Oleh Ronidin
Tidak ada seorang pun yang bercita-cita menjadi generasi bodoh. Kalau pun ada, itu adalah orang yang benar-benar bodoh. Demikian juga menjadi seorang yang intelek (sukses menjalani fase-fase kehidupannya) tidak seorang pun yang tidak menginginkannya. Kalau pun ada, itu tidak lain adalah generasi yang benar-benar dilingkupi kebodohan. Paling tidak punya cita-cita untuk sukses. Kalau toh kemudian cita-cita itu tidak dapat diwujukan karena berbagai kendala, maka cita-cita itu dapat dikatakan sebagai sebuah ikhtiar untuk keluar dari kebodohan. Bukankah sebagai manusia ‘hidup’ kita perlu berikhtiar (?)
Upaya yang dapat ditempuh seseorang untuk mewujudkan impiannya mencapai keberhasilan (dengan titik fokus menjadi generasi yang intelek) adalah dengan terus meningkatkan atau meng-up grade pendidikannya. Pendidikan perlu terus ditingkatkan karena ilmu dalam setiap zaman terus berkembang. Bukankah pendidikan itu tidak mengenal batas-batas sebagaimana kita mengenal batas-batas lain secara fisik. Pendidikan mesti dijalani selama hayat masih dikandung badan. Tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai menjelang masuk liang lahat. Lalu cari dan gali pulalah ilmu itu walau sampai ke negeri China, begitu kata Rasulullah Muhammad saw lima belas abad yang lalu.
Pendidikan dapat dikatakan sebagai kendaraan yang akan membawa seseorang menjadi dihormati. Secara formal, pendidikanlah yang akan membawa seseorang menjadi intelektual sejati. Pendidikanlah yang akan menyelamatkan masa depan seseorang sekaligus membawanya mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Lengkap sudah, pendidikan adalah alat untuk mengantarkan seseorang kepada cita-cita yang diimpikannya. Pendidikan merupakan jendela untuk menjelajah/mengitari dunia dan alam sekitarnya (lihat Q.S. 55: 33).
Salah satu level pendidikan formal adalah Perguruan Tinggi (PT) yang dapat dicapai sesudah melewati level-level di bawahnya. Perguruan Tinggi merupakan jenjang terakhir yang hampir mendekati puncak keberhasilan meraih impian. Di Perguruan Tinggi-lah sejatinya keintelektualan itu dapat diasah setajam-tajamnya. Para pelajar yang mengasah pisau keintelektualan itu kemudian disandangkan ke pundak mereka sebutan mahasiswa. Maha sepadan dengan agung atau tinggi sedangkan siswa sepadan dengan pelajar/penuntut ilmu. Mahasiswa: pelajar yang agung atau penuntut ilmu di kelas yang tinggi. Dengan demikian, sebutan mahasiswa tidak hanya berupa status, di baliknya tersimpan tanggung jawab moral seseorang untuk “belajar” menjadi seorang intelektual; orang yang tidak hanya sekedar berilmu, tetapi juga mengamalkan ilmu itu serta mengajarkannya pula.
Menjadi mahasiswa menyebabkan seseorang begitu dihargai di tengah-tengah masyarakatnya. Hal itu tidak lain karena status mahasiswa dipandang sebagai sesuatu yang bergengsi, tinggi, dan terhormat. Mahasiswa dianggap sebagai agent of change untuk kemudian dititahi sebagai golden boy bangsa ini di kemudian hari.
Sedemikian agungnya status mahasiswa di mata masyarakat, supaya gayung bersambut kata berjawab pula, maka mau tidak mau, mahasiswa semestinya menampakkan identitas dan keberadaan diri mereka sebagaimana yang dipersepsikan masyarakat tersebut. Sebagai bagian dari generasi yang sedang berusaha menjadi generasi intelektual, mahasiswa tidak boleh apatis apalagi skeptis dengan apa yang ada. Justru itu, mahasiswa sepatutnya berada di garis depan dalam mendadarkan pengetahuan dan kemampuan akademisnya untuk kepentingan masyarakat luas. Dengan bekal yang diporoleh secara akademis maupun nonakademis di lingkungan kampus dan masyarakat, kelak mahasiswa semestinya tak terkendala mengejawantahkan ilmu itu untuk kepentingan orang banyak. Selain itu, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang, mahasiswa mesti berperan aktif di masyarakat, mengisi pembangunan terutama dalam upaya mengawal jalannya cita-cita “reformasi” sebagai harapan kaum muda terhadap perbaikan nasib bangsa ini.
