimpun dalam buku Tantangan Sumatera Barat, Mengembalikan Keunggulan Pendidikan Berbasis Budaya Minangkabau, Jakarta: Citra Pendidikan, 2001 halaman 124, dikatakan bahwa orang Minangkabau telah kehilangan jati dirinya dan menjadi objek perubahan selama 40 tahun lebih di bawah rezim yang sentralistik.
Kini, ketakutan sudah mulai hilang dari masyarakat Minangkabau seiring dengan bergantinya generasi. Generasi yang dibesarkan dengan ketakutan sepanjang 40 tahun itu, sekarang sudah memiliki anak, di antara mereka ada yang telah bersekolah tinggi. Anak-anak mereka itu telah mengajarkan mereka banyak hal, telah membawa perubahan dalam hidup mereka. Namun demikian, perubahan-perubahan yang terjadi kemudian membawa saya pada “ketakutan” jenis baru. Agaknya, ketakutan itu tidak akan pernah beranjak dari saya, atau dari bumi Minangkabau ini. Saya takut (lagi) karena generasi Minangkabau sekarang di samping tidak pula memahami apa itu Minangkabau sebagaimana saya dulu, juga merupakan generasi yang hidup di tengah-tengah kemerosotan budaya.
Generasi Minangkabau sekarang adalah generasi yang dibesarkan oleh televisi. Melalui siaran-siaran televisi yang beragam jenisnya, mereka akrab dengan berbagai macam budaya dan gaya hidup. Termasuk di antaranya budaya dan gaya hidup yang bukan saja tidak mengakar, tapi juga bertentangan dengan kebiasaan di Minangkabau. Dapat kita ambil contoh misalnya melalui acara-acara telusur kasus yang berbagai bentuk dan jenisnya. Melalui acara itu masyarakat dibuat akrab dengan berbagai jenis kekerasan, sehingga mudah saja disulut untuk kemudian menimbulkan kejahatan dan amuk massa; terjadilah tawuran antara kampung (cakak banyak) atau tawuran antar pelajar/mahasiswa, terjadilah pembunuhan mamak oleh kemenakan, pembunuhan orang tua oleh anak, terjadi pula berbagai bentuk kejahatan kelamin dan sebagainya. Melalui acara-acara hiburan dan infotaiment, masyarakat kemudian menjadi terhipnotis dengan gaya hidup materialistik dan konsumenistik, sehingga terjadilah kemudian berbagai bentuk kejahatan ketika hasrat untuk memenuhi kebutuhan itu terhambat. Terang saja, untuk memenuhi gaya hidup demikian diperlukan “sesuatu”. Pada kenyataannya “sesuatu” itu terbatas dimiliki. Kalau pun ada, ia ada pada orang lain, atau bahkan milik negara. “Sesuatu” itu mau tak mau harus dimiliki/didapatkan, maka menjadilah mereka sebagai penjambret, penipu, pembual dan sebagainya. Lebih parah lagi, ada juga mereka yang menjadi penjahat terhormat di gedung-gedung elit. Parahnya, karena mereka tidak hanya makan makanan kelas orang-orang elit, tapi mereka juga makan beton, aspal, semen dan benda-benda lain yang menjadi milik negara. Mereka lakukan itu secara berjamaah pula.
Pengaruh negatif yang kuat dari budaya televisi, juga terjadi dalam kehidupan perempuan Minangkabau. Sebagaimana kenyataan yang ada, sebagian dari mereka telah menjadikan standar duniawi sebagai tolak ukur berhasil tidaknya kualitas hidup mereka. Tengoklah, ketika orang ramai-ramai menjadikan artis sebagai idola/rujukan, sebagian perempuan Minangkabau (terutama kelompok mudanya) tidak mau ketinggalan. Ketika Agnes Monika mengecat rambutnya, mereka ramai-ramai meniru. Ketika Inul Daratista membuat sensasi dengan goyang ngebornya, gadis-gadis Minang pun menirunya. Buktinya: betapa banyak kaset-kaset/VCD lagu-lagu Minang yang diikuti goyangan seronok. Ketika para selebritis ramai-ramai berpakaian sempit, transparan dan mengumbar pusar, gadis-gadis Minang mengikutinya tanpa sungkan. Baju kurung mereka tanggalkan, lalu diganti dengan baju kurang yang katanya lebih modis dan moderen.
Jadi, generasi televisi sama saja dengan generasi sebelumnya. Bedanya, generasi televisi dan generasi sebelumnya hidup di dua era yang berbeda. Generasi televisi tumbuh dan berkembang dengan apa-apa yang disodorkan televisi itu. Jika tidak direfresh secara budaya, generasi televisi sebagai korban budaya, jauh lebih “berbahaya” mengeroposkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Minangkabau dibandingkan generasi penakut sebagai korban pelaku sejarah yang masanya telah lewat. Demikianlah, generasi yang dibesarkan oleh televisi sama parahnya dengan generasi yang dihantui ketakutan selama puluhan tahun. Saya tidak tahu ke depan entah apa lagi yang akan terjadi di Minangkabau ini. Yang saya tahu generasi penakut dan generasi televisi adalah dua hantu yang pernah ada di negeri ini. Walahualam Bissawab.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

saya juga bingung dengan orang minang sekarang...
bagaimana bisa mencari orang se kaliber Hatta, Yamin, Sjahrir,Hamka dll
mungkin sebaiknya tradisi SURAU HARUS dan Wajib dihidupkan kembali.
melalui tulisan ini saya dari rantau cuma bisa kasih saran ke sanak di kampuang.
Anak-anak minang memang dari kecil harus tinggal di SURAU.

Mbak Dewi.Kalimantan mengatakan...

Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang kesulitan masalah keuangan,SAYA IBU DEWI, sekeluarga mengucapkan banyak terimakasih kepada AKI JOYO MALIK atas bantuannya saya menang togel yang ke 3x nya ,pekerjaan saya sehari-harinya cuma seorang pengepul barang bekas apalagi saya seorang janda,,yang pendapatannya tidak seberapa,buat biaya anak sekolah aja tidak cukup apalagi untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-harinya….pada su atu hari saya tidak sengaja mendengar pembicaraan teman saya mengenai angka ritual/ghoib AKI JOYO MALIK yang katanya bisa mengeluarkan angka sgp/hk yang di jamin tembus,akhirnya saya bertanya dan teman saya memberikan nomor AKI JOYO MALIK dan saya pun menghubunginya..?? Berkat bantuan AKI yang telah memberikan angka “GHOIB” nya 4D dan alhamdulillah itu ternyata terbukti. lagi…sekarang anak saya bisa lanjut sekolah lagi itu semua atas berkat bantuan AKI JOYO MALIK bagi anda yang penggemar togel ingin meruban nasib melalui angka2 goib yang di jamin 100% kemenangan hbg AKI JOYO MALIK di nmr;_ 085-211-977-346,ini bukti nyata bukan rekayasa,mana ada kemenangan tanpa keberanian dan kejujuran,saatnya kita perlu bukti bukan sekedar janji2,hanya AKI JOYO MALIK yang bisa menjamin 100% kesuksesan,anda perlu bukti siahkan HBG/SMS AKI JOYO MALIK nya,terima kasih ROMNYA















INGAT…!!! JANGAN SIA-SIAKAN KESEMPATAN YANG ADA SEBAB

KESEMPATAN TIDAK MUNGKIN DATANG KE 2 KALINYA………..