Karena itu, menjadi mahasiswa sebenarnya tidaklah hanya sekedar menyandang status sebagai mahanya siswa. Tidak sekedar gagah-gagahan. Tidak sekedar untuk berbangga-bangga kepada orang-orang di kampung dengan mengatakan bahwa saya adalah mahasiswa, saya adalah agent of change maupun golden boys.
Tentu saja menjadi mahasiswa adalah menjadi tulang penyangga bangsa ini di masa mendatang. Sebuah tugas yang teramat berat, sekaligus sebuah tugas yang mulia. Nilainya kira-kira sama dengan nilai jihad jika dilakukan dengan kesungguhan dan tanpa pamrih. Jika saja tulang penyangga itu rapuh dan hanya mentreng karena statusnya, maka dapat dipastikan bahwa generasi bangsa ini akan sulit bersaing dengan bangsa lain yang terus berkembang secara pesat. Jika saja tulang penyangga it uterus berbangga karena statusnya tanpa berusaha mengisi otak dan imannya, maka status itu akan membuatnya menjadi orang yang mudah lupa diri seperti yang diingatkan Milan Kundera.
Nah, ketika ada gelombang mahasiswa yang tercerabut dari akar akademisnya, maka dapat dikatakan itulah sebuah pernistaan terhadap kaum akademis dan almamaternya. Itulah sebuah kedurhakaan intelektual. Dikatakan demikian karena esensi dari intelektualitas itu sudah mengirap dari mereka. Bagi mereka itu, status mahasiswa hanyalah sekedar tempelan, sekedar status yang diumbar ke mana-mana demi gengsi. Sekedar mengambil contoh, tengoklah betapa naifnya kelompok mahasiswa opurtunis, yaitu kelompok mahasiswa yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh nilai dan ijazah. Bagi mereka nilai dan ijazah itu lebih penting dari pada ilmu. Maka akibatnya, lahirlah sarjana dengan ijazah yang bagus-bagus, namun ketika dihadapkan pada tantangan kerja mereka gagap. Mereka miskin ilmu maupun skill.
Di bawah kelompok mahasiswa oportunis, ada pula kelompok mahasiswa apatis. Kelompok mahasiswa apatis adalah mereka yang tidak peduli dengan diri mereka sendiri apalagi dengan lingkungannya. Mereka adalah mahasiswa tipe cuek, tidak pernah belajar dengan serius, kuliah senin-kamis, terperangkap pada kehidupan bebas, terlibat narkoba dan bahkan free seks, suka hura-hura menghabiskan uang orang tuanya yang diperoleh dengan tunggang-tunggik tidak siang tidak malam, dan sebagainya. Jadi, siapa yang akan membantah, kalau prilaku demikian dikatakan sebagai sebuah luka nestapa; tragedi bagi kaum akademisi di tengah gegap gempitanya orang-orang mempersepsi mereka sebagai agent of change maupun golden boy. Mereka itulah para pengkianat terhadap orang tua mereka dan pengkianat bangsa.
Begitulah, kiranya perlu diinap-inapkan sebuah renungan yang disampaikan Taufik Ismail: mahasiswa takut pada dosen, dosen takut pada dekan, dekan takut pada rektor, rektor takut pada mentri, mentri takut pada presiden, dan presiden takut pada mahasiswa. Itulah sebuah renungan yang menggelitik; menunjukkan bahwa peran mahasiswa sebagai generasi muda (sebagai agen perubah) terutama dalam mengontrol baik buruknya suatu bangsa sangat besar, sehingga seorang presiden “harus” merasa “takut” dengan mahasiswa. Dua kali sejarah bangsa ini mencatat bahwa mahasiswa mampu menjadi lokomotif perubahan dari ototarian sebuah rezim yang berkuasa. Jelas semua itu dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa yang intelek, bukan mahasiswa oportunis apalagi apatis. Walahualam bissawab.
Rabu, 09 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar