Oleh: Ronidin
Tulisan jelek dengan maksud baik lebih baik
dari tulisan baik tetapi bermaksud jelek
(Jalaluddin Rahmat)
Menulis sebagai sebuah kreatifitas adalah aktivitas intelektual yang menyenangkan dan berharga. Tidak banyak orang yang mampu melakukannya dan tidak banyak pula yang mampu menghargainya. Menulis berkaitan dengan keahlian, sedangkan menghargai tulisan berkaitan dengan moral. Kalau begitu, intelektual sejati adalah penulis yang bermoral. Artinya, ia mampu mencurahkan ide atau gagasan yang ada di sekitarnya secara tertulis dan kemudian menempatkannya menjadi barang berharga yang harus dijaga.
Menulis adalah amal jariah. Itu kalau tulisan yang ditulis bermaksud baik lagi mencerahkan seperti dikatakan Kang Jalal di atas. Coba bayangkan! Sekian ratus orang yang membaca sebuah tulisan, lalu karena tulisan itu, beberapa orang diantaranya berubah menjadi lebih baik: bukankah itu suatu amalan yang menyegarkan? Atau gara-gara sebuah tulisan, orang jadi rajin ke mesjid, murah berinfak, santun, memakai jilbab dan sebagainya: bukankah itu suatu pencerahan yang nyata? Justru itu, menulis dan menghargai sebuah tulisan sama pentingnya. Setidaknya, kalau belum bisa menulis, maka hargailah tulisan orang lain! Bukankah Islam selalu menganjurkan kita untuk selalu menhargai orang lain?
Lantas, Pertanyaan yang mengedepan: bagaimanakah sebenarnya menulis itu dan bagaimana pula menghargai sebuah tulisan dimaksud?
Menulis sebenarnya tidak susah. Menghargainya juga mudah. Mulailah menulis dari hal-hal yang kecil. Hal-hal yang dekat dengan kita dan hal-hal yang kita ketahui. Jangan menulis sesuatu yang tidak kita ketahui dan sesuatu yang “jauh” dari kita. Menulislah dengan persepsi bahwa menulis itu adalah ibadah. Menulislah dengan senang hati bukan dengan beban.
Setelah tulisan jadi, jangan disimpan (saja) di laci lemari, di antara halaman buku atau di file komputer Anda. Kalau itu dilakukan, sama artinya dengan tidak menghargai tulisan tersebut. Tulisan menjadi bernilai kalau sudah dibaca atau diapresiasi orang lain. Ketika menulis jangan berfikir bahwa tulisan itu hanya untuk diri sendiri, tetapi bayangkan tulisan itu akan dibaca banyak orang. Akan memberi pencerahan pada banyak orang. Ini penting agar kita terpicu menulis sebaik mungkin. Segurih mungkin.
Selama ini yang sering menjadi masalah bagi seseorang ketika menulis adalah cara memulainya. Selain itu, kebanyakan kita “takut” kalau karyanya dibaca orang lain apa lagi dikritiknya. Rata-rata mental orang kita masih anti kritik dan takut salah. Padahal kritikan adalah aktor penting dalam menulis.
Selanjutnya …
Menulis tentunya memproduksi bahasa. Nah, ketika mulai menulis, maka kita harus memiliki stok bahasa yang cukup untuk diproduksi. Sejauh ini pernahkah kita menghitung sudah berapa banyak kosa kata yang kita miliki. Kalau sudah cukup, menulis akan menjadi mudah. Topik-topik yang terpampang di depan mata kita, akan dapat diolah menjadi sesuatu yang gurih seperti pizza, begitu kata Hernowo. Sejauh ini, secara jujur harus kita akui bahwa bahasa kita memang miskin. Itulah sebabnya kita susah untuk mulai menulis.
Selain itu, kesusahan menulis juga karena kurangnya motivasi. Jarang di antara kita yang menjadikan menulis sebagai hobi. Malah justru sebaliknya: menjadi beban. Kalau menulis itu telah menjadi hobi, maka kita akan melakukannya dengan senang hati. Kita akan membaca dengan senang hati pula karena membaca adalah saudara kandungnya menulis. Orang yang hobi menulis pasti dia juga hobi membaca. Kalau kita banyak membaca, berarti kita banyak memiliki simpanan untuk dituliskan.
Faktor penghambat lainnya dalam menulis adalah malas, takut, nggak pede, tidak mau belajar dan niat yang tidak afdhol. Yang disebut terakhir, misalnya menulis untuk mendapatkan “si anu” atau karena ingin “dipuji” karena ingin honor dan sebagainya. Jadi, kalau ingin beramal dengan tulisan, maka menulislah! Niat harus diikui dengan tekat dan perbuatan. Menjadi seorang penulis tidak hanya bisa dengan berkata, “O…, aku pengen jadi penulis,” tanpa berbuat.
Nah, Kalau tulisan kita sudah jadi, cepat-cepatlah perlihatkan kepada teman atau kirimkan langsung ke koran atau majalah. Jangan disimpan! Yang suka menyimpan tulisan berarti dia tidak menghargai hasil usahanya. Seberapa pun hasil tulisan kita, itu adalah jerih payah kita. Tidak mungkin sebuah tulisan dibuat oleh orang bodoh. Ingat, menulis adalah kreatifitas yang berharga. Kreatifitas yang tidak dimiliki semua orang. Kreatifitas yang hanya dimiliki orang-orang yang terbiasa berfikir, terbiasa membaca dan terbiasa menulis itu sendiri. Untuk itu kenapa harus ragu? Persoalan tidak lulus seleksi (ditolak media massa) itu perkara lain. Yang penting terlebih dahulu kita harus menghargai karya tulis kita sendiri. Jadikan tulisan kita itu sesuatu yang penting. Sesuatu yang berharga.
Menghargai tulisan kita atau menjadikan tulisan kita sesuatu yang berharga harus bermula dari kita sendiri terlebih dahulu. Bagaimana orang lain akan menghargai tulisan kita kalau kita sendiri belum menghargainya. Jadi, menghargai tulisan sama dengan menghargai kreatifitas.
Rabu, 26 Desember 2007
Rabu, 19 Desember 2007
“Menyelamatkan” Siswa Kurang Mampu
Oleh Ronidin
Vika Cikita, Tessy Pratama Faradila, Muhammad Rinaldi Putra, dan Nesia Riska adalah contoh kecil dari anak-anak keluarga miskin yang memiliki otak cemerlang. Vika Cikita peraih nilai tertinggi UN se Sumbar kesulitan biaya untuk melanjutkan studinya di perguruna tinggi. Tessy, M.Rinaldi dan Nesia juga mengalami nasib sama; lulus PMDK di Unand dan UNP tetapi kesulitan biaya untuk kuliah, minimal untuk biaya masuk pertama.
Vika, Tessy, M. Rinaldi dan Nesia hanyalah potret kecil dari sekian banyak siswa kurang mampu yang memiliki otak cerdas di negeri ini. Mereka mengimpikan melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi sayang kendala keuangan bak tembok kokoh menghadang mereka. Banyak di antara mereka itu yang harus berhenti di tengah jalan. Bahkan, ada di antaranya yang stress, lalu jadilah ia menghitung-hitung kerikil di jalan, manatap orang-orang berseragam sekolah dengan tatapan aneh, atau mencibiri setiap orang yang berbicara tentang sekolah.
Agaknya, siswa-siswi miskin yang cerdas perlu diselamatkan. Pendidikan di negeri ini tidak diperuntukkan hanya untuk orang kaya--meskipun pada kenyataannya hanya anak orang-orang kaya yang bisa melenggang bebas untuk studi setinggi-tingginya. Bagi anak orang miskin, sekolah tinggi merupakan impian yang entah dengan apa akan dicapai. Hanya satu dua di antara mereka yang berhasil mewujudkan impian itu berkat kerja kerasnya. Ada pula yang berhasil karena bantuan orang lain. Hanya saja mengharapkan bantuan orang lain sebagai bapak angkat atau penyantun atau pemberi beasiswa sama susahnya dengan mengharapkan adanya institusi pendidikan yang benar-benar gratis.
Fenomena ini tentu saja menyentak kita di tengah derasnya hasrat bangsa ini untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Anggaran pendidikan harus ditingkatkan. Itu suara yang dari dulu kita dengarkan di mana-mana. Cuma, sejauh ini, apa yang telah dilakukan belum mampu “membaca” kondisi dimaksud, apalagi mengatasinya. Lalu, apa solusinya?
Menurut saya, banyak yang bisa diperbuat oleh masyarakat mengatasi masalah ini. Akan tetapi, suatu hal yang teramat terpenting sebelum melakukan aksi adalah menumbuhkan rasa kepedulian. Sebab, jika tidak ada yang peduli, maka persolan ini akan tetap seperti itu juga sepanjang masanya. Akibatnya, bangsa ini akan terus merugi karena SDM-SDM berkualitasnya terpaksa harus “gulung tikar” dari dunia pendidikannya karena “dilemahkan” oleh faktor ekonomi. Hal ini berbanding terbalik dengan SDM di negara lain yang terus dipacu kualitasnya. Bila ini tidak dipedulikan, bukan tidak mungkin suatu saat bangsa kita akan menjadi “budak” bagi negara lain. Sekarang saja “ekspor” kita yang tersukses adalah TKW untuk menjadi PRT.
Satu hal lagi yang perlu dikawatirkan adalah adanya program dari negara-negara asing untuk menyekolahkan anak-anak cerdas dari Indonesia yang kurang mampu. Mereka tidak hanya disekolahkan, tetapi juga diberi fasilitas mewah. Pada akhirnya mereka akan menjadi “hebat” di negara orang. Bukan tidak mungkin pula suatu saat sebagai upaya balas budi, mereka “menjual” Indonesia kepada negara penyantunnya.
Jika kita peduli, maka yang dapat dilakukan misalnya adalah membentuk lembaga khusus penyantun anak-anak cerdas yang miskin itu. Lembaga tersebut mengkoordir bantuan dari orang-orang yang dianggap mampu dan peduli. Lalu lembaga ini menyalurkannya kepada para siswa miskin yang telah di data berupa beasiswa atau sejenisnya. Mungkin selama ini telah ada BAZ atau BAZIZ yang melakukan ini, tetapi pekerjaan BAZ atau BAZIZ lebih bersifat umum (melayani kaum duafa), sehingga untuk melayani atau membantu siswa kurang mampu secara khusus perlu lembaga dimaksud.
Itu satu cara, cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan pengalihan alokasi dana pembangunan fisik mesjid kepada pembangunan jemaahnya melalui pendidikan dan yang lainnya secara relevan. Dalam hal ini, bisa dibayangkan berapa jumlah mesjid yang ada di negeri ini, lalu dari jumlah yang sebanyak itu, berapa dana yang beredar yang dipakai untuk pembangunan fisik mesjid. Konon, malah ada mesjid yang harga gubahnya saja mencapai 1,5 Miliyar. Jika dana-dana itu dialihkan atau minimal diperdua untuk membangun masyarakat pengisi mesjid-mesjid itu, yang salah satunya melalui pendidikan siswa-siswi kurang mampu, maka berkemungkinan tidak akan ada lagi anak-anak miskin nan cerdas yang harus pusing tujuh keliling memikirkan bagaimana ia mencari biaya untuk melanjutkan studinya.
Selama ini di berbagai daerah orang berlomba untuk memperindah mesjid mereka. Lantai dan dinding dilapisi keramik yang berkilat-kilat bila disinari. Sudah berkeramik sebagus itu, masih ditambah lagi dengan karpet permadani yang mahal-mahal. Padahal kenyataan ketika sholat berjemaah, bagian mesjid yang terpakai tidaklah seluas bangunannya. Inventaris mesjid yang mahal-mahal itu kadang hanya tersimpan di gudang dan dimakan kepuyuk. Keramik-keramik yang melapisi dinding itu memang indah, tetapi sadarkah kita bahwa di balik dinding keramik itu ada anak-anak miskin yang membutuhkan uluran tangan. Jika tidak dibantu, orang lain dari agama lain selalu saja mengincarnya untuk diberi bantuan. Setelah itu secara perlahan-lahan mereka dibawa mengikuti keyakinan si pemberi bantuan itu.
Jadi, untuk sementara “beristirahatlah” membangun fisik mesjid, biarlah mesjid itu seperti yang sudah ada. Tidak perlu bermegah-megah. Justru yang lebih penting adalah membantu orang-orang yang ada di sekitar mesjid itu. Menyekolahkan anak-anak yang patut untuk disekolahkan. Memberi beasiswa bagi mereka yang sedang studi dan sebagainya. Ini perlu dilakukan agar orang-orang seperti Vika Cikita, Tessy Pratama Faradila, Muhammad Rinaldi Putra, Nesia Riska dan masih banyak yang lainnya tidak kehilangan kecerdasannya atau tragisnya “diculik” orang lain dari agama yang lain untuk dididik dengan cara mereka.
Berikutnya, kalau cara yang ditawarkan di atas tidak mempan, mau tidak mau untuk menolong anak-anak miskin dari kehilangan masa depan pendidikannya adalah dengan mengembalikan persoalan ini kepada pemerintah. Sebab fakir miskin dan anak-anak terlantar pada prinsipnya berada di bawah tanggungan negara. Dengan demikian, sistem pendidikan yang mesti dikembangkan adalah sistem pendidikan yang berpihak kepada warga miskin. Tidak seperti yang selama ini terjadi di mana yang bisa mengenyam pendidikan tinggi adalah orang-orang dari keluarga the have. Memang ada program yang membebaskan warga miskin dari beban biaya pendidikan, tetapi mereka yang miskin tetap saja tidak bisa bersekolah dengan aman karena sistem pendidikan telah dikomersilkan. Okelah mereka tidak dikenakan biaya SPP, tetapi biaya-biaya operasional lainnya tetap saja tak sanggup mereka sediakan.
Karena itu pemerintah mesti konsekuen untuk menciptakan pendidikan yang terjangkau keluarga miskin. Bantuan-bantuan pendidikan harus disalurkan secara tepat sasaran. Anak-anak miskin yang pintar-pintar mesti didiperhatikan untuk kemudian diprioritaskan mendapat bantuan. Tahun-tahun selanjutnya kita tidak melihat lagi Vika Cikita, Tessy Pratama Faradila, Muhammad Rinaldi Putra, Nesia Riska dan siswa-siswa lainnya “meratap” dulu untuk bisa kuliah. Walahualam bissawab.
Vika, Tessy, M. Rinaldi dan Nesia hanyalah potret kecil dari sekian banyak siswa kurang mampu yang memiliki otak cerdas di negeri ini. Mereka mengimpikan melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi sayang kendala keuangan bak tembok kokoh menghadang mereka. Banyak di antara mereka itu yang harus berhenti di tengah jalan. Bahkan, ada di antaranya yang stress, lalu jadilah ia menghitung-hitung kerikil di jalan, manatap orang-orang berseragam sekolah dengan tatapan aneh, atau mencibiri setiap orang yang berbicara tentang sekolah.
Agaknya, siswa-siswi miskin yang cerdas perlu diselamatkan. Pendidikan di negeri ini tidak diperuntukkan hanya untuk orang kaya--meskipun pada kenyataannya hanya anak orang-orang kaya yang bisa melenggang bebas untuk studi setinggi-tingginya. Bagi anak orang miskin, sekolah tinggi merupakan impian yang entah dengan apa akan dicapai. Hanya satu dua di antara mereka yang berhasil mewujudkan impian itu berkat kerja kerasnya. Ada pula yang berhasil karena bantuan orang lain. Hanya saja mengharapkan bantuan orang lain sebagai bapak angkat atau penyantun atau pemberi beasiswa sama susahnya dengan mengharapkan adanya institusi pendidikan yang benar-benar gratis.
Fenomena ini tentu saja menyentak kita di tengah derasnya hasrat bangsa ini untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Anggaran pendidikan harus ditingkatkan. Itu suara yang dari dulu kita dengarkan di mana-mana. Cuma, sejauh ini, apa yang telah dilakukan belum mampu “membaca” kondisi dimaksud, apalagi mengatasinya. Lalu, apa solusinya?
Menurut saya, banyak yang bisa diperbuat oleh masyarakat mengatasi masalah ini. Akan tetapi, suatu hal yang teramat terpenting sebelum melakukan aksi adalah menumbuhkan rasa kepedulian. Sebab, jika tidak ada yang peduli, maka persolan ini akan tetap seperti itu juga sepanjang masanya. Akibatnya, bangsa ini akan terus merugi karena SDM-SDM berkualitasnya terpaksa harus “gulung tikar” dari dunia pendidikannya karena “dilemahkan” oleh faktor ekonomi. Hal ini berbanding terbalik dengan SDM di negara lain yang terus dipacu kualitasnya. Bila ini tidak dipedulikan, bukan tidak mungkin suatu saat bangsa kita akan menjadi “budak” bagi negara lain. Sekarang saja “ekspor” kita yang tersukses adalah TKW untuk menjadi PRT.
Satu hal lagi yang perlu dikawatirkan adalah adanya program dari negara-negara asing untuk menyekolahkan anak-anak cerdas dari Indonesia yang kurang mampu. Mereka tidak hanya disekolahkan, tetapi juga diberi fasilitas mewah. Pada akhirnya mereka akan menjadi “hebat” di negara orang. Bukan tidak mungkin pula suatu saat sebagai upaya balas budi, mereka “menjual” Indonesia kepada negara penyantunnya.
Jika kita peduli, maka yang dapat dilakukan misalnya adalah membentuk lembaga khusus penyantun anak-anak cerdas yang miskin itu. Lembaga tersebut mengkoordir bantuan dari orang-orang yang dianggap mampu dan peduli. Lalu lembaga ini menyalurkannya kepada para siswa miskin yang telah di data berupa beasiswa atau sejenisnya. Mungkin selama ini telah ada BAZ atau BAZIZ yang melakukan ini, tetapi pekerjaan BAZ atau BAZIZ lebih bersifat umum (melayani kaum duafa), sehingga untuk melayani atau membantu siswa kurang mampu secara khusus perlu lembaga dimaksud.
Itu satu cara, cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan pengalihan alokasi dana pembangunan fisik mesjid kepada pembangunan jemaahnya melalui pendidikan dan yang lainnya secara relevan. Dalam hal ini, bisa dibayangkan berapa jumlah mesjid yang ada di negeri ini, lalu dari jumlah yang sebanyak itu, berapa dana yang beredar yang dipakai untuk pembangunan fisik mesjid. Konon, malah ada mesjid yang harga gubahnya saja mencapai 1,5 Miliyar. Jika dana-dana itu dialihkan atau minimal diperdua untuk membangun masyarakat pengisi mesjid-mesjid itu, yang salah satunya melalui pendidikan siswa-siswi kurang mampu, maka berkemungkinan tidak akan ada lagi anak-anak miskin nan cerdas yang harus pusing tujuh keliling memikirkan bagaimana ia mencari biaya untuk melanjutkan studinya.
Selama ini di berbagai daerah orang berlomba untuk memperindah mesjid mereka. Lantai dan dinding dilapisi keramik yang berkilat-kilat bila disinari. Sudah berkeramik sebagus itu, masih ditambah lagi dengan karpet permadani yang mahal-mahal. Padahal kenyataan ketika sholat berjemaah, bagian mesjid yang terpakai tidaklah seluas bangunannya. Inventaris mesjid yang mahal-mahal itu kadang hanya tersimpan di gudang dan dimakan kepuyuk. Keramik-keramik yang melapisi dinding itu memang indah, tetapi sadarkah kita bahwa di balik dinding keramik itu ada anak-anak miskin yang membutuhkan uluran tangan. Jika tidak dibantu, orang lain dari agama lain selalu saja mengincarnya untuk diberi bantuan. Setelah itu secara perlahan-lahan mereka dibawa mengikuti keyakinan si pemberi bantuan itu.
Jadi, untuk sementara “beristirahatlah” membangun fisik mesjid, biarlah mesjid itu seperti yang sudah ada. Tidak perlu bermegah-megah. Justru yang lebih penting adalah membantu orang-orang yang ada di sekitar mesjid itu. Menyekolahkan anak-anak yang patut untuk disekolahkan. Memberi beasiswa bagi mereka yang sedang studi dan sebagainya. Ini perlu dilakukan agar orang-orang seperti Vika Cikita, Tessy Pratama Faradila, Muhammad Rinaldi Putra, Nesia Riska dan masih banyak yang lainnya tidak kehilangan kecerdasannya atau tragisnya “diculik” orang lain dari agama yang lain untuk dididik dengan cara mereka.
Berikutnya, kalau cara yang ditawarkan di atas tidak mempan, mau tidak mau untuk menolong anak-anak miskin dari kehilangan masa depan pendidikannya adalah dengan mengembalikan persoalan ini kepada pemerintah. Sebab fakir miskin dan anak-anak terlantar pada prinsipnya berada di bawah tanggungan negara. Dengan demikian, sistem pendidikan yang mesti dikembangkan adalah sistem pendidikan yang berpihak kepada warga miskin. Tidak seperti yang selama ini terjadi di mana yang bisa mengenyam pendidikan tinggi adalah orang-orang dari keluarga the have. Memang ada program yang membebaskan warga miskin dari beban biaya pendidikan, tetapi mereka yang miskin tetap saja tidak bisa bersekolah dengan aman karena sistem pendidikan telah dikomersilkan. Okelah mereka tidak dikenakan biaya SPP, tetapi biaya-biaya operasional lainnya tetap saja tak sanggup mereka sediakan.
Karena itu pemerintah mesti konsekuen untuk menciptakan pendidikan yang terjangkau keluarga miskin. Bantuan-bantuan pendidikan harus disalurkan secara tepat sasaran. Anak-anak miskin yang pintar-pintar mesti didiperhatikan untuk kemudian diprioritaskan mendapat bantuan. Tahun-tahun selanjutnya kita tidak melihat lagi Vika Cikita, Tessy Pratama Faradila, Muhammad Rinaldi Putra, Nesia Riska dan siswa-siswa lainnya “meratap” dulu untuk bisa kuliah. Walahualam bissawab.
Quo Vadis Uda Uni Sumbar
Oleh Ronidin
Sederet pertanyaan mengedepan mengomentari iven Uda-Uni Sumbar. Para Uda-Uni yang dikonteskan itu sebenarnya mewakili siapa? Pantaskah disebut mewakili Sumatera Barat atau setidaknya sebagai duta wisata Sumatera Barat? Apa perlu dunia parawisata itu pakai duta? Hebor-heboh yang terdengar, Uda Uni tidak hanya berfungsi sebagai duta, namun juga sebagai penyambut tamu kalau ada pejabat yang datang. Entahlah, yang jelas iven Uda Uni itu berwujud dan katanya yang terpilih sebagai Uda Uni itu adalah putra putri terbaik daerah ini (?)
Lalu, kalau dia memang putra-putri yang terbaik,: dari segi apa diukur? Pengetahuankah, keterampilankah, kepribadiankah, sikapkah, agamakah atau apalagi? Okelah dari semua komponen itu. Akan tetapi jika kita kembali kepertanyaan Uda Uni mewakili siapa, maka jika disebut mewakili (duta) wisata Sumatera Barat berarti juga bisa disebut mewakili suku Minangkabau. Kalau mewakili (mendutai) wisata Minangkabau, muncul lagi pertanyaan lain: adakah Uda Uni itu—sesuai namanya—memiliki ciri khas atau karakteristik seorang uda dan uni Minangkabau? Adakah mereka dapat menjiwai kepribadian pemuda Minangkabau? Kalau itu terlalu ideal, adakah mereka mengetahui dan punya skill masalah-masalah keminangkabauan.
Suatu yang pasti, mereka tentu tidak dari kalangan tak terdidik. Itu jelas. Ilmu dan kecakapan mereka membawakan diri tentu tidak diragukan lagi. Mereka kalau bukan mahasiswa, pasti mantan mahasiswa. Setidak-tidaknya mereka pernah mengecap pendidikan formal yang telah membentuk mereka menjadi pemuda yang memiliki wawasan serta pengetahuan.
Justru yang meragukan adalah soalan-soalan yang berhubungan dekat dengan keseharian mereka. Soalan-soalan itu mungkin saja bagi mereka adalah hal-hal yang kecil dan spele, akan tetapi bagi masyarakat yang mereka dutai merupakan suatu hal penting. Itulah kebudayaan mereka. Nah, tatkala Uda Uni mewakili atau mendutai (wisata) Minangkabau, adakah mereka, para Uda Uni itu mampu memahami, menjiwai, dan (tentu saja) melaksanakan wujud-wujud kebudayaan masyarakat yang mereka wakili? Paling tidak pada tingkat yang mampu mereka lakukan.
Ini mungkin terkesan konyol, namun sangat penting. Bagaimana jadinya jika seorang yang akan mewakili “sesuatu” tidak memahami secara utuh apa yang diwakilinya. Dengan kata lain, tidak mungkin mewakili sesuatu yang hanya dipahami secara setengah-tengah atau pada taraf ilmunya saja tanpa bisa mempraktikkannya dalam kehidupan mereka. Jadi, Uda Uni mesti terampil ketika mereka mengikuti kontes/lomba dan terampil pula dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Bagi Uda misalnya, adakah ia memiliki ilmu bersilat—baik bersilat sebagai ilmu bela diri maupun “bersilat lidah” (dalam pengertian yang positif) sebagai seorang juru penerang, orator, jago lobi dan sebagainya. Adakah Uda itu bisa mengaji/membaca Al quran, bisa melafazkan bacaan sholat dengan benar, bisa menyelenggarakan jenazah (memandikan mengafani, dan menyolatkan), bisa azan dan khotbah Jumat. Adakah Uda itu bisa berteka-teki tradisional, bisa meniup/memainkan saluang, talempong, bansi dan alat-alat musik minang lainnya, bisakah Uda itu melakukan beberapa permainan rakyat; mengerti dengan sepak tekong, tokok lele, sepak rago, dsb. Adakah Uda itu bisa memasang umpan untuk memancing belut, atau berlari di sepanjang pematang sawah tanpa terjatuh. Adakah Uda yang gagah-gagah itu bisa meneteng piring/ menghidangkan makanan sepanjang tangannya seperti layaknya seorang pelayan rumah makan Padang. Entahlah.
Begitu pula Uni: adakah ia bisa memasak dengan baik; bisa membuat randang, kalio, samba lado tanak, onde-onde, bubua cande, nasi lamak, lemang dsb. Adakah Uni itu bisa membedakan mana yang bumbu jahe, lengkuas, serai, atau kunyit. Adakah Uni itu bisa manampi beras dengan niru. Adakah Uni itu bisa manumbok pakaian yang robek. Adakah Uni yang cantik-cantik itu bisa menggiling cabe di atas batu lado tanpa tangannya kepedasan, bisa mengukur kelapa dengan kukuran, dan bisa membawa air dengan ember di atas kepalanya tanpa dipegang. Entahlah.
Baiklah, hal-hal yang disebutkan itu memang terkesan spele dan tradisional sekali. Akan tetapi bagi masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau) hari ini, hal itu masih tetap penting dan dikedepankan karena merupakan identitas budayanya. Sebagai contoh misalnya, di kampung-kampung masih berlaku sebuah kebiasaan, jika orang ingin mencari menantu, maka salah satu yang akan menjadi pertimbangan adalah persoalan pandai tidaknya seorang anak gadis memasak.
Okelah para Uda Uni itu tinggal di kota dan tidak lagi kenal dengan kebiasaan-kebiasaan yang tradisional itu, lalu kalau ada tamu dari daerah lain atau tamu mancanegara yang menginginkan belajar yang tradisonal itu, apa yang dapat dilakukan oleh para duta wisata, ya, uda Uni itu.
Jadi, memperkenalkan parawisata Sumatera Barat --kalau ia memang perlu diduta-dutai-- kiranya penting pula memperkenalkan nilai-nilai tradisional atau budaya yang sudah mengakar kuat itu seperti yang disebutkan tadi. Maka, keterampilan tentang hal itu mencerminkan sebuah identitas yang mau tidak mau harus dimiliki bagi siapa saja yang ingin memperkenalkan wisata (budaya) Minangkabau.
Dalam konteks inilah kiranya diharapkan Uda Uni mampu memperkaya dirinya. Namun, apakah mereka seperti yang diharapkan itu? Suatu yang diragukan dari mereka adalah kompetensi terhadap yang tradisional-tradisional dan spele itu. Saya berani mengatakan bahwa jika diuji tentang “keterampilan tradisonal” yang merupakan ciri khas urang Minangkabau seperti disebutkan, maka hanya satu dua yang memilikinya. Banyak anak muda Minang hari ini (termasuk Uda Uni itu) yang tidak lagi bisa mengaji, tidak bisa menjadi iman sholat berjemaah, tidak punya keterampilan menyelenggarakan jenazah, tidak bisa menjadi khatib Jumat, tidak bisa memasak, tidak kenal dengan bumbu-bumbu dapur dan sebagainya.
Kalau tidak percaya, tanyakanlah kepada Pak Wako Padang (Drs. Fauzi Bahar, M. Si) ketika Pemko mengadakan lomba malamang; kenapa peserta lomba malamang di Pantai Padang baru-baru ini tidak ada yang diikuti oleh anak muda. Maka jawabannya (kira-kira saya) karena anak muda itu sudah tidak mengerti lagi bagaimana membuat lemang tersebut, berapa takaran santan dan pulutnya, berapa lama harus dipanggang dan sebagainya. Kalau saja Uda Uni itu diajak untuk mengikuti lomba membuat lemang: mampukah mereka? Entahlah.
Nah, kalau keterampilan itu tidak dimiliki, masihkah sesuatu yang elegan bila Uda Uni itu dinobatkan sebagai duta wisata (budaya) Sumatera Barat? Belum lagi kalau kita bicara dari aspek yang lain yang selama ini diprokontrakan.
Sederet pertanyaan mengedepan mengomentari iven Uda-Uni Sumbar. Para Uda-Uni yang dikonteskan itu sebenarnya mewakili siapa? Pantaskah disebut mewakili Sumatera Barat atau setidaknya sebagai duta wisata Sumatera Barat? Apa perlu dunia parawisata itu pakai duta? Hebor-heboh yang terdengar, Uda Uni tidak hanya berfungsi sebagai duta, namun juga sebagai penyambut tamu kalau ada pejabat yang datang. Entahlah, yang jelas iven Uda Uni itu berwujud dan katanya yang terpilih sebagai Uda Uni itu adalah putra putri terbaik daerah ini (?)
Lalu, kalau dia memang putra-putri yang terbaik,: dari segi apa diukur? Pengetahuankah, keterampilankah, kepribadiankah, sikapkah, agamakah atau apalagi? Okelah dari semua komponen itu. Akan tetapi jika kita kembali kepertanyaan Uda Uni mewakili siapa, maka jika disebut mewakili (duta) wisata Sumatera Barat berarti juga bisa disebut mewakili suku Minangkabau. Kalau mewakili (mendutai) wisata Minangkabau, muncul lagi pertanyaan lain: adakah Uda Uni itu—sesuai namanya—memiliki ciri khas atau karakteristik seorang uda dan uni Minangkabau? Adakah mereka dapat menjiwai kepribadian pemuda Minangkabau? Kalau itu terlalu ideal, adakah mereka mengetahui dan punya skill masalah-masalah keminangkabauan.
Suatu yang pasti, mereka tentu tidak dari kalangan tak terdidik. Itu jelas. Ilmu dan kecakapan mereka membawakan diri tentu tidak diragukan lagi. Mereka kalau bukan mahasiswa, pasti mantan mahasiswa. Setidak-tidaknya mereka pernah mengecap pendidikan formal yang telah membentuk mereka menjadi pemuda yang memiliki wawasan serta pengetahuan.
Justru yang meragukan adalah soalan-soalan yang berhubungan dekat dengan keseharian mereka. Soalan-soalan itu mungkin saja bagi mereka adalah hal-hal yang kecil dan spele, akan tetapi bagi masyarakat yang mereka dutai merupakan suatu hal penting. Itulah kebudayaan mereka. Nah, tatkala Uda Uni mewakili atau mendutai (wisata) Minangkabau, adakah mereka, para Uda Uni itu mampu memahami, menjiwai, dan (tentu saja) melaksanakan wujud-wujud kebudayaan masyarakat yang mereka wakili? Paling tidak pada tingkat yang mampu mereka lakukan.
Ini mungkin terkesan konyol, namun sangat penting. Bagaimana jadinya jika seorang yang akan mewakili “sesuatu” tidak memahami secara utuh apa yang diwakilinya. Dengan kata lain, tidak mungkin mewakili sesuatu yang hanya dipahami secara setengah-tengah atau pada taraf ilmunya saja tanpa bisa mempraktikkannya dalam kehidupan mereka. Jadi, Uda Uni mesti terampil ketika mereka mengikuti kontes/lomba dan terampil pula dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Bagi Uda misalnya, adakah ia memiliki ilmu bersilat—baik bersilat sebagai ilmu bela diri maupun “bersilat lidah” (dalam pengertian yang positif) sebagai seorang juru penerang, orator, jago lobi dan sebagainya. Adakah Uda itu bisa mengaji/membaca Al quran, bisa melafazkan bacaan sholat dengan benar, bisa menyelenggarakan jenazah (memandikan mengafani, dan menyolatkan), bisa azan dan khotbah Jumat. Adakah Uda itu bisa berteka-teki tradisional, bisa meniup/memainkan saluang, talempong, bansi dan alat-alat musik minang lainnya, bisakah Uda itu melakukan beberapa permainan rakyat; mengerti dengan sepak tekong, tokok lele, sepak rago, dsb. Adakah Uda itu bisa memasang umpan untuk memancing belut, atau berlari di sepanjang pematang sawah tanpa terjatuh. Adakah Uda yang gagah-gagah itu bisa meneteng piring/ menghidangkan makanan sepanjang tangannya seperti layaknya seorang pelayan rumah makan Padang. Entahlah.
Begitu pula Uni: adakah ia bisa memasak dengan baik; bisa membuat randang, kalio, samba lado tanak, onde-onde, bubua cande, nasi lamak, lemang dsb. Adakah Uni itu bisa membedakan mana yang bumbu jahe, lengkuas, serai, atau kunyit. Adakah Uni itu bisa manampi beras dengan niru. Adakah Uni itu bisa manumbok pakaian yang robek. Adakah Uni yang cantik-cantik itu bisa menggiling cabe di atas batu lado tanpa tangannya kepedasan, bisa mengukur kelapa dengan kukuran, dan bisa membawa air dengan ember di atas kepalanya tanpa dipegang. Entahlah.
Baiklah, hal-hal yang disebutkan itu memang terkesan spele dan tradisional sekali. Akan tetapi bagi masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau) hari ini, hal itu masih tetap penting dan dikedepankan karena merupakan identitas budayanya. Sebagai contoh misalnya, di kampung-kampung masih berlaku sebuah kebiasaan, jika orang ingin mencari menantu, maka salah satu yang akan menjadi pertimbangan adalah persoalan pandai tidaknya seorang anak gadis memasak.
Okelah para Uda Uni itu tinggal di kota dan tidak lagi kenal dengan kebiasaan-kebiasaan yang tradisional itu, lalu kalau ada tamu dari daerah lain atau tamu mancanegara yang menginginkan belajar yang tradisonal itu, apa yang dapat dilakukan oleh para duta wisata, ya, uda Uni itu.
Jadi, memperkenalkan parawisata Sumatera Barat --kalau ia memang perlu diduta-dutai-- kiranya penting pula memperkenalkan nilai-nilai tradisional atau budaya yang sudah mengakar kuat itu seperti yang disebutkan tadi. Maka, keterampilan tentang hal itu mencerminkan sebuah identitas yang mau tidak mau harus dimiliki bagi siapa saja yang ingin memperkenalkan wisata (budaya) Minangkabau.
Dalam konteks inilah kiranya diharapkan Uda Uni mampu memperkaya dirinya. Namun, apakah mereka seperti yang diharapkan itu? Suatu yang diragukan dari mereka adalah kompetensi terhadap yang tradisional-tradisional dan spele itu. Saya berani mengatakan bahwa jika diuji tentang “keterampilan tradisonal” yang merupakan ciri khas urang Minangkabau seperti disebutkan, maka hanya satu dua yang memilikinya. Banyak anak muda Minang hari ini (termasuk Uda Uni itu) yang tidak lagi bisa mengaji, tidak bisa menjadi iman sholat berjemaah, tidak punya keterampilan menyelenggarakan jenazah, tidak bisa menjadi khatib Jumat, tidak bisa memasak, tidak kenal dengan bumbu-bumbu dapur dan sebagainya.
Kalau tidak percaya, tanyakanlah kepada Pak Wako Padang (Drs. Fauzi Bahar, M. Si) ketika Pemko mengadakan lomba malamang; kenapa peserta lomba malamang di Pantai Padang baru-baru ini tidak ada yang diikuti oleh anak muda. Maka jawabannya (kira-kira saya) karena anak muda itu sudah tidak mengerti lagi bagaimana membuat lemang tersebut, berapa takaran santan dan pulutnya, berapa lama harus dipanggang dan sebagainya. Kalau saja Uda Uni itu diajak untuk mengikuti lomba membuat lemang: mampukah mereka? Entahlah.
Nah, kalau keterampilan itu tidak dimiliki, masihkah sesuatu yang elegan bila Uda Uni itu dinobatkan sebagai duta wisata (budaya) Sumatera Barat? Belum lagi kalau kita bicara dari aspek yang lain yang selama ini diprokontrakan.
FIKSI DAN NONFIKSI: BERMULA DARI IDE
Oleh Ronidin
ada daun jatuh
tulis
ada rumput menghijau
tulis
ada tanah terbakar
tulis
ada anak pipit terjatuh dari sarangnya
tulis
(Saut Sitompul)
Menulis fiksi dan nonfiksi itu mudah dan dapat dilakukan siapa saja. Seperti puisi di atas, apa pun dapat ditulis. Tidak perlu mesti menulis yang rumit-rumit, duan, rumput, tanah, burung pipit pun dapat ditulis. Saya maunya menulis dalam bentuk fiksi, ya tulis sesuatu itu menjadi fiksi; lalu yang mau menulis dalam bentuk nonfiksi, lakukan itu. Gampang kan?
Fiksi dan non fiksi sama-sama berasal dari kenyataan. Bedanya, fiksi kenyataan yang disajikan dengan bungkusan imajinasi, sedangkan nonfiksi kenyataan yang dituliskan dengan cara bertutur yang sistematis didukung oleh referen tertentu.
Lalu, bagian mana yang penting: membicarakan fiksi dan nonfiksinya atau membicarakan cara/teknik melakukannya? Dua-duanya penting, tetapi untuk kondisi tertentu, membicarakan cara/teknik menulis dianggap lebih penting.
Pengalaman mengatakan, banyak calon penulis yang berkeinginan menjadi penulis bertanya-tanya cara menulis yang praktis. Sebelum menjawab soalan ini, ada sesuatu yang perlu disadari bahwa untuk menjadi penulis dan menulis itu sendiri gampang, tetapi tidak segampang membalik telapak tangan. Seperti tadi, menulis menjadi sesuatu yang gampang karena kita bisa menulis apa saja tanpa harus berkeringat-keringat, tanpa harus ada orang yang mendikte-dikte. Kita cukup menuangkan apa yang ada dalam pikiran kita, apa yang berkelindan di sekitar kita, apa yang pernah kita alami, apa yang pernah kita rasakan, apa yang kita impikan, lalu membungkusnya dengan bahasa yang bagus, baik dan benar.
Lalu, menulis itu tidak semudah mebalik telapak tangan karena ia butuh proses yang panjang dan kontinyu. Menulis bukan pekerjaan orang-orang yang malas, enggan berpikir dan emoh membaca. Menulis merupakan keterampilan praktis yang setiap saat harus diasah. Bukti menulis itu susah, tidak semua orang mampu untuk menjadi penulis. Bahkan ada profesor di universitas terkenal tidak mampu menulis dengan baik.
Lalu, dari mana kita harus mulai menulis? Jawabannya bisa dari mana saja. Puisi di atas menunjukkan bahwa Maksudnya, menulis itu tidak terikat dengan waktu dan tempat. Kita bisa menulis kapan saja dan di mana saja: di mobil, di kereta, di pesawat, di kampus, di sekolah dan di mana pun. Ketika ada ide, jangan di simpan-simpan. Catat dulu ide-ide itu, lalu kembangkan secepatnya. Biasanya, ide yang disimpan akan hilang begitu saja. Ide yang ada sejam yang lalu belum tentu akan dapat kita ingat pada saat ini. Untuk itu, seorang penulis kemana pun harus membawa pulpen dan kertas (sekarang laptop). Kalau sering ada ide di kamar mandi, taruh white bord di sana.
Ide ada di mana-mana. Bertebaran disana-sini. Tinggal tugas kita memungutinya. Memilah-milah untuk diklasifikasikan sesuai jenisnya. Lantas mengolahnya sebagaimana koki mengolah bahan-bahan masakannya. Supaya sedap, beri ia bumbu selengkapnya. Ketika menulis, jangan mensekat-sekat ide. Ide ini tidak boleh dan ide ini boleh. Ide apa pun dapat kita tuliskan. Syaratnya kita harus memiliki ilmu atau referensi tentang ide itu. Jangan mencari ide yang jauh-jauh yang tidak kita ketahui. Sekali lagi, di sekitar kita saja ide sudah melimpah. Misalnya, seokor kucing atau apa pun bisa menjadi sumber ide. Kenapa kucing warna begitu? Kenapa matanya tajam dan bercahaya bila disenter? Bagaimana kalau kucing itu sebesar harimau? Bagaimana kalau kucing pipis di sofa? Atau ide yang lebih nyentrik: bagaimana kalau kucing berkelahi dengan maling ketika mereka hendak mencuri rumah tuannya.
Tentu saja masih banyak ide yang lain, yang mungkin jarang kita pikirkan. Umpamanya berapa jumlah bulu ayam yang melekat di seluruh badannya barangkali? Atau tentang Malin Kundang yang durhaka yang bisa saja kita balikkan menjadi ibunya yang durhaka karena telah menyia-nyiakan anaknya. Bisa pula ide tentang jalan yang berlobang-lobang di lingkungan tempat kita masing-masing. Ide tentang SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi), maupun kekerasan di IPDN. Tentang orang-orang yang telah sekian banyak mengkonsumsi formalin. Tentang kekerasan terhadap perempuan, anak dan penjualan bayi (trafficking). Tentang narkoba dan dampaknya di kalangan generasi muda. Tentang cinta dan pacaran. Tentang ini dan itu dalam dunia muda-mudi. Tentang bencana alam, busung lapar, kelaparan dan sebagainya.
Nah, kalau ide sudah ada, bagaimana kita mengolahnya? Ops... mudah kok. Mengolah ide sama artinya dengan mengembangkan ide itu menjadi lebih luas. Mula-mula mencoba mengembangkan ide itu secara umum. Semua hal yang berkaitan dengan ide itu kita catat –makanya bagi penulis pemula dianjurkan untuk membuat outline atau kerangka karangan—tanpa ada yang tertinggal. Setelah semuanya kita catat, lalu kita pilih skala prioritasnya. Soalan-soalan yang lebih dekat dan dianggap penting dari perincian ide yang telah kita buat itu, kita urutkan di bagian awal atau kita jadikan sebagai gagasan pokok. Sedangkan yang lebih rendah kedudukannya kita tempatkan sebagai gagasan bawahan yang nantinya berfungsi untuk menjelaskan gagasan pokok. Soalan yang tidak perlu atau jauh hubungannya dengan ide dapat kita buang (delete). Rumusan yang dapat kita pakai dalam hal ini adalah seperti ketika kita mencari KPK dan FPB dengan akar bilangan atau pohon faktor. Bisa pula dengan rumusan pohon beneran yang tentunya terdiri dari batang sebagai keseluruhan (ide/gagasan awal) cabang (sebagai perincian, gagasan pokok), ranting (gagasan bawahan) dan daun serta tulang-tulangnya (gagasan tambahan).
Sebagai pertimbangan, ada baiknya kita perhatikan contoh berikut: Ide yang telah kita dapatkan dan ingin kita tuliskan adalah fenomena tarkam (tawuran antar kampung) dalam masyarakat Minangkabau. Maka, yang pertama kita lakukan adalah mencatat semua hal yang berkaitan dengan ide ini. Umpamanya tentang kesehariam masyarakat Minangkabau yang tenang, damai dan egaliter. Lalu ada suntikan pengaruh budaya asing yang masuk ke masyarakat Minangkabau melalui berbagai media. Akibatnya masyarakat Minang menjadi berubah. Kriminalitas meningkat. Semangat egaliterisme menurun. Masyarakat menjadi cendrung provokatif dan bar-bar. Terjadilah berbagai tindak penyimpangan seperti tawuran antar desa/kampung/nagari, tawuran antar kampus, tawuran antar preman dan sebagainya. Tawuran ini melibatkan anggota masyarakat yang kadang-kadang masih berhubungan famili atau berkarib kerabat. Tak ayal, peristiwa ini akan membawa banyak masalah maupun kerugian. Ada kerugian material seperti pembakaran rumah, sekolah maupun fasilitas-fasilitas umum lainnya. Ada pula kerugian moril seperti rusaknya hubungan kekerabatan yang selama ini berjalan akur.
Nah, hal-hal yang tersebut di atas kita catat semuanya. Lalu kita pilah-pilah (klasifikasikan) sesuai dengan kedudukannya. Nantinya kita akan menemukan kerangka dari ide tersebut berupa latar belakang permasalahan yang didukung oleh apa yang telah kita perincikan. Lainnya kita mendapatkan pula pokok persoalan tentang tawuran dalam masyarakat Minangkabau: bagaimana prosesnya terjadi, apa latar belakangnya, melibatkan siapa, dan seterusnya. Dapat pula kita rumuskan akibat dari tawuran itu serta bagaimana cara mengatasi atau mencegahnya. Demikian pula persoalan-persoalan yang kita perinci tetapi hanya sedikit memiliki hubungan dengan ide utama dapat dihilangkan, misalnya tentang sejarah masyarakat Minangkabau yang begini dan begitu. Setelah semuanya lengkap tersusun, kita baru bisa mulai menuliskannya.
Begitulah kira-kira kita mengolah ide. Bagi penulis pemula cara seperti ini akan amat membantu. Tetapi bagi penulis senior, dia akan langsung menuliskannya karena dalam pikirannya sudah terplot ide-ide tersebut secara sistematis. Untuk menjadi yang demikian perlu latihan yang panjang dan terus menerus. Selamat mencoba!
ada daun jatuh
tulis
ada rumput menghijau
tulis
ada tanah terbakar
tulis
ada anak pipit terjatuh dari sarangnya
tulis
(Saut Sitompul)
Menulis fiksi dan nonfiksi itu mudah dan dapat dilakukan siapa saja. Seperti puisi di atas, apa pun dapat ditulis. Tidak perlu mesti menulis yang rumit-rumit, duan, rumput, tanah, burung pipit pun dapat ditulis. Saya maunya menulis dalam bentuk fiksi, ya tulis sesuatu itu menjadi fiksi; lalu yang mau menulis dalam bentuk nonfiksi, lakukan itu. Gampang kan?
Fiksi dan non fiksi sama-sama berasal dari kenyataan. Bedanya, fiksi kenyataan yang disajikan dengan bungkusan imajinasi, sedangkan nonfiksi kenyataan yang dituliskan dengan cara bertutur yang sistematis didukung oleh referen tertentu.
Lalu, bagian mana yang penting: membicarakan fiksi dan nonfiksinya atau membicarakan cara/teknik melakukannya? Dua-duanya penting, tetapi untuk kondisi tertentu, membicarakan cara/teknik menulis dianggap lebih penting.
Pengalaman mengatakan, banyak calon penulis yang berkeinginan menjadi penulis bertanya-tanya cara menulis yang praktis. Sebelum menjawab soalan ini, ada sesuatu yang perlu disadari bahwa untuk menjadi penulis dan menulis itu sendiri gampang, tetapi tidak segampang membalik telapak tangan. Seperti tadi, menulis menjadi sesuatu yang gampang karena kita bisa menulis apa saja tanpa harus berkeringat-keringat, tanpa harus ada orang yang mendikte-dikte. Kita cukup menuangkan apa yang ada dalam pikiran kita, apa yang berkelindan di sekitar kita, apa yang pernah kita alami, apa yang pernah kita rasakan, apa yang kita impikan, lalu membungkusnya dengan bahasa yang bagus, baik dan benar.
Lalu, menulis itu tidak semudah mebalik telapak tangan karena ia butuh proses yang panjang dan kontinyu. Menulis bukan pekerjaan orang-orang yang malas, enggan berpikir dan emoh membaca. Menulis merupakan keterampilan praktis yang setiap saat harus diasah. Bukti menulis itu susah, tidak semua orang mampu untuk menjadi penulis. Bahkan ada profesor di universitas terkenal tidak mampu menulis dengan baik.
Lalu, dari mana kita harus mulai menulis? Jawabannya bisa dari mana saja. Puisi di atas menunjukkan bahwa Maksudnya, menulis itu tidak terikat dengan waktu dan tempat. Kita bisa menulis kapan saja dan di mana saja: di mobil, di kereta, di pesawat, di kampus, di sekolah dan di mana pun. Ketika ada ide, jangan di simpan-simpan. Catat dulu ide-ide itu, lalu kembangkan secepatnya. Biasanya, ide yang disimpan akan hilang begitu saja. Ide yang ada sejam yang lalu belum tentu akan dapat kita ingat pada saat ini. Untuk itu, seorang penulis kemana pun harus membawa pulpen dan kertas (sekarang laptop). Kalau sering ada ide di kamar mandi, taruh white bord di sana.
Ide ada di mana-mana. Bertebaran disana-sini. Tinggal tugas kita memungutinya. Memilah-milah untuk diklasifikasikan sesuai jenisnya. Lantas mengolahnya sebagaimana koki mengolah bahan-bahan masakannya. Supaya sedap, beri ia bumbu selengkapnya. Ketika menulis, jangan mensekat-sekat ide. Ide ini tidak boleh dan ide ini boleh. Ide apa pun dapat kita tuliskan. Syaratnya kita harus memiliki ilmu atau referensi tentang ide itu. Jangan mencari ide yang jauh-jauh yang tidak kita ketahui. Sekali lagi, di sekitar kita saja ide sudah melimpah. Misalnya, seokor kucing atau apa pun bisa menjadi sumber ide. Kenapa kucing warna begitu? Kenapa matanya tajam dan bercahaya bila disenter? Bagaimana kalau kucing itu sebesar harimau? Bagaimana kalau kucing pipis di sofa? Atau ide yang lebih nyentrik: bagaimana kalau kucing berkelahi dengan maling ketika mereka hendak mencuri rumah tuannya.
Tentu saja masih banyak ide yang lain, yang mungkin jarang kita pikirkan. Umpamanya berapa jumlah bulu ayam yang melekat di seluruh badannya barangkali? Atau tentang Malin Kundang yang durhaka yang bisa saja kita balikkan menjadi ibunya yang durhaka karena telah menyia-nyiakan anaknya. Bisa pula ide tentang jalan yang berlobang-lobang di lingkungan tempat kita masing-masing. Ide tentang SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi), maupun kekerasan di IPDN. Tentang orang-orang yang telah sekian banyak mengkonsumsi formalin. Tentang kekerasan terhadap perempuan, anak dan penjualan bayi (trafficking). Tentang narkoba dan dampaknya di kalangan generasi muda. Tentang cinta dan pacaran. Tentang ini dan itu dalam dunia muda-mudi. Tentang bencana alam, busung lapar, kelaparan dan sebagainya.
Nah, kalau ide sudah ada, bagaimana kita mengolahnya? Ops... mudah kok. Mengolah ide sama artinya dengan mengembangkan ide itu menjadi lebih luas. Mula-mula mencoba mengembangkan ide itu secara umum. Semua hal yang berkaitan dengan ide itu kita catat –makanya bagi penulis pemula dianjurkan untuk membuat outline atau kerangka karangan—tanpa ada yang tertinggal. Setelah semuanya kita catat, lalu kita pilih skala prioritasnya. Soalan-soalan yang lebih dekat dan dianggap penting dari perincian ide yang telah kita buat itu, kita urutkan di bagian awal atau kita jadikan sebagai gagasan pokok. Sedangkan yang lebih rendah kedudukannya kita tempatkan sebagai gagasan bawahan yang nantinya berfungsi untuk menjelaskan gagasan pokok. Soalan yang tidak perlu atau jauh hubungannya dengan ide dapat kita buang (delete). Rumusan yang dapat kita pakai dalam hal ini adalah seperti ketika kita mencari KPK dan FPB dengan akar bilangan atau pohon faktor. Bisa pula dengan rumusan pohon beneran yang tentunya terdiri dari batang sebagai keseluruhan (ide/gagasan awal) cabang (sebagai perincian, gagasan pokok), ranting (gagasan bawahan) dan daun serta tulang-tulangnya (gagasan tambahan).
Sebagai pertimbangan, ada baiknya kita perhatikan contoh berikut: Ide yang telah kita dapatkan dan ingin kita tuliskan adalah fenomena tarkam (tawuran antar kampung) dalam masyarakat Minangkabau. Maka, yang pertama kita lakukan adalah mencatat semua hal yang berkaitan dengan ide ini. Umpamanya tentang kesehariam masyarakat Minangkabau yang tenang, damai dan egaliter. Lalu ada suntikan pengaruh budaya asing yang masuk ke masyarakat Minangkabau melalui berbagai media. Akibatnya masyarakat Minang menjadi berubah. Kriminalitas meningkat. Semangat egaliterisme menurun. Masyarakat menjadi cendrung provokatif dan bar-bar. Terjadilah berbagai tindak penyimpangan seperti tawuran antar desa/kampung/nagari, tawuran antar kampus, tawuran antar preman dan sebagainya. Tawuran ini melibatkan anggota masyarakat yang kadang-kadang masih berhubungan famili atau berkarib kerabat. Tak ayal, peristiwa ini akan membawa banyak masalah maupun kerugian. Ada kerugian material seperti pembakaran rumah, sekolah maupun fasilitas-fasilitas umum lainnya. Ada pula kerugian moril seperti rusaknya hubungan kekerabatan yang selama ini berjalan akur.
Nah, hal-hal yang tersebut di atas kita catat semuanya. Lalu kita pilah-pilah (klasifikasikan) sesuai dengan kedudukannya. Nantinya kita akan menemukan kerangka dari ide tersebut berupa latar belakang permasalahan yang didukung oleh apa yang telah kita perincikan. Lainnya kita mendapatkan pula pokok persoalan tentang tawuran dalam masyarakat Minangkabau: bagaimana prosesnya terjadi, apa latar belakangnya, melibatkan siapa, dan seterusnya. Dapat pula kita rumuskan akibat dari tawuran itu serta bagaimana cara mengatasi atau mencegahnya. Demikian pula persoalan-persoalan yang kita perinci tetapi hanya sedikit memiliki hubungan dengan ide utama dapat dihilangkan, misalnya tentang sejarah masyarakat Minangkabau yang begini dan begitu. Setelah semuanya lengkap tersusun, kita baru bisa mulai menuliskannya.
Begitulah kira-kira kita mengolah ide. Bagi penulis pemula cara seperti ini akan amat membantu. Tetapi bagi penulis senior, dia akan langsung menuliskannya karena dalam pikirannya sudah terplot ide-ide tersebut secara sistematis. Untuk menjadi yang demikian perlu latihan yang panjang dan terus menerus. Selamat mencoba!
Menggagas Kritik Sastra Islami
Oleh: Ronidin
Dosen Fak Sastra Unand
Dalam suatu kesempatan berdiskusi di Fakultas Sastra Universitas Andalas, Maman S. Mahayana mengatakan bahwa selama ini penelaahan tentang sastra Indonesia masih merujuk barat. Teori dan kritik sastra yang ada semua bersumber dari barat. Kang Maman menghendaki kita berhenti merujuk barat. Tetapi, diskusi itu terhenti sampai di sana. Belum ada rumusan yang jelas tentang model atau arah kritik sastra Indonesia ke depan.
Kemana kita harus berpijak?
Sebenarnya terbuka di hadapan khalayak sastra kini kemungkinan untuk melahirkan pendekatan kritik sastra bercorak Islam. Pendekatan dari barat yang selama ini dipakai, semestinya diubahsesuaikan. Kita mesti menyaring atau menyunting aspek-aspek yang berseberangan dengan Islam serta tetap memakai pendekatan yang bersesuaian.
Kenapa begitu?
Rasanya, Dalam sejarah kesustraan, kesustraan Islam tidak bisa diabaikan begitu saja. Belakangan ini pembicaraan tentang sastra Islam menjadi topik yang menarik di mana-mana. Lomba-lomba atau sayembara sastra islami semakin marak diadakan. Ini pertanda bahwa sastra islami itu memang ada dan (tentunya) diminati.
Karena itu, kiranya perlu dirumuskan kritikan islami pula untuk menelaah karya-karya tersebut. Sangat ironis, ketika karya sastra yang berunsur islami ditelaah dengan pendekatan yang tidak berasal dari negeri Islam (baca: barat). Dalam kajian psikologis misalnya, teori kejiwaan Freud dapat digantikan dengan teori-teori Islam tentang kejiwaan. Jika memakai pendekatan sosiologis, falsafah determinisme atau marxisme dapat digantikan dengan pendekatan kemasyarakatan dan muamalat dalam Islam.
Usaha ini tentunya tidak mudah. Menciptakan model kritik sastra islami di tengah kuatnya eksistensi teori sastra barat, jelasnya akan menghadapi berbagai rintangan. Rintangan utama yang menghadang di depan mata tentunya adalah kesiapan kritikus Islam untuk memformulasikan model kritik sastra islami yang dikehendaki dengan model yang sudah ada. Hal ini tentunya harus ditopang oleh pengetahuan, bukan hanya pengetahuan keislaman tetapi juga pengetahuan berkesenian atau kesusastraan serta pengetahuan ilmu kemasyarakatan (sosiologi).
Selain itu, kritikus sastra Islam juga harus benar-benar berikhtiar untuk memasyarakatkan model ini. Metodologi atau pendekatan yang dapat dirumuskan tentunya setelah dipersesuaikan dengan keberadaan teori sastra zaman ini, dengan penekanan pada sektor aqidah dan akhlak Islam, perlu ditumbuhkembangkan dalam setiap kesempatan yang ada. Sebenarnya, dalam berbagai pembicaraan tentang sastra Islam atau dalam penjurian lomba/sayembara sastra bercorak Islam, pendekatan kritik islami telah dilakukan. Di sana telah dibeberkan (dalam proses penilaian oleh dewan juri) tentang kelebihan dan kekurangan karya tersebut yang tentu saja mempertimbangan unsur-unsur yang melatarbelakanginya baik dari segi instrinsik maupun ekstinsiknya berdasarkan sudut pandang Islam. Kajian struktural (instinsik), sosiologis (ekstinsik), psikologi (ekstinsik), semiotik, stilistika, dan sebagainya telah dipakai untuk menelaah karya-karya sastra di tanah air yang sebagian besarnya bercorak Islam. Tinggal ikhtiar dan kerja keras untuk memasyarakatkan model kritik sastra islami ini lebih lanjut.
Selanjutnya, islamisasi pendekatan kritik sastra juga dapat dilingkupkan pada: (1) studi kepengarangan (kritik ekspresif), (2) pembicaraan tentang karya itu sendiri (kritik objektif), maupun (3) pembicaraan tentang efek karya terhadap pembaca atau masyarakat (kritik pragmatis).
Pertama, yang akan dibicarakan terlebih dahulu adalah keberadaan pengarang. Pengarang sebagai pencipta memiliki peran penting, karena itu tidak bisa dikemudiankan. Dalam hal ini, pengarang harus dipahami sebagai orang yang mencipta untuk kemaslahatan umat. Menyampaikan pesan-pesan moral kemasyarakatan yang tentunya sejalan dengan dakwah Islam. Bukan mencari selain ridha Allah. Tidak popularitas dan tidak pula uang. Uang tentu, tapi tidak menjadi tujuan utama.
Dalam pendekatan ini semua hal yang berseluk beluk dengan pengarang akan diperbincangkan. Latar belakang pengarang misalnya, tentu sangat mempengaruhi karyanya. Karena itu apa yang ditulis pengarang harus mencerminkan sikap dan pandangan hidupnya. Pada level ini, seorang pengarang bukanlah seorang yang munafik, dimana antara karya dan dunianya saling bertolak belakang. Sekali lagi, bukan! Pengarang pada tataran sastra islami menduduki fungsi dan peran yang teramat mulia sebagai pengemban risalah bil qolam. Jadi, penganalisaan aspek kepengarangan ini pada prinsipnya untuk mempertegas keberadan pengarang Islam sebagai orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang universal.
Kedua, berbicara tentang karya, tentunya karya yang akan menjadi objek penelaahan adalah karya-karya yang memang berlatar belakang Islam. Karya -karya yang isinya membawa pesan-pesan keislaman terutama berkaitan dengan akidah dan akhlak, baik yang dinyatakan secara langsung maupun yang melalui simbol atau metafor tertentu. Hakekat dari karya-karya itu tidak keluar dari fungsinya sebagai sarana untuk “mengingatkan” masyarakat akan nilai-nilai ilahiyah yang transenden secara mendalam. Misalnya, bagaimana sebuah karya menyampaikan nilai-nilai kemasyarakatan, syariah, ibadah, muamalah, moral dan sebagainya secara indah dan mengesankan. Jadi, karya-karya itu mestilah dibangun berdasarkan estetika dan logika islami.
Apabila disebut estetika, maksudnya adalah keindahan yang dikonsepsikan dalam Islam. Nilai keindahan itu merupakan perpaduan antara nilai kerohanian, keimanan dan ketakwaan dengan nilai-nilai keintelektualan dan moral. Keindahan akan tercapai apabila tujuan dan aspirasi karya dipandang secara baik, serta menolak yang mungkar dan batil. Pendeknya, keindahan dapat disimpulkan sebagai karya yang memanifestasikan ciri-ciri keimanan, keluhuran, keikhlasan dan sebagainya. Keindahan-keindahan tersebut dapat diekspresikan melalui penggunaan imajinasi dan bahasa yang baik, kuat, tajam, dan sebagainya. Bukan memberikan penghormatan yang lumayan terhadap kebebasan imajinasi yang tidak terbatas, atau yang mementingkan keseronokan tubuh (seks), tetapi ia lebih kepada peningkatan pemikiran dan sifat kemanusiaan itu sendiri.
Lalu, ketika disebut pula logika islami, maka yang dimaksud adalah bagaimana dalam karya itu pusaran isinya dibangun dengan logika yang benar, tidak mengada-ada atau logika kosong yang membodohi. Misalnya seorang yang berwatak jahat, tiba-tiba berubah menjadi alim, rajin beribadah tanpa sebab-musabab yang jelas dan meyakinkan bukanlah logika Islam. Atau penggambaran sesuatu yang tidak berpijak dari alam nyata yang dapat dipertanggungjawabkan (khayalan kosong begitu saja), juga bukan logika dalam Islam. Jadi, dalam hal ini yang terpenting itu adalah bagimana sebuah karya itu dibangun berdasarkan logika yang dapat dicerna oleh akal dan memberi kesan yang dalam. Termasuk pula dalam tataran ini adalah bagaimana karya sastra itu dibangun dengan struktur yang logis dan baik.
Dengan demikian, karya sastra yang memuat pesan-pesan keislaman dengan estetika dan logika yang islami, tentunya akan menarik perhatian para kritikus untuk melakukan pendekatan/kritik secara islami.
Ketiga, kritik sastra islami juga tidak bisa mengabaikan analisis terhadap pembaca: sejauh mana efek karya tersebut terhadap pembaca. Seperti telah dikatakan di atas bahwa karya sastra islami bermaksud untuk memperkuat atau mengukuhkan aqidah dan akhlak Islamiah, maka sejauh mana hal ini terjadi pada diri pembaca setelah ia menikmati karya sastra. Pembicaraan tentang efek ini sangat penting mengingat karya sastra itu sebenarnya tidak hadir dengan kekosongan saja.
Jadi, apakah karya tersebut mengajak pembacanya berbuat baik atau melarang berbuat mungkar? Apakah unsur-unsur kebaikan dapat dimafaatkan untuk mengatasi kejahatan? Atau apakah selesai membaca karya itu, pembaca hanya akan menjadi kasar, brutal atau malah melupakan Tuhannya? Tidak dapat ditolak, aspek kesan seperti ini sangat dekat hubungannya dengan aspirasi dan cita-cita pengarangnya dan sejauh mana semuanya itu dicapai dalam karya sastra.termasuk pula pengukuhan iman dan pembentukan akhlak Islamiah. Karena itu, analisis ini sangat penting dalam melihat kebermaknaan karya sastra ilsmai dalam masyarakat Islam.
Demikianlah, dengan menggunakan model pendekatan kritik sastra Islam seperti disebutkan di atas, sedikit-banyaknya dapat memberi alternatif dalam analisis karya sastra, jika memang kita harus berhenti merujuk barat. Pendekatan ini tentunya harus didukung dan dipopulerkan oleh kritikus sastra yang bukan saja harus memahami sastra secara mendalam, tetapi juga memahami Islam secara kaffah. Wallahualam. (Disarikan dari berbagai sumber, utamanya dari Mana Sikana: Sastra Ta’abudiyah).
Dosen Fak Sastra Unand
Dalam suatu kesempatan berdiskusi di Fakultas Sastra Universitas Andalas, Maman S. Mahayana mengatakan bahwa selama ini penelaahan tentang sastra Indonesia masih merujuk barat. Teori dan kritik sastra yang ada semua bersumber dari barat. Kang Maman menghendaki kita berhenti merujuk barat. Tetapi, diskusi itu terhenti sampai di sana. Belum ada rumusan yang jelas tentang model atau arah kritik sastra Indonesia ke depan.
Kemana kita harus berpijak?
Sebenarnya terbuka di hadapan khalayak sastra kini kemungkinan untuk melahirkan pendekatan kritik sastra bercorak Islam. Pendekatan dari barat yang selama ini dipakai, semestinya diubahsesuaikan. Kita mesti menyaring atau menyunting aspek-aspek yang berseberangan dengan Islam serta tetap memakai pendekatan yang bersesuaian.
Kenapa begitu?
Rasanya, Dalam sejarah kesustraan, kesustraan Islam tidak bisa diabaikan begitu saja. Belakangan ini pembicaraan tentang sastra Islam menjadi topik yang menarik di mana-mana. Lomba-lomba atau sayembara sastra islami semakin marak diadakan. Ini pertanda bahwa sastra islami itu memang ada dan (tentunya) diminati.
Karena itu, kiranya perlu dirumuskan kritikan islami pula untuk menelaah karya-karya tersebut. Sangat ironis, ketika karya sastra yang berunsur islami ditelaah dengan pendekatan yang tidak berasal dari negeri Islam (baca: barat). Dalam kajian psikologis misalnya, teori kejiwaan Freud dapat digantikan dengan teori-teori Islam tentang kejiwaan. Jika memakai pendekatan sosiologis, falsafah determinisme atau marxisme dapat digantikan dengan pendekatan kemasyarakatan dan muamalat dalam Islam.
Usaha ini tentunya tidak mudah. Menciptakan model kritik sastra islami di tengah kuatnya eksistensi teori sastra barat, jelasnya akan menghadapi berbagai rintangan. Rintangan utama yang menghadang di depan mata tentunya adalah kesiapan kritikus Islam untuk memformulasikan model kritik sastra islami yang dikehendaki dengan model yang sudah ada. Hal ini tentunya harus ditopang oleh pengetahuan, bukan hanya pengetahuan keislaman tetapi juga pengetahuan berkesenian atau kesusastraan serta pengetahuan ilmu kemasyarakatan (sosiologi).
Selain itu, kritikus sastra Islam juga harus benar-benar berikhtiar untuk memasyarakatkan model ini. Metodologi atau pendekatan yang dapat dirumuskan tentunya setelah dipersesuaikan dengan keberadaan teori sastra zaman ini, dengan penekanan pada sektor aqidah dan akhlak Islam, perlu ditumbuhkembangkan dalam setiap kesempatan yang ada. Sebenarnya, dalam berbagai pembicaraan tentang sastra Islam atau dalam penjurian lomba/sayembara sastra bercorak Islam, pendekatan kritik islami telah dilakukan. Di sana telah dibeberkan (dalam proses penilaian oleh dewan juri) tentang kelebihan dan kekurangan karya tersebut yang tentu saja mempertimbangan unsur-unsur yang melatarbelakanginya baik dari segi instrinsik maupun ekstinsiknya berdasarkan sudut pandang Islam. Kajian struktural (instinsik), sosiologis (ekstinsik), psikologi (ekstinsik), semiotik, stilistika, dan sebagainya telah dipakai untuk menelaah karya-karya sastra di tanah air yang sebagian besarnya bercorak Islam. Tinggal ikhtiar dan kerja keras untuk memasyarakatkan model kritik sastra islami ini lebih lanjut.
Selanjutnya, islamisasi pendekatan kritik sastra juga dapat dilingkupkan pada: (1) studi kepengarangan (kritik ekspresif), (2) pembicaraan tentang karya itu sendiri (kritik objektif), maupun (3) pembicaraan tentang efek karya terhadap pembaca atau masyarakat (kritik pragmatis).
Pertama, yang akan dibicarakan terlebih dahulu adalah keberadaan pengarang. Pengarang sebagai pencipta memiliki peran penting, karena itu tidak bisa dikemudiankan. Dalam hal ini, pengarang harus dipahami sebagai orang yang mencipta untuk kemaslahatan umat. Menyampaikan pesan-pesan moral kemasyarakatan yang tentunya sejalan dengan dakwah Islam. Bukan mencari selain ridha Allah. Tidak popularitas dan tidak pula uang. Uang tentu, tapi tidak menjadi tujuan utama.
Dalam pendekatan ini semua hal yang berseluk beluk dengan pengarang akan diperbincangkan. Latar belakang pengarang misalnya, tentu sangat mempengaruhi karyanya. Karena itu apa yang ditulis pengarang harus mencerminkan sikap dan pandangan hidupnya. Pada level ini, seorang pengarang bukanlah seorang yang munafik, dimana antara karya dan dunianya saling bertolak belakang. Sekali lagi, bukan! Pengarang pada tataran sastra islami menduduki fungsi dan peran yang teramat mulia sebagai pengemban risalah bil qolam. Jadi, penganalisaan aspek kepengarangan ini pada prinsipnya untuk mempertegas keberadan pengarang Islam sebagai orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang universal.
Kedua, berbicara tentang karya, tentunya karya yang akan menjadi objek penelaahan adalah karya-karya yang memang berlatar belakang Islam. Karya -karya yang isinya membawa pesan-pesan keislaman terutama berkaitan dengan akidah dan akhlak, baik yang dinyatakan secara langsung maupun yang melalui simbol atau metafor tertentu. Hakekat dari karya-karya itu tidak keluar dari fungsinya sebagai sarana untuk “mengingatkan” masyarakat akan nilai-nilai ilahiyah yang transenden secara mendalam. Misalnya, bagaimana sebuah karya menyampaikan nilai-nilai kemasyarakatan, syariah, ibadah, muamalah, moral dan sebagainya secara indah dan mengesankan. Jadi, karya-karya itu mestilah dibangun berdasarkan estetika dan logika islami.
Apabila disebut estetika, maksudnya adalah keindahan yang dikonsepsikan dalam Islam. Nilai keindahan itu merupakan perpaduan antara nilai kerohanian, keimanan dan ketakwaan dengan nilai-nilai keintelektualan dan moral. Keindahan akan tercapai apabila tujuan dan aspirasi karya dipandang secara baik, serta menolak yang mungkar dan batil. Pendeknya, keindahan dapat disimpulkan sebagai karya yang memanifestasikan ciri-ciri keimanan, keluhuran, keikhlasan dan sebagainya. Keindahan-keindahan tersebut dapat diekspresikan melalui penggunaan imajinasi dan bahasa yang baik, kuat, tajam, dan sebagainya. Bukan memberikan penghormatan yang lumayan terhadap kebebasan imajinasi yang tidak terbatas, atau yang mementingkan keseronokan tubuh (seks), tetapi ia lebih kepada peningkatan pemikiran dan sifat kemanusiaan itu sendiri.
Lalu, ketika disebut pula logika islami, maka yang dimaksud adalah bagaimana dalam karya itu pusaran isinya dibangun dengan logika yang benar, tidak mengada-ada atau logika kosong yang membodohi. Misalnya seorang yang berwatak jahat, tiba-tiba berubah menjadi alim, rajin beribadah tanpa sebab-musabab yang jelas dan meyakinkan bukanlah logika Islam. Atau penggambaran sesuatu yang tidak berpijak dari alam nyata yang dapat dipertanggungjawabkan (khayalan kosong begitu saja), juga bukan logika dalam Islam. Jadi, dalam hal ini yang terpenting itu adalah bagimana sebuah karya itu dibangun berdasarkan logika yang dapat dicerna oleh akal dan memberi kesan yang dalam. Termasuk pula dalam tataran ini adalah bagaimana karya sastra itu dibangun dengan struktur yang logis dan baik.
Dengan demikian, karya sastra yang memuat pesan-pesan keislaman dengan estetika dan logika yang islami, tentunya akan menarik perhatian para kritikus untuk melakukan pendekatan/kritik secara islami.
Ketiga, kritik sastra islami juga tidak bisa mengabaikan analisis terhadap pembaca: sejauh mana efek karya tersebut terhadap pembaca. Seperti telah dikatakan di atas bahwa karya sastra islami bermaksud untuk memperkuat atau mengukuhkan aqidah dan akhlak Islamiah, maka sejauh mana hal ini terjadi pada diri pembaca setelah ia menikmati karya sastra. Pembicaraan tentang efek ini sangat penting mengingat karya sastra itu sebenarnya tidak hadir dengan kekosongan saja.
Jadi, apakah karya tersebut mengajak pembacanya berbuat baik atau melarang berbuat mungkar? Apakah unsur-unsur kebaikan dapat dimafaatkan untuk mengatasi kejahatan? Atau apakah selesai membaca karya itu, pembaca hanya akan menjadi kasar, brutal atau malah melupakan Tuhannya? Tidak dapat ditolak, aspek kesan seperti ini sangat dekat hubungannya dengan aspirasi dan cita-cita pengarangnya dan sejauh mana semuanya itu dicapai dalam karya sastra.termasuk pula pengukuhan iman dan pembentukan akhlak Islamiah. Karena itu, analisis ini sangat penting dalam melihat kebermaknaan karya sastra ilsmai dalam masyarakat Islam.
Demikianlah, dengan menggunakan model pendekatan kritik sastra Islam seperti disebutkan di atas, sedikit-banyaknya dapat memberi alternatif dalam analisis karya sastra, jika memang kita harus berhenti merujuk barat. Pendekatan ini tentunya harus didukung dan dipopulerkan oleh kritikus sastra yang bukan saja harus memahami sastra secara mendalam, tetapi juga memahami Islam secara kaffah. Wallahualam. (Disarikan dari berbagai sumber, utamanya dari Mana Sikana: Sastra Ta’abudiyah).
Selasa, 18 Desember 2007
MENULIS CERPEN DENGAN MUDAH
Oleh Ronidin
Dikatakan oleh banyak orang bahwa menulis itu ibarat rumah dengan pintu yang selalu terbuka. Siapa pun orangnya dapat memasuki rumah itu. Tidak terkecuali kamu. Syaratnya kamu harus memiliki motivasi dan tekad untuk melaksanakan motivasi itu. Tidak ada teori yang dapat mengantar seseorang untuk menjadi penulis jika tidak diaplikasikan langsung. Jadi, untuk menjawab pertanyaan bagaimana sebenarnya menjadi seorang penulis itu, maka jawabannya adalah dengan menulis, menulis dan menulis.
Lalu, bagaimana dengan menulis cerpen? Jawabannya sama. Mulailah menuliskannya. Dari mana harus dimulai? Dari dalam rumah yang pintunya selalu terbuka itukah atau dari mana saja? Terserah Anda. Yang penting menulis dulu. Menulis cerpen (seperti juga menulis yang lain) mulanya berawal dari ide. Dari mana ide diperoleh? Dari sekitar kita. Ide-ide yang berceceran di mana-mana kita punguti dan kita olah. Untuk mengolah ide-ide itu perlu pengetahuan yang cukup tentang apa saja termasuk pengetahun kemanusiaan serta ketajaman Anda dalam melakukan observasi. Tanpa pengetahuan itu, Anda tidak mungkin bisa melukiskan peristiwa dan tokoh cerita Anda dengan meyakinkan. Tanpa observasi yang tajam, Anda tidak bisa melihat apa-apa dari kehidupan di sekeliling Anda, meskipun kedua pelupuk mata Anda terbuka lebar-lebar. Untuk itu langkah pertama yang harus Anda lakukan adalah membuka mata batin Anda. Cari ide itu dengan cara mengamati siklus kehidupan sehari-hari dengan cermat. Anda tidak bisa menunggu ide itu turun dari langit. Misalnya: Anda pulang pergi ke sekolah, kampus, pasar, sawah, dan lain-lain. Dalam perjalanan itu Anda pasti menyaksikan banyak peristiwa. Jangan Anda lewatkan peristiwa itu. Manfaatkan momen itu untuk mencari ide cerita apa yang bisa Anda tulis menjadi cerpen.
Selanjutnya setelah ide itu Anda dapatkan, maka jangan tunggu lama. Segeralah menuliskannya. Kalau tidak ide itu akan hilang berganti dengan ide yang baru. Agar ide itu tidak hilang, ada cara yang biasa dilakukan dengan menyediakan potongan kertas atau kartu ide. Setiap Anda menemukan ide, Anda catat di kartu itu. Sewaktu diperlukan, Anda tinggal menuliskannya. Catatlah ide itu dengan kalimat yang baik dan jelas. Tidak serampangan. Kalau perlu dengan kalimat yang menggugah minat untuk meneruskannya.
Ketika ide sudah ada, observasi sudah dilakukan dan bahan-bahan lain sudah tersedia pula, lalu apa yang akan dilakukan? Mulailah menulis kalimat pembuka. Ingat, kalimat pembuka itu harus menarik, supaya pembaca merasa tertarik untuk meneruskan bacaannya terhadap cerpen Anda. Dengan kalimat pembuka yang baik, Anda telah memberikan daya kejut kedua setelah judul. Sebuah pembuka yang menarik menyebabkan pembaca bertanya-tanya: apa peristiwa sebenarnya yang ingin disampaikan dalam cerpen tersebut. Contoh pembuka yang baik dapat Anda baca dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis.
Sementara itu hal lain yang paling penting dalam sebuah cerpen adalah konflik. Terserah Anda mau menulis cerita tentang apa saja, yang penting Anda tidak mengabaikan konflik di dalamnya. Cerpen tanpa konflik hanya akan jadi teks pidato. Konflik terjadi karena pertentangan kepentingan yang Anda bangun dalam cerpen itu, umpamanya pertentangan kepentingan antara yang baik dengan yang tidak baik.
Seterusnya yang perlu ada dalam cerpen adalah suspensi atau ketegangan. Hadirkanlah suspensi atau ketegangan itu dengan cara-cara yang tidak diduga pembaca. Misalnya suspensi saat-saat si tokoh cerita menghadapi masalah yang begitu besar, sehingga rasa-rasanya ia tidak akan mampu menyelesaikannya. Efek dramatik dari detik-detik genting ini sangat besar perannya dalam cerita, karena ia sangat kuat merangsang tanggapan emosional pembaca. Tapi jangan lantas mendramatisir cerita. Kalau masalahnya kecil, jangan dibesar-besarkan.
Selain konflik dan suspensi, hal yang tak kalah pentingnya adalah penokohan. Penokohan penting karena apa yang digambarkan dalam cerpen sebenarnya adalah realitas yang ada dalam masyarakat. Dalam hal inilah pentingnya Anda memiliki pengetahuan yang dalam tentang sifat dan karakter manusia. Kalau Anda membuat beberapa tokoh, bagaimana sifat-sifat tokoh itu Anda harus hafal betul. Kalau dia seorang dokter, bagaimana karakter dokter itu, bagaimana caranya berbicara, berjalan, berpakaian, dll. Penokohan yang baik menimbulkan kesan bahwa penulisnya memiliki pengetahuan tentang itu. Selanjutnya fokus cerita dalam cerpen harus jelas. Tidak bercabang ke mana-mana. Cerpen biasanya berupa penggalan peristiwa yang dialami oleh seseorang. Jadi, ceritanya tidak bercabang seperti yang ada dalam novel atau roman. Satu hal lagi adalah soal dialog sebagai pemberi informasi kepada pembaca. Dialog dalam cerpen harus dirangkai dengan jelas dan efektif.
Terakhir, sebuah cerpen hendaknya ditutup dengan ending yang mengesankan Terserah Anda, mau memilih happy ending atau unhappy ending. Yang jelas, ending harus benar-benar memberi kejutan dan kesan yang mendalam bagi pembaca. Jangan membuat ending yang sudah bisa ditebak. Terima kasih.
Dikatakan oleh banyak orang bahwa menulis itu ibarat rumah dengan pintu yang selalu terbuka. Siapa pun orangnya dapat memasuki rumah itu. Tidak terkecuali kamu. Syaratnya kamu harus memiliki motivasi dan tekad untuk melaksanakan motivasi itu. Tidak ada teori yang dapat mengantar seseorang untuk menjadi penulis jika tidak diaplikasikan langsung. Jadi, untuk menjawab pertanyaan bagaimana sebenarnya menjadi seorang penulis itu, maka jawabannya adalah dengan menulis, menulis dan menulis.
Lalu, bagaimana dengan menulis cerpen? Jawabannya sama. Mulailah menuliskannya. Dari mana harus dimulai? Dari dalam rumah yang pintunya selalu terbuka itukah atau dari mana saja? Terserah Anda. Yang penting menulis dulu. Menulis cerpen (seperti juga menulis yang lain) mulanya berawal dari ide. Dari mana ide diperoleh? Dari sekitar kita. Ide-ide yang berceceran di mana-mana kita punguti dan kita olah. Untuk mengolah ide-ide itu perlu pengetahuan yang cukup tentang apa saja termasuk pengetahun kemanusiaan serta ketajaman Anda dalam melakukan observasi. Tanpa pengetahuan itu, Anda tidak mungkin bisa melukiskan peristiwa dan tokoh cerita Anda dengan meyakinkan. Tanpa observasi yang tajam, Anda tidak bisa melihat apa-apa dari kehidupan di sekeliling Anda, meskipun kedua pelupuk mata Anda terbuka lebar-lebar. Untuk itu langkah pertama yang harus Anda lakukan adalah membuka mata batin Anda. Cari ide itu dengan cara mengamati siklus kehidupan sehari-hari dengan cermat. Anda tidak bisa menunggu ide itu turun dari langit. Misalnya: Anda pulang pergi ke sekolah, kampus, pasar, sawah, dan lain-lain. Dalam perjalanan itu Anda pasti menyaksikan banyak peristiwa. Jangan Anda lewatkan peristiwa itu. Manfaatkan momen itu untuk mencari ide cerita apa yang bisa Anda tulis menjadi cerpen.
Selanjutnya setelah ide itu Anda dapatkan, maka jangan tunggu lama. Segeralah menuliskannya. Kalau tidak ide itu akan hilang berganti dengan ide yang baru. Agar ide itu tidak hilang, ada cara yang biasa dilakukan dengan menyediakan potongan kertas atau kartu ide. Setiap Anda menemukan ide, Anda catat di kartu itu. Sewaktu diperlukan, Anda tinggal menuliskannya. Catatlah ide itu dengan kalimat yang baik dan jelas. Tidak serampangan. Kalau perlu dengan kalimat yang menggugah minat untuk meneruskannya.
Ketika ide sudah ada, observasi sudah dilakukan dan bahan-bahan lain sudah tersedia pula, lalu apa yang akan dilakukan? Mulailah menulis kalimat pembuka. Ingat, kalimat pembuka itu harus menarik, supaya pembaca merasa tertarik untuk meneruskan bacaannya terhadap cerpen Anda. Dengan kalimat pembuka yang baik, Anda telah memberikan daya kejut kedua setelah judul. Sebuah pembuka yang menarik menyebabkan pembaca bertanya-tanya: apa peristiwa sebenarnya yang ingin disampaikan dalam cerpen tersebut. Contoh pembuka yang baik dapat Anda baca dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis.
Sementara itu hal lain yang paling penting dalam sebuah cerpen adalah konflik. Terserah Anda mau menulis cerita tentang apa saja, yang penting Anda tidak mengabaikan konflik di dalamnya. Cerpen tanpa konflik hanya akan jadi teks pidato. Konflik terjadi karena pertentangan kepentingan yang Anda bangun dalam cerpen itu, umpamanya pertentangan kepentingan antara yang baik dengan yang tidak baik.
Seterusnya yang perlu ada dalam cerpen adalah suspensi atau ketegangan. Hadirkanlah suspensi atau ketegangan itu dengan cara-cara yang tidak diduga pembaca. Misalnya suspensi saat-saat si tokoh cerita menghadapi masalah yang begitu besar, sehingga rasa-rasanya ia tidak akan mampu menyelesaikannya. Efek dramatik dari detik-detik genting ini sangat besar perannya dalam cerita, karena ia sangat kuat merangsang tanggapan emosional pembaca. Tapi jangan lantas mendramatisir cerita. Kalau masalahnya kecil, jangan dibesar-besarkan.
Selain konflik dan suspensi, hal yang tak kalah pentingnya adalah penokohan. Penokohan penting karena apa yang digambarkan dalam cerpen sebenarnya adalah realitas yang ada dalam masyarakat. Dalam hal inilah pentingnya Anda memiliki pengetahuan yang dalam tentang sifat dan karakter manusia. Kalau Anda membuat beberapa tokoh, bagaimana sifat-sifat tokoh itu Anda harus hafal betul. Kalau dia seorang dokter, bagaimana karakter dokter itu, bagaimana caranya berbicara, berjalan, berpakaian, dll. Penokohan yang baik menimbulkan kesan bahwa penulisnya memiliki pengetahuan tentang itu. Selanjutnya fokus cerita dalam cerpen harus jelas. Tidak bercabang ke mana-mana. Cerpen biasanya berupa penggalan peristiwa yang dialami oleh seseorang. Jadi, ceritanya tidak bercabang seperti yang ada dalam novel atau roman. Satu hal lagi adalah soal dialog sebagai pemberi informasi kepada pembaca. Dialog dalam cerpen harus dirangkai dengan jelas dan efektif.
Terakhir, sebuah cerpen hendaknya ditutup dengan ending yang mengesankan Terserah Anda, mau memilih happy ending atau unhappy ending. Yang jelas, ending harus benar-benar memberi kejutan dan kesan yang mendalam bagi pembaca. Jangan membuat ending yang sudah bisa ditebak. Terima kasih.
Jumat, 14 Desember 2007
The Da Vinci Code: Kebenaran Sastra dan Imajinasi Kontroversial
Oleh Ronidin
I
Kebenaran sastra tidak sama dengan kebenaran agama, hukum dan undang-undang (Gama, Singgalang, 11/06/06). Kebenaran sastra melingkupi tiga dimensi silendris: sastra itu sendiri (teks), pengarang sebagai pencipta sastra dan pembaca sebagai penikmat sastra. Ketiga unsur tersebut memiliki hubungan yang erat, tetapi masing-masingnya memiliki hak otonom. Setiap pengarang memiliki hak untuk menulis apa saja. Pembaca juga bebas memahami atau mengintepretasi teks sastra sesuai persepsinya sendiri-sendiri. Jadi, tidak ada pemaksaan untuk memahami dan tidak ada yang berhak mengatakan bahwa pemahaman mereka paling benar.
Menikmati karya sastra sebenarnya merupakan rekreasi untuk menyelami pikiran penulisnya. Pikiran-pikiran penulis disuguhkan untuk dinikmati pembacanya. Tentunya, seorang pembaca dengan pembaca yang lain akan menemukan titik pandang berbeda dari suguhan yang sama. Itulah uniknya karya sastra. Tetapi, ada kalanya intepretasi pembaca menimbulkan suasana tidak menyenangkan bagi pembaca lainnya. Pembaca A mengintepretasi begini, sedangkan pembaca B mengintepretasi begitu. Terjadilah perbedaan persepsi. Itu hal yang wajar. Beda pendapat biasa. Yang tidak wajar dan tidak biasa adalah penghakiman yang membabi buta. Ramai-ramai karya yang berhaluan ini dilarang, yang berhaluan itu dibredel bahkan dibakar.
Jadi, dapat dipahami, terjadinya kontroversi seputar novel The Da Vinci Code karena novel ini tidak lagi dipandang dengan kebenaran sastra. Fakta yang difiksikan dan fiksi yang difaktakan Dan Brown telah dipersepsi dengan kebenaran bukan sastra; kebenaran agama ataupun kebenaran sejarah.
II
Tahun 2003, Dan Brown menulis novel The Da Vinci Code yang menggemparkan jagat ini. Sampai saat ini, novel tersebut sudah dicetak sebanyak 40 juta kopi ditambah 6 juta paperback dan diterjemahkan ke dalam 44 bahasa di dunia.
The Da Vinci Code menggemparkan dunia karena secara provokatif telah menyinggung umat khatolik hingga ke Vatikan. Karya Dan Brown ini dianggap secara terang-terangan telah mencampur-adukkan antara fakta-fakta kekristenan dengan fiksi sebagai kekayaan imajinasi. Hal-hal yang dianggap kontroversial misalnya perkawinan Yesus dan Maria Magdalena, pendeskripsian organisasi Opus Dei sebagai kelompok Kristen yang melakukan praktik menyakiti tubuh, merendahkan wanita dan terlibat skandal keuangan Vatikan. Lalu, Bibel diceritakan Brown sebagai produk manusia yang telah menghilangkan ayat-ayat tentang keberadaan Yesus sebagai manusia biasa. Namun, yang paling dianggap kontroversial adalah penggambaran Brown tentang ketuhanan Yesus yang ditetapkan melalui sebuah voting oleh Konsili Nicea (hal. 325).
Sebenarnya, apa yang dikemukan Brown ada benarnya dan juga ada salahnya. Namun, saya tidak akan berbicara tentang itu. Saya hanya akan melihat novel ini dalam perspektif sastra sebagai kebenaran imajinasi yang bergerak.
III
The Da Vinci Code menarik karena pengarang berhasil membangun peristiwa secara berangkai dan unik. Pemabaca tidak akan beranjak dari bacaannya karena ada teka-teki yang mesti dipecahkan, ada kode-kode yang menantang, ada konspirasi yang membingungkan, ada rangkaian penyelidikan dedektif yang mendebarkan dan tentunya ada skandal yang menegangkan. Pembaca seolah-olah dibawa serta dalam peristiwa-peristiwa itu. Karena itu, pembaca yang tidak jeli, bisa jadi akan langsung menganggap yang diklaim fiktif oleh Brown menjadi sebuah fakta.
Selain peristiwa, kekuatan lain yang nampak dalam The Davinci Code adalah kecerdasan Dan Brown mengeksplorasi sain (kecanggihan teknologi) dengan estetika seni. Lalu, kemapuan Brown menghadirkan setting dengan deskripsi yang memukau juga merupakan kekuatan yang tidak terpisahkan dari novel ini. Tempat-tempat yang ada dalam novel ini seolah-olah ada di depan mata pembaca. Saya belum pernah ke Louvre, tetapi saya dapat membayangkan keberadaan museum itu.
Cerita dalam novel ini diawali dengan peristiwa pembunuhan kurator museum Louvre di Paris, Jacques Sauniere. Sauniere yang sekarat menjelang ajalnya masih sempat menulis pesan berupa kode-kode rahasia untuk cucunya Sophie Neveu, seorang ahli kriptolog di kepolisian DCPJ (FBI-nya Perancis) dan Robert Langdon, ahli simbologi Universitas Harvard yang kebetulan sedang berceramah di kota Paris. Melalui rangkaian peristiwa yang panjang, Sophie dan Langdon –yang melalukan pelarian karena Langdon dituduh sebagai pembunuh Sauniere oleh agen Fache, kepala DCPJ Perancis—mereka memecahkan kode-kode itu satu persatu. Perpaduan kedua ahli itu mampu memecahkan kode-kode rahasia yang bukan saja rumit tetapi juga membonceng dalam karya lukis seniman serba bisa Leonardo Da Vinci.
Dalam pelariannya dari polisi Perancis yang menegangkan dan berliku-liku, Langdon dan Sophie kemudian bertemu dengan seorang sejarahwan Inggris, Leigh Teabing. Teabing membantu kedua pelarian itu di rumahnya. Pertemuan Langdon dengan Teabing menjadi begitu berarti karena kepakaran Taebing dalam mengungkap sejarah kristen yang ada dalam kode-kode itu. Teabing turut membantu memecahkan misteri di balik kode-kode rahasia yang ditinggalkan Sauniere. Teabing pula kemudian yang menerbangkan Langdon dan Sophie ke London dengan pesawat pribadinya untuk mencari Holy Grail –kesimpulan sementara dari petunjuk kode-kode yang telah mereka pecahkan-- yang diyakini ada di London, termasuk menemukan kode terakhir membuka batu kunci (cryptek) di atas makam Issac Newton. Teabing yakin kode pembuka batu kunci yang diyakini berisi peta tempat penyimpanan Holy Grail dapat mereka temukan di sana. Selain itu, penerbangan ke London juga untuk menyelamatkan Langdon dari kejaran polisi Perancis.
Sesampai di London, terungkap bahwa Teabing ternyata menginginkan cryptek itu dan ingin sekali mendapatkan Holy Grail yang menghebohkan itu. Terungkap pula bahwa dalang pembunuhan Sauniere dan rangkaian pembunuhan lainnya adalah Leigh Teabing. Jauh sebelum Sauniere terbunuh, dia telah memasang alat penyadap di sekitar Sauniere dan orang-orang berpengaruh lainnya. Alat penyadap itu dipantau dari rumahnya dengan peralatan yang canggih. Teabing dalam menjalankan rencananya dibantu oleh Remy, biarawan taat pendeta Aringarosa dan Silas. Cerdiknya, kepada pendeta Aringarosa dan Silas yang merupakan anggota kelompok kristen Opus Dei, Teabing mengenalkan diri sebagai Guru. Teabing juga secara cerdik telah memperalat Vatikan untuk rencananya liciknya.
Akhirnya semua berakhir, Teabing ditangkap, Aringarosa dan Silas menyadari kesalahannya, Remy mati dibunuh Taebing, Langdon dan Sophie berhasil memecahkan kode terakhir. Ternyata, Holy Grail yang menghebohkan itu tidaklah ada seperti yang dibayangkan sebelumnya. Petunjuk yang didapatkan Langdon dalam kode terakhir hanya mengantarkan Sophie untuk bertemu dengan nenek dan saudara laki-lakinya di gereja katedral Rosslyn di selatan Edinburgh, Skotlandia.
IV
Kehadiran novel The Da Vinci Code memang telah mengundang berbagai kontrovesi. Dalam kacamata sastra, apa yang dikemukan dalam novel ini adalah tentu memiliki pesan karena memang sastra memiliki fungsi menghibur dan fungsi pesan (azaz mamfaat). Apa yang dikemukan Dan Brown memiliki fungsi itu.
Secara sosiologis, Dan Brown telah menulis apa yang dirasakannya, apa yang dilihat (ditelitinya), apa yang telah menjadi pengalamanya. Sastra sebenarnya berbicara tentang masyarakat, apa yang terjadi di masyarakat, dan apa yang dikerjakan oleh masyarakat. Ketika ia ditulis, ia akan menjadi fakta yang difiksikan. Ketika sudah menjadi teks sastra, itulah sebuah kebenaran imajinasi. Ketika dalam novel ini Brown berbicara tentang penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam tubuh umat khatolik, itulah sebenarnya fakta yang dibangun dengan imajinasi. Itulah sastra.
Jadi, fakta dan fiksi dalam sastra adalah kebenaran. Fakta adalah bahan untuk difiksikan. Namun, kadang-kadang fakta yang telah diolah dengan campuran imajinasi (fiksi) dapat menimbulkan sikap kontroversial seperti dalam Da Vinci Code. Misalnya Museum Lovre adalah fakta, tetapi peran Sauniere, Langdon, Sophie Aringarosa, Silas dan Teabing adalah fiksi. Leadardo Da Vinci dan lukisannya Manusia Vitruvian, Mona Lisa, dan Last Supper adalah fakta, tetapi menyebut lukisan-lukisan itu mengandung rahasia perempuan suci adalah fiksi. Lukisan Last Supper jelas merupakan penggambaran Leonardo yang merinci peran murid-murid Yesus dengan mimik masing-masing. Di kanan dan kiri Yesus yang duduk terdekat adalah murid Yohanes dan Yokobus menggambarkan permintaan ibu mereka (Matius 20:20-21). Yohanes dan Petrus disuruh Yesus menyiapkan perjamuan. Maka kalau tempat itu diganti Brown dengan Maria Magdalena dan Yohanes tidak ada, itu adalah fiksi.
Maka, dalam The Da Vinci Code, fiksi adalah kebenaran. Kebenaran Sastra.
I
Kebenaran sastra tidak sama dengan kebenaran agama, hukum dan undang-undang (Gama, Singgalang, 11/06/06). Kebenaran sastra melingkupi tiga dimensi silendris: sastra itu sendiri (teks), pengarang sebagai pencipta sastra dan pembaca sebagai penikmat sastra. Ketiga unsur tersebut memiliki hubungan yang erat, tetapi masing-masingnya memiliki hak otonom. Setiap pengarang memiliki hak untuk menulis apa saja. Pembaca juga bebas memahami atau mengintepretasi teks sastra sesuai persepsinya sendiri-sendiri. Jadi, tidak ada pemaksaan untuk memahami dan tidak ada yang berhak mengatakan bahwa pemahaman mereka paling benar.
Menikmati karya sastra sebenarnya merupakan rekreasi untuk menyelami pikiran penulisnya. Pikiran-pikiran penulis disuguhkan untuk dinikmati pembacanya. Tentunya, seorang pembaca dengan pembaca yang lain akan menemukan titik pandang berbeda dari suguhan yang sama. Itulah uniknya karya sastra. Tetapi, ada kalanya intepretasi pembaca menimbulkan suasana tidak menyenangkan bagi pembaca lainnya. Pembaca A mengintepretasi begini, sedangkan pembaca B mengintepretasi begitu. Terjadilah perbedaan persepsi. Itu hal yang wajar. Beda pendapat biasa. Yang tidak wajar dan tidak biasa adalah penghakiman yang membabi buta. Ramai-ramai karya yang berhaluan ini dilarang, yang berhaluan itu dibredel bahkan dibakar.
Jadi, dapat dipahami, terjadinya kontroversi seputar novel The Da Vinci Code karena novel ini tidak lagi dipandang dengan kebenaran sastra. Fakta yang difiksikan dan fiksi yang difaktakan Dan Brown telah dipersepsi dengan kebenaran bukan sastra; kebenaran agama ataupun kebenaran sejarah.
II
Tahun 2003, Dan Brown menulis novel The Da Vinci Code yang menggemparkan jagat ini. Sampai saat ini, novel tersebut sudah dicetak sebanyak 40 juta kopi ditambah 6 juta paperback dan diterjemahkan ke dalam 44 bahasa di dunia.
The Da Vinci Code menggemparkan dunia karena secara provokatif telah menyinggung umat khatolik hingga ke Vatikan. Karya Dan Brown ini dianggap secara terang-terangan telah mencampur-adukkan antara fakta-fakta kekristenan dengan fiksi sebagai kekayaan imajinasi. Hal-hal yang dianggap kontroversial misalnya perkawinan Yesus dan Maria Magdalena, pendeskripsian organisasi Opus Dei sebagai kelompok Kristen yang melakukan praktik menyakiti tubuh, merendahkan wanita dan terlibat skandal keuangan Vatikan. Lalu, Bibel diceritakan Brown sebagai produk manusia yang telah menghilangkan ayat-ayat tentang keberadaan Yesus sebagai manusia biasa. Namun, yang paling dianggap kontroversial adalah penggambaran Brown tentang ketuhanan Yesus yang ditetapkan melalui sebuah voting oleh Konsili Nicea (hal. 325).
Sebenarnya, apa yang dikemukan Brown ada benarnya dan juga ada salahnya. Namun, saya tidak akan berbicara tentang itu. Saya hanya akan melihat novel ini dalam perspektif sastra sebagai kebenaran imajinasi yang bergerak.
III
The Da Vinci Code menarik karena pengarang berhasil membangun peristiwa secara berangkai dan unik. Pemabaca tidak akan beranjak dari bacaannya karena ada teka-teki yang mesti dipecahkan, ada kode-kode yang menantang, ada konspirasi yang membingungkan, ada rangkaian penyelidikan dedektif yang mendebarkan dan tentunya ada skandal yang menegangkan. Pembaca seolah-olah dibawa serta dalam peristiwa-peristiwa itu. Karena itu, pembaca yang tidak jeli, bisa jadi akan langsung menganggap yang diklaim fiktif oleh Brown menjadi sebuah fakta.
Selain peristiwa, kekuatan lain yang nampak dalam The Davinci Code adalah kecerdasan Dan Brown mengeksplorasi sain (kecanggihan teknologi) dengan estetika seni. Lalu, kemapuan Brown menghadirkan setting dengan deskripsi yang memukau juga merupakan kekuatan yang tidak terpisahkan dari novel ini. Tempat-tempat yang ada dalam novel ini seolah-olah ada di depan mata pembaca. Saya belum pernah ke Louvre, tetapi saya dapat membayangkan keberadaan museum itu.
Cerita dalam novel ini diawali dengan peristiwa pembunuhan kurator museum Louvre di Paris, Jacques Sauniere. Sauniere yang sekarat menjelang ajalnya masih sempat menulis pesan berupa kode-kode rahasia untuk cucunya Sophie Neveu, seorang ahli kriptolog di kepolisian DCPJ (FBI-nya Perancis) dan Robert Langdon, ahli simbologi Universitas Harvard yang kebetulan sedang berceramah di kota Paris. Melalui rangkaian peristiwa yang panjang, Sophie dan Langdon –yang melalukan pelarian karena Langdon dituduh sebagai pembunuh Sauniere oleh agen Fache, kepala DCPJ Perancis—mereka memecahkan kode-kode itu satu persatu. Perpaduan kedua ahli itu mampu memecahkan kode-kode rahasia yang bukan saja rumit tetapi juga membonceng dalam karya lukis seniman serba bisa Leonardo Da Vinci.
Dalam pelariannya dari polisi Perancis yang menegangkan dan berliku-liku, Langdon dan Sophie kemudian bertemu dengan seorang sejarahwan Inggris, Leigh Teabing. Teabing membantu kedua pelarian itu di rumahnya. Pertemuan Langdon dengan Teabing menjadi begitu berarti karena kepakaran Taebing dalam mengungkap sejarah kristen yang ada dalam kode-kode itu. Teabing turut membantu memecahkan misteri di balik kode-kode rahasia yang ditinggalkan Sauniere. Teabing pula kemudian yang menerbangkan Langdon dan Sophie ke London dengan pesawat pribadinya untuk mencari Holy Grail –kesimpulan sementara dari petunjuk kode-kode yang telah mereka pecahkan-- yang diyakini ada di London, termasuk menemukan kode terakhir membuka batu kunci (cryptek) di atas makam Issac Newton. Teabing yakin kode pembuka batu kunci yang diyakini berisi peta tempat penyimpanan Holy Grail dapat mereka temukan di sana. Selain itu, penerbangan ke London juga untuk menyelamatkan Langdon dari kejaran polisi Perancis.
Sesampai di London, terungkap bahwa Teabing ternyata menginginkan cryptek itu dan ingin sekali mendapatkan Holy Grail yang menghebohkan itu. Terungkap pula bahwa dalang pembunuhan Sauniere dan rangkaian pembunuhan lainnya adalah Leigh Teabing. Jauh sebelum Sauniere terbunuh, dia telah memasang alat penyadap di sekitar Sauniere dan orang-orang berpengaruh lainnya. Alat penyadap itu dipantau dari rumahnya dengan peralatan yang canggih. Teabing dalam menjalankan rencananya dibantu oleh Remy, biarawan taat pendeta Aringarosa dan Silas. Cerdiknya, kepada pendeta Aringarosa dan Silas yang merupakan anggota kelompok kristen Opus Dei, Teabing mengenalkan diri sebagai Guru. Teabing juga secara cerdik telah memperalat Vatikan untuk rencananya liciknya.
Akhirnya semua berakhir, Teabing ditangkap, Aringarosa dan Silas menyadari kesalahannya, Remy mati dibunuh Taebing, Langdon dan Sophie berhasil memecahkan kode terakhir. Ternyata, Holy Grail yang menghebohkan itu tidaklah ada seperti yang dibayangkan sebelumnya. Petunjuk yang didapatkan Langdon dalam kode terakhir hanya mengantarkan Sophie untuk bertemu dengan nenek dan saudara laki-lakinya di gereja katedral Rosslyn di selatan Edinburgh, Skotlandia.
IV
Kehadiran novel The Da Vinci Code memang telah mengundang berbagai kontrovesi. Dalam kacamata sastra, apa yang dikemukan dalam novel ini adalah tentu memiliki pesan karena memang sastra memiliki fungsi menghibur dan fungsi pesan (azaz mamfaat). Apa yang dikemukan Dan Brown memiliki fungsi itu.
Secara sosiologis, Dan Brown telah menulis apa yang dirasakannya, apa yang dilihat (ditelitinya), apa yang telah menjadi pengalamanya. Sastra sebenarnya berbicara tentang masyarakat, apa yang terjadi di masyarakat, dan apa yang dikerjakan oleh masyarakat. Ketika ia ditulis, ia akan menjadi fakta yang difiksikan. Ketika sudah menjadi teks sastra, itulah sebuah kebenaran imajinasi. Ketika dalam novel ini Brown berbicara tentang penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam tubuh umat khatolik, itulah sebenarnya fakta yang dibangun dengan imajinasi. Itulah sastra.
Jadi, fakta dan fiksi dalam sastra adalah kebenaran. Fakta adalah bahan untuk difiksikan. Namun, kadang-kadang fakta yang telah diolah dengan campuran imajinasi (fiksi) dapat menimbulkan sikap kontroversial seperti dalam Da Vinci Code. Misalnya Museum Lovre adalah fakta, tetapi peran Sauniere, Langdon, Sophie Aringarosa, Silas dan Teabing adalah fiksi. Leadardo Da Vinci dan lukisannya Manusia Vitruvian, Mona Lisa, dan Last Supper adalah fakta, tetapi menyebut lukisan-lukisan itu mengandung rahasia perempuan suci adalah fiksi. Lukisan Last Supper jelas merupakan penggambaran Leonardo yang merinci peran murid-murid Yesus dengan mimik masing-masing. Di kanan dan kiri Yesus yang duduk terdekat adalah murid Yohanes dan Yokobus menggambarkan permintaan ibu mereka (Matius 20:20-21). Yohanes dan Petrus disuruh Yesus menyiapkan perjamuan. Maka kalau tempat itu diganti Brown dengan Maria Magdalena dan Yohanes tidak ada, itu adalah fiksi.
Maka, dalam The Da Vinci Code, fiksi adalah kebenaran. Kebenaran Sastra.
Sinetron: Media Pembodohan Masyarakat
Anda ingin melihat wajah bangsa Indonesia? Maka, tontonlah televisi. Dijamin Anda akan menemukan wajah Indonesia di sana. Wajah yang sebenarnya mulus tetapi telah dirusak sehingga menjadi bopeng-bopeng dan berjerawat. Wajah yang sengsara.
Di antara visualisasi wajah Indonesia yang paling dekat mencerminkan budaya bangsa tergambar melalui sinetron. Sinetron dibuat bukan berdasarkan sesuatu yang mengada-ada (social vacuum), tetapi berdasarkan realitas budaya yang berkembang dalam masyarakat. Meskipun hanya fiktif, sinetron berangkat dari sesuatu yang ada. Sesuatu yang berterima.
Sinetron sebagai bagian kerja kreatif –sebagaimana juga kerja kreatif lainnya—seyogianya memiliki fungsi menghibur sekaligus fungsi mencerahkan. Menghibur dalam pengertian memberikan tontonan (hiburan) alternatif bagi setiap anggota keluarga setelah seharian beraktifitas. Hiburan pelepas penat di waktu istirahat. Sedangkan pengertian mencerahkan adalah mampu memberikan kesan atau ajaran yang bernas dan bermanfaat. Selesai menonton, ada kebermaknaan tontonan itu yang diperoleh penonton. Bukan cuma hiburan semata.
Sejauh ini, apa yang terjadi?
Membaca fenomena yang ada, sungguh disayangkan. Pada kenyataannya produksi sinetron oleh berbagai rumah produksinya hanya mengejar fungsi pertama. Sinetron-sinetron itu dibuat asal jadi, dangkal, alur cerita yang kadang-kadang tidak masuk akal, terlalu berlebihan mengeksploitasi sesuatu, misalnya kemewahan –padahal kita orang miskin, tidak memiliki pesan moral dan sebagainya.
Ketika menonton sinetron, para penonton tidak perlu berpikir. Rangkaian peristiwa/cerita yang dibangun dalam sinetron itu tidak akan membuat kening jadi berkerut. Penokohan pun demikian. Peristiwa dan penokohan dibuat segampang mungkin dengan penyelesaian instan atau solusi seenaknya. Peristiwa bisa dibawa kemana-mana. Tokoh sekehendaknya. Jika misalnya sang tokoh terbentur, kalau tidak dibantu makhluk halus berupa jin atau peri, pasti si tokoh punya ilmu menghilang atau punya jimat khusus untuk mengatasi masalahnya.
Kalau sinetronnya tentang sekolah atau anak sekolahan, maka peristiwanya tidak akan pernah beranjak dari masalah percintaan, pacaran dan kecemburuan. Tidak akan kita jumpai peristiwa pendidikan di sana. Soal pendidikan atau bagaimana siswa belajar dengan baik hanyalah tempelan saja sesuai dengan latar ceritanya. Siswa tidak berkarakter seperti selayaknya siswa. Guru hanya digambarkan sebagai manusia dungu.
Lain lagi kalau kita berbicara tentang tema. Belakangan tema yang lagi in adalah tema-tema religi, keluarga, cinta dan kasih sayang (utamanya sinetron remaja). Tidak ada yang salah soal tema, cuma penggarapannya yang kadang berlebihan dan tidak masuk akal. Sinetron-sinetron bertema religi --yang mulanya diprakarsai TPI dengan Kuasa dan Takdir Ilahinya, lalu diikuti stasiun TV lainnya—terlalu hitam putih. Suatu soal selalu dipandang dari sudut dosa dan akhirnya bermuara kepada hukuman. Sinetron religi ini tak ubahnya seperti khutbah saja. Sinetron ini hanya sampai pada taraf mengingatkan dan tidak akan menghadirkan apresiasi yang memungkinkan orang/penonton menjadi jera berbuat dosa. Buktinya semakin banyak sinetron religi dengan berbagai judulnya, sebegitu juga orang menipu, sebanyak itu juga tumbuh lentenir, koruptor dan penjarah harta orang lain, semakin banyak juga kejahatan kelamin dan sebagainya. Sinetron tema religi ini kemudian menjadi monoton.
Kehadiran sinetron religi ini, kalau begitu masih saja dapat ditafsirkan membodohi masyarakat. Masyarakat jadi terkungkung dalam streotipe hitam putih. Kalau ini dilakukan ini yang akan terjadi dan ini hukumannya. Sehingga pola pikir masyarakat terhadap agamanya menjadi dangkal dan hitam putih pula. Tetapi walaupun demikian, sinetron religi ini jauh lebih baik dari sinetron yang merusak aqidah seperti sinetron jin atau peri.
Sedangkan sinetron bertema keluarga, meghadirkan konflik suami istri, perebutan harta (warisan), hidup yang penuh keculasan, dan sebagainya. Tema-tema ini membuat ibu-ibu rumah tangga –sebagai konsumen terbesar penikmat sinetron—menjadi hedonis maupun panjang angan-angan. Penonton ditipu dengan latar sosial sinetron yang serba mewah, memakai kawasan perumahan elit yang luas dan bertingkat, yang apabila ditelusuri akan kontras dengan penghuninya yang hanya seorang atau dua orang anak, sepasang suami istri dan seorang pembantu. Latar sosial mewah yang digambarkan bukankah mengingkari realitas yang sebenarnya dimana kebanyakan masyarakat kita hidup di bawah garis kemiskinan. Ini adalah “penipuan” atau “pembodohan sosial”. Sama dengan “penipuan” atau “pembodohan sosial” yang dilakukan anggota DPR yang katanya mewakili rakyat dan sudah bergaji besar minta lagi kenaikan gaji berlipat-lipat sedangkan rakyatnya kian menderita.
Sementara itu, sinetron-sinetron tema percintaan (remaja) juga memprihatinkan dan membodohi. Dalam sinetron-sinetron ini digambarkan bahwa pemasalahan remaja tidak lepas dari masalah cinta, bagaimana mendapatkan pacar, bagaimana seni merayu dan sebagainya termasuk pula pengeksploitasian masa pubertas secara hiperbol. Soalan seperti ini “digarap” habis-habisan dengan harapan dapat menyedot mayoritas penonton remaja yang memang sedang berada dalam masa-masa itu. Di sini terasosiasi bahwa seolah-olah hidup remaja hanya untuk urusan yang begituan –padahal sebenarnya masih banyak remaja (siswa) yang kreatif dan inovatif, tapi kenyataan ini tidak akan laku dikomersilkan/disinetronkan.
Akibat kongkrit yang dapat dirasakan adalah penyimpangan prilaku remaja. Apa yang ada di sinetron sepertinya menjadi ikon remaja saat ini: model rambut, gaya bicara, kebiasaan, tata prilaku dan sebagainya. Oleh itu, janganlah heran bila remaja (siswa) jadi malas belajar –karena tidak pernah dilihatnya dalam sinetron sosok siswa yang belajar beneran. Selain itu siswa juga menjadi glamour bahkan hedonis --suka hura-hura atau pesta-pesta, kerap mejeng di mall, minta dibelikan HP model terbaru, minta dibelikan motor dan sebagainya.
Beralih ke persoalan bahasa, hampir tidak ada sinetron yang ada di televisi Indonesia yang menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar. Bahasa yang dipakai umumnya adalah Bahasa Indonesia dialek Jakarta. Seakan-akan itulah Bahasa Indonesia yang benar. Cara berbahasa semacam ini ditiruteladani oleh masyarakat, sehingga bahasa Indonesia kehilangan hakekat dan maknanya.
Sebagai media yang banyak ditonton oleh masyarakat jelas fenomena ini sangat “menggenaskan”. Bukankah bahasa menunjukkan identitas bangsa? Bagaimana orang berbahasa maka seperti itu pulalah cara mereka berpikir. Jadi, ketika bahasa Indonesia dialek Jakarta dipopulerkan televisi melalui sinetron-sinetronnya, maka seolah-olah kita digiring untuk menerima hal itu sebagai bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagaimana yang didengung-dengungkan selama ini: “kita harus berbahasa Indonesia yang baik dan benar”. Bukankah ini penipunan atau pembodohan?
Dengan demikian, sekiranya kita mencari hulu masalahnya: siapa kiranya yang patut disalahkan? Apakah: (1) mereka, para pengusaha pertelevisian Indonesia, (2) mereka yang mencari (dan numpang) hidup di sinetron, (3) mereka yang mengururusi kedua-duanya, atau (4) mereka, para penonton yang menikmati semua itu? Entahlah. Yang jelas sinetron telah menjadi media pembodohan masyarakat Indonesia. Wallaulam Bissawab.
Ronidin, pemerhati masalah sosial, dosen Fakultas Sastra Unand
Di antara visualisasi wajah Indonesia yang paling dekat mencerminkan budaya bangsa tergambar melalui sinetron. Sinetron dibuat bukan berdasarkan sesuatu yang mengada-ada (social vacuum), tetapi berdasarkan realitas budaya yang berkembang dalam masyarakat. Meskipun hanya fiktif, sinetron berangkat dari sesuatu yang ada. Sesuatu yang berterima.
Sinetron sebagai bagian kerja kreatif –sebagaimana juga kerja kreatif lainnya—seyogianya memiliki fungsi menghibur sekaligus fungsi mencerahkan. Menghibur dalam pengertian memberikan tontonan (hiburan) alternatif bagi setiap anggota keluarga setelah seharian beraktifitas. Hiburan pelepas penat di waktu istirahat. Sedangkan pengertian mencerahkan adalah mampu memberikan kesan atau ajaran yang bernas dan bermanfaat. Selesai menonton, ada kebermaknaan tontonan itu yang diperoleh penonton. Bukan cuma hiburan semata.
Sejauh ini, apa yang terjadi?
Membaca fenomena yang ada, sungguh disayangkan. Pada kenyataannya produksi sinetron oleh berbagai rumah produksinya hanya mengejar fungsi pertama. Sinetron-sinetron itu dibuat asal jadi, dangkal, alur cerita yang kadang-kadang tidak masuk akal, terlalu berlebihan mengeksploitasi sesuatu, misalnya kemewahan –padahal kita orang miskin, tidak memiliki pesan moral dan sebagainya.
Ketika menonton sinetron, para penonton tidak perlu berpikir. Rangkaian peristiwa/cerita yang dibangun dalam sinetron itu tidak akan membuat kening jadi berkerut. Penokohan pun demikian. Peristiwa dan penokohan dibuat segampang mungkin dengan penyelesaian instan atau solusi seenaknya. Peristiwa bisa dibawa kemana-mana. Tokoh sekehendaknya. Jika misalnya sang tokoh terbentur, kalau tidak dibantu makhluk halus berupa jin atau peri, pasti si tokoh punya ilmu menghilang atau punya jimat khusus untuk mengatasi masalahnya.
Kalau sinetronnya tentang sekolah atau anak sekolahan, maka peristiwanya tidak akan pernah beranjak dari masalah percintaan, pacaran dan kecemburuan. Tidak akan kita jumpai peristiwa pendidikan di sana. Soal pendidikan atau bagaimana siswa belajar dengan baik hanyalah tempelan saja sesuai dengan latar ceritanya. Siswa tidak berkarakter seperti selayaknya siswa. Guru hanya digambarkan sebagai manusia dungu.
Lain lagi kalau kita berbicara tentang tema. Belakangan tema yang lagi in adalah tema-tema religi, keluarga, cinta dan kasih sayang (utamanya sinetron remaja). Tidak ada yang salah soal tema, cuma penggarapannya yang kadang berlebihan dan tidak masuk akal. Sinetron-sinetron bertema religi --yang mulanya diprakarsai TPI dengan Kuasa dan Takdir Ilahinya, lalu diikuti stasiun TV lainnya—terlalu hitam putih. Suatu soal selalu dipandang dari sudut dosa dan akhirnya bermuara kepada hukuman. Sinetron religi ini tak ubahnya seperti khutbah saja. Sinetron ini hanya sampai pada taraf mengingatkan dan tidak akan menghadirkan apresiasi yang memungkinkan orang/penonton menjadi jera berbuat dosa. Buktinya semakin banyak sinetron religi dengan berbagai judulnya, sebegitu juga orang menipu, sebanyak itu juga tumbuh lentenir, koruptor dan penjarah harta orang lain, semakin banyak juga kejahatan kelamin dan sebagainya. Sinetron tema religi ini kemudian menjadi monoton.
Kehadiran sinetron religi ini, kalau begitu masih saja dapat ditafsirkan membodohi masyarakat. Masyarakat jadi terkungkung dalam streotipe hitam putih. Kalau ini dilakukan ini yang akan terjadi dan ini hukumannya. Sehingga pola pikir masyarakat terhadap agamanya menjadi dangkal dan hitam putih pula. Tetapi walaupun demikian, sinetron religi ini jauh lebih baik dari sinetron yang merusak aqidah seperti sinetron jin atau peri.
Sedangkan sinetron bertema keluarga, meghadirkan konflik suami istri, perebutan harta (warisan), hidup yang penuh keculasan, dan sebagainya. Tema-tema ini membuat ibu-ibu rumah tangga –sebagai konsumen terbesar penikmat sinetron—menjadi hedonis maupun panjang angan-angan. Penonton ditipu dengan latar sosial sinetron yang serba mewah, memakai kawasan perumahan elit yang luas dan bertingkat, yang apabila ditelusuri akan kontras dengan penghuninya yang hanya seorang atau dua orang anak, sepasang suami istri dan seorang pembantu. Latar sosial mewah yang digambarkan bukankah mengingkari realitas yang sebenarnya dimana kebanyakan masyarakat kita hidup di bawah garis kemiskinan. Ini adalah “penipuan” atau “pembodohan sosial”. Sama dengan “penipuan” atau “pembodohan sosial” yang dilakukan anggota DPR yang katanya mewakili rakyat dan sudah bergaji besar minta lagi kenaikan gaji berlipat-lipat sedangkan rakyatnya kian menderita.
Sementara itu, sinetron-sinetron tema percintaan (remaja) juga memprihatinkan dan membodohi. Dalam sinetron-sinetron ini digambarkan bahwa pemasalahan remaja tidak lepas dari masalah cinta, bagaimana mendapatkan pacar, bagaimana seni merayu dan sebagainya termasuk pula pengeksploitasian masa pubertas secara hiperbol. Soalan seperti ini “digarap” habis-habisan dengan harapan dapat menyedot mayoritas penonton remaja yang memang sedang berada dalam masa-masa itu. Di sini terasosiasi bahwa seolah-olah hidup remaja hanya untuk urusan yang begituan –padahal sebenarnya masih banyak remaja (siswa) yang kreatif dan inovatif, tapi kenyataan ini tidak akan laku dikomersilkan/disinetronkan.
Akibat kongkrit yang dapat dirasakan adalah penyimpangan prilaku remaja. Apa yang ada di sinetron sepertinya menjadi ikon remaja saat ini: model rambut, gaya bicara, kebiasaan, tata prilaku dan sebagainya. Oleh itu, janganlah heran bila remaja (siswa) jadi malas belajar –karena tidak pernah dilihatnya dalam sinetron sosok siswa yang belajar beneran. Selain itu siswa juga menjadi glamour bahkan hedonis --suka hura-hura atau pesta-pesta, kerap mejeng di mall, minta dibelikan HP model terbaru, minta dibelikan motor dan sebagainya.
Beralih ke persoalan bahasa, hampir tidak ada sinetron yang ada di televisi Indonesia yang menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar. Bahasa yang dipakai umumnya adalah Bahasa Indonesia dialek Jakarta. Seakan-akan itulah Bahasa Indonesia yang benar. Cara berbahasa semacam ini ditiruteladani oleh masyarakat, sehingga bahasa Indonesia kehilangan hakekat dan maknanya.
Sebagai media yang banyak ditonton oleh masyarakat jelas fenomena ini sangat “menggenaskan”. Bukankah bahasa menunjukkan identitas bangsa? Bagaimana orang berbahasa maka seperti itu pulalah cara mereka berpikir. Jadi, ketika bahasa Indonesia dialek Jakarta dipopulerkan televisi melalui sinetron-sinetronnya, maka seolah-olah kita digiring untuk menerima hal itu sebagai bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagaimana yang didengung-dengungkan selama ini: “kita harus berbahasa Indonesia yang baik dan benar”. Bukankah ini penipunan atau pembodohan?
Dengan demikian, sekiranya kita mencari hulu masalahnya: siapa kiranya yang patut disalahkan? Apakah: (1) mereka, para pengusaha pertelevisian Indonesia, (2) mereka yang mencari (dan numpang) hidup di sinetron, (3) mereka yang mengururusi kedua-duanya, atau (4) mereka, para penonton yang menikmati semua itu? Entahlah. Yang jelas sinetron telah menjadi media pembodohan masyarakat Indonesia. Wallaulam Bissawab.
Ronidin, pemerhati masalah sosial, dosen Fakultas Sastra Unand
Kamis, 13 Desember 2007
Di Balik Kontroversi Imam Bonjol
Oleh Ronidin
Momen peringatan hari pahlawan tahun ini ditandai dengan aksi pasang cabut gelar pahlawan nasional. Ada pihak yang mengusulkan agar beberapa nama yang telah berjasa pada negeri ini—yang kemudian tersangkut “gerakan daerah” pada tahun 1950-an seperti Syafruddin Prawiranegara dan M. Natsir (mereka terlibat PRRI) dianugerahi gelar pahlawan nasional. Lalu ada pula pihak yang ingin mencabut gelar pahlawan yang sudah ada.
Beberapa waktu yang lalu muncul petisi di internet mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional, dan meluruskan sejarah Kerajaan Pagaruyung, sejarah tanah Sumatera, dan sejarah Republik Indonesia.
Tuanku Imam Bonjol berkhianat pada Kerajaan Pagaruyung, membantai keluarga kerajaan itu, memimpin invasi ke Tanah Batak yang menewaskan lebih satu juta jiwa, menyerang Kerajaan Batak Bakkara dan menewaskan Sisingamangaraja X, bertanggung-jawab atas masuknya Kerajaan Belanda di tanah Sumatera Utara dan Minangkabau. Petisi ini ditulis oleh seorang pemuda Batak Mudy Situmorang—lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember, kelahiran Simanindo, Pulau Samosir Sumatera Utara.
Petisi untuk membatalkan gelar pahlawan nasional bagi Imam Bonjol ini ditanggapi oleh sejarawan Taufik Abdullah sebagai suatu hal yang nonsense. Menurut Taufik, kekerasan di awal gerakan Padri bukan tanggung jawab Tuanku Imam Bonjol. Saat gerakan Padri masih radikal di awal, Tuanku Imam Bonjol masih muda dan baru menjabat sebagai asisten Tuanku Bandaro, salah satu pemimpin gerakan Padri saat itu. Pada masa selanjutnya, malah bersama Tuanku Imam Bonjol, pasukan Padri lebih menitikberatkan serangan pada pihak Belanda. Sementara falsafah adat basandi syarak justru mengemuka di bawah kepemimpinan Imam Bonjol (lihat www.dutamasyarakat.com, 17/10/07).
Gerakan Padri merupakan gerakan sosial kolektif yang melibatkan banyak pemimpin. Tidak hanya Imam Bonjol saja. Masing-masing pemimpin itu memiliki ciri khas tersendiri dalam kepemimpinannya; ada yang “keras” dan ada yang moderat. Tuanku Tambusai misalnya, atas perintah Imam Bonjol pergi menunaikan ibadah haji dan melihat kondisi keislaman di Mekah, sekembalinya, ia menjadi lebih moderat dari sebelumnya karena mendapati Islam moderat di Mekah. Seperti disebutkan dalam buku Tuanku Rao, Tuanku Tambusai menyesal melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana wanita-wanita ditawan oleh pasukan Tuanku Lelo. Tuaku Lelo merupakan salah seorang pemimpin Padri yang bertipikal “keras”.
Menjadi pertanyaan: apakah petisi pencabutan gelar pahlawan Imam Bonjol ini dilatari oleh “heboh” kembali buku Tuanku Rao—yang diterbitkan lagi tanpa perubahan oleh Penerbit LKiS Yokyakarta (Juni 2007) yang lalu atau karena sebab-sebab lain? Pertama, bisa jadi buku Tuanku Rao ini memicu (kembali) bangkitnya semangat anti Padri di kalangan pemuda Batak. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1964 dan dipandang kontroversial. Buku ini membeberkan “kekerasan” yang dilakukan oleh komandan-komandan pasukan Padri versi Mangaradja Onggang Parlindungan (penulis buku ini). Parlindungan menyusun buku itu berdasarkan data sejarah Batak yang dimiliki ayahnya, Sutan Martua Radja. Pada 1918, ayahnya adalah guru sejarah di Normaalschool Pematangsiantar. Ayahnya memiliki warisan dokumen sejarah Batak turun-temurun dari tiga generasi sepanjang 1851-1955.
Di samping itu, Parlindungan memakai bahan-bahan milik Residen Poortman. Posisi Poortman sama dengan Snouck Hurgronje. Snouck adalah seorang ahli Aceh, yang informasinya diminta oleh pemerintah Belanda. Sedangkan Poortman adalah seorang ahli Batak. Poortman pensiun pada 1930 dan kembali ke Belanda. Di Leiden, Belanda, Poortman lalu menemukan laporan-laporan para perwira Padri sepanjang 1816-1820 untuk Tuanku Imam Bonjol. Parlindungan mengenal Poortman secara pribadi dan pernah bertemu di Belanda. Poortman mengirimkan bahan-bahan laporan itu ketika Parlindungan menulis bukunya (lihat www.tempointeraktif.com, 21/10/07).
Apa yang ditulis Parlindungan ini mendapat sanggahan HAMKA melalui bukunya Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Dalam buku setebal 364 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada 1974 itu, HAMKA menuding isi buku Tuanku Rao 80 persen bohong, sedangkan sisanya diragukan kebenarannya. Pasalnya, setiap kali HAMKA menanyakan data dan fakta buku itu, Parlindungan selalu menjawab, ”sudah dibakar.”
Selain itu, HAMKA mempertanyakan kebenaran berbagai isu yang dilontarkan Parlindungan. Isu yang cukup sensitif misalnya pernyataan bahwa selama 300 tahun daerah Minangkabau menganut mazhab Syiah Qaramithah. Hal ini menurut Hamka dusta belaka.
Sementara itu, Basyral Hamidy Harahap menulis buku Greget Tuanku Rao, terbit September lalu sebagai reaksi terhadap buku Tuanku Rao. Basyral adalah Ketua Jurusan Perpustakaan Universitas Indonesia 1965-1967 dan pensiunan pustakawan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV). Ia ingin mengoreksi beberapa info tentang Tuanku Rao yang dianggapnya kurang tepat. Tapi, pada garis besarnya, ia sepakat dan bahkan menambahkan data kekerasan yang dilakukan Padri. ”Buku Parlindungan banyak salahnya, tapi buku itu ada di jalan yang benar.”
Hal kedua yang berkemungkinan memicu lahirnya petisi pencabutan gelar pahlawan Nasional Imam Bonjol adalah konspirasi sentimen agama. Bagi pemuda-pemuda Batak, masuknya Islam ke negeri Batak merupakan neraka yang sengaja diciptakan pasukan Padri untuk nenek moyang mereka. Jadi, ada “dendam” sejarah dan juga “dendam” agama di dada mereka.
Seorang pemuda Batak, Samuel Hutagalung, S.Ag menulis artikel yang cukup panjang tentang keberadaan dan sejarah Islam di tanah Batak yang “haus darah” dengan judul “Dakwah Islam di Tanah Batak” (lihat www.saumimansaud.org-a.googlepages.com). Tulisan ini secara subyektif memandang kekerasan orang-orang Islam dalam menyebarluaskan keyakinannya, termasuk proses masuknya Islam ke Batak melalui kekerasan orang-orang Aceh dan kaum Padri dari Minangkabau.
Samuel Hutagalung juga mengaminkan apa yang ditulis Onggang Parlindungan dalam Tuanku Rao bahwa invasi Padri (Islam) ke tanah Batak telah mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat Batak. Hutagalung menulis bahwa penyerangan Padri ke tanak Batak adalah untuk membawa misi 3 G yaitu Gold, Glory dan Glorious Qur’an atau dengan kata lain untuk mencari harta (ghanimah – rampasan perang), kekuasaan politik atas darul harbi (daerah perang karena belum diislamkan) dan membawa Al-Qur’anul Karim (kitab suci Al-Qur’an yang mulia) agar orang Batak masuk Islam. Diperkirakan setidaknya 200.000 (dua ratus ribu) orang Batak menjadi korban jihad fisabilillah Mujahiddin Padri ini, sebuah jumlah yang sangat luar biasa mengingat populasi waktu itu tidak sebesar saat ini.
Sedangkan hal ketiga yang berkemungkinan mendorong lahirnya petisi ini adalah skenario awal untuk mempopulerkan film layar lebar “Tuanku Imam Bonjol” yang sekarang digarap Reza Zulkifli lebih awal. Dengan adanya heboh Tuanku Imam Bonjol ini, maka produsen film ini akan menangguk keuntungan tersendiri. Tema filmnya menjadi popular lebih awal sebelum selesai syuting. Masyarakat akan bertanya-tanya seputar Imam Bonjol. Ketika rasa keingintahuan masyarakat tentang sosok Imam Bonjol besar, lalu muncul filmnya, sehingga animo untuk menonton akan sangat besar. Kemungkinan ini bisa saja terjadi.
Begitulah, kontroversi Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional menjadi sesuatu yang misteri. Ada apa sebenarnya? Ketiga kemungkinan yang dijelaskan di atas bisa jadi ada benarnya dan bisa jadi pula hanya praduga. Yang jelas pada peringatan hari pahlawan tahun ini dimeriahkan dengan wacana pasang cabut gelar pahlawan nasional. Walahualam bissawab.
Momen peringatan hari pahlawan tahun ini ditandai dengan aksi pasang cabut gelar pahlawan nasional. Ada pihak yang mengusulkan agar beberapa nama yang telah berjasa pada negeri ini—yang kemudian tersangkut “gerakan daerah” pada tahun 1950-an seperti Syafruddin Prawiranegara dan M. Natsir (mereka terlibat PRRI) dianugerahi gelar pahlawan nasional. Lalu ada pula pihak yang ingin mencabut gelar pahlawan yang sudah ada.
Beberapa waktu yang lalu muncul petisi di internet mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional, dan meluruskan sejarah Kerajaan Pagaruyung, sejarah tanah Sumatera, dan sejarah Republik Indonesia.
Tuanku Imam Bonjol berkhianat pada Kerajaan Pagaruyung, membantai keluarga kerajaan itu, memimpin invasi ke Tanah Batak yang menewaskan lebih satu juta jiwa, menyerang Kerajaan Batak Bakkara dan menewaskan Sisingamangaraja X, bertanggung-jawab atas masuknya Kerajaan Belanda di tanah Sumatera Utara dan Minangkabau. Petisi ini ditulis oleh seorang pemuda Batak Mudy Situmorang—lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember, kelahiran Simanindo, Pulau Samosir Sumatera Utara.
Petisi untuk membatalkan gelar pahlawan nasional bagi Imam Bonjol ini ditanggapi oleh sejarawan Taufik Abdullah sebagai suatu hal yang nonsense. Menurut Taufik, kekerasan di awal gerakan Padri bukan tanggung jawab Tuanku Imam Bonjol. Saat gerakan Padri masih radikal di awal, Tuanku Imam Bonjol masih muda dan baru menjabat sebagai asisten Tuanku Bandaro, salah satu pemimpin gerakan Padri saat itu. Pada masa selanjutnya, malah bersama Tuanku Imam Bonjol, pasukan Padri lebih menitikberatkan serangan pada pihak Belanda. Sementara falsafah adat basandi syarak justru mengemuka di bawah kepemimpinan Imam Bonjol (lihat www.dutamasyarakat.com, 17/10/07).
Gerakan Padri merupakan gerakan sosial kolektif yang melibatkan banyak pemimpin. Tidak hanya Imam Bonjol saja. Masing-masing pemimpin itu memiliki ciri khas tersendiri dalam kepemimpinannya; ada yang “keras” dan ada yang moderat. Tuanku Tambusai misalnya, atas perintah Imam Bonjol pergi menunaikan ibadah haji dan melihat kondisi keislaman di Mekah, sekembalinya, ia menjadi lebih moderat dari sebelumnya karena mendapati Islam moderat di Mekah. Seperti disebutkan dalam buku Tuanku Rao, Tuanku Tambusai menyesal melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana wanita-wanita ditawan oleh pasukan Tuanku Lelo. Tuaku Lelo merupakan salah seorang pemimpin Padri yang bertipikal “keras”.
Menjadi pertanyaan: apakah petisi pencabutan gelar pahlawan Imam Bonjol ini dilatari oleh “heboh” kembali buku Tuanku Rao—yang diterbitkan lagi tanpa perubahan oleh Penerbit LKiS Yokyakarta (Juni 2007) yang lalu atau karena sebab-sebab lain? Pertama, bisa jadi buku Tuanku Rao ini memicu (kembali) bangkitnya semangat anti Padri di kalangan pemuda Batak. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1964 dan dipandang kontroversial. Buku ini membeberkan “kekerasan” yang dilakukan oleh komandan-komandan pasukan Padri versi Mangaradja Onggang Parlindungan (penulis buku ini). Parlindungan menyusun buku itu berdasarkan data sejarah Batak yang dimiliki ayahnya, Sutan Martua Radja. Pada 1918, ayahnya adalah guru sejarah di Normaalschool Pematangsiantar. Ayahnya memiliki warisan dokumen sejarah Batak turun-temurun dari tiga generasi sepanjang 1851-1955.
Di samping itu, Parlindungan memakai bahan-bahan milik Residen Poortman. Posisi Poortman sama dengan Snouck Hurgronje. Snouck adalah seorang ahli Aceh, yang informasinya diminta oleh pemerintah Belanda. Sedangkan Poortman adalah seorang ahli Batak. Poortman pensiun pada 1930 dan kembali ke Belanda. Di Leiden, Belanda, Poortman lalu menemukan laporan-laporan para perwira Padri sepanjang 1816-1820 untuk Tuanku Imam Bonjol. Parlindungan mengenal Poortman secara pribadi dan pernah bertemu di Belanda. Poortman mengirimkan bahan-bahan laporan itu ketika Parlindungan menulis bukunya (lihat www.tempointeraktif.com, 21/10/07).
Apa yang ditulis Parlindungan ini mendapat sanggahan HAMKA melalui bukunya Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Dalam buku setebal 364 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada 1974 itu, HAMKA menuding isi buku Tuanku Rao 80 persen bohong, sedangkan sisanya diragukan kebenarannya. Pasalnya, setiap kali HAMKA menanyakan data dan fakta buku itu, Parlindungan selalu menjawab, ”sudah dibakar.”
Selain itu, HAMKA mempertanyakan kebenaran berbagai isu yang dilontarkan Parlindungan. Isu yang cukup sensitif misalnya pernyataan bahwa selama 300 tahun daerah Minangkabau menganut mazhab Syiah Qaramithah. Hal ini menurut Hamka dusta belaka.
Sementara itu, Basyral Hamidy Harahap menulis buku Greget Tuanku Rao, terbit September lalu sebagai reaksi terhadap buku Tuanku Rao. Basyral adalah Ketua Jurusan Perpustakaan Universitas Indonesia 1965-1967 dan pensiunan pustakawan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV). Ia ingin mengoreksi beberapa info tentang Tuanku Rao yang dianggapnya kurang tepat. Tapi, pada garis besarnya, ia sepakat dan bahkan menambahkan data kekerasan yang dilakukan Padri. ”Buku Parlindungan banyak salahnya, tapi buku itu ada di jalan yang benar.”
Hal kedua yang berkemungkinan memicu lahirnya petisi pencabutan gelar pahlawan Nasional Imam Bonjol adalah konspirasi sentimen agama. Bagi pemuda-pemuda Batak, masuknya Islam ke negeri Batak merupakan neraka yang sengaja diciptakan pasukan Padri untuk nenek moyang mereka. Jadi, ada “dendam” sejarah dan juga “dendam” agama di dada mereka.
Seorang pemuda Batak, Samuel Hutagalung, S.Ag menulis artikel yang cukup panjang tentang keberadaan dan sejarah Islam di tanah Batak yang “haus darah” dengan judul “Dakwah Islam di Tanah Batak” (lihat www.saumimansaud.org-a.googlepages.com). Tulisan ini secara subyektif memandang kekerasan orang-orang Islam dalam menyebarluaskan keyakinannya, termasuk proses masuknya Islam ke Batak melalui kekerasan orang-orang Aceh dan kaum Padri dari Minangkabau.
Samuel Hutagalung juga mengaminkan apa yang ditulis Onggang Parlindungan dalam Tuanku Rao bahwa invasi Padri (Islam) ke tanah Batak telah mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat Batak. Hutagalung menulis bahwa penyerangan Padri ke tanak Batak adalah untuk membawa misi 3 G yaitu Gold, Glory dan Glorious Qur’an atau dengan kata lain untuk mencari harta (ghanimah – rampasan perang), kekuasaan politik atas darul harbi (daerah perang karena belum diislamkan) dan membawa Al-Qur’anul Karim (kitab suci Al-Qur’an yang mulia) agar orang Batak masuk Islam. Diperkirakan setidaknya 200.000 (dua ratus ribu) orang Batak menjadi korban jihad fisabilillah Mujahiddin Padri ini, sebuah jumlah yang sangat luar biasa mengingat populasi waktu itu tidak sebesar saat ini.
Sedangkan hal ketiga yang berkemungkinan mendorong lahirnya petisi ini adalah skenario awal untuk mempopulerkan film layar lebar “Tuanku Imam Bonjol” yang sekarang digarap Reza Zulkifli lebih awal. Dengan adanya heboh Tuanku Imam Bonjol ini, maka produsen film ini akan menangguk keuntungan tersendiri. Tema filmnya menjadi popular lebih awal sebelum selesai syuting. Masyarakat akan bertanya-tanya seputar Imam Bonjol. Ketika rasa keingintahuan masyarakat tentang sosok Imam Bonjol besar, lalu muncul filmnya, sehingga animo untuk menonton akan sangat besar. Kemungkinan ini bisa saja terjadi.
Begitulah, kontroversi Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional menjadi sesuatu yang misteri. Ada apa sebenarnya? Ketiga kemungkinan yang dijelaskan di atas bisa jadi ada benarnya dan bisa jadi pula hanya praduga. Yang jelas pada peringatan hari pahlawan tahun ini dimeriahkan dengan wacana pasang cabut gelar pahlawan nasional. Walahualam bissawab.
Malamang: Antara Tradisi dan Harga Diri
Masyarakat Minangkabau sebagaimana juga masyarakat lainnya, memiliki tradisi yang unik dan beragam. Pada waktu-waktu tertentu, tradisi itu akan menjadi iven budaya yang menarik. Di Pariaman misalnya, ada tradisi Tabuik setiap bulan Muharam sebagai ivent budaya tahunan untuk mengenang peristiwa terbunuhnya cucu nabi Muhammad saw Hassan dan Hussen dalam perang Karbala. Di sebagian wilayah Kabupaten Solok ada tradisi mambantai di palo banda (menyemblih sapi atau kerbau di hulu sungai) sebelum turun ke sawah. Lalu, ada pula tradisi menujuh hari, empat belas hari, empat puluh hari dan seratus hari kematian.
Malamang (membuat lemang) juga merupakan bagian dari tradisi yang ada di Minangkabau. Tradisi ini dapat ditemui hampir di seluruh wilayah Minangkabau baik di daerah darek (darat) maupun di daerah rantau (daerah tempatan). Tradisi malamang ini termasuk ke dalam ranah folklore. Karena menurut Oxford Dictionary, Folklore mengandung arti keyakinan atau kisah-kisah lama (tradisional) mengenai rakyat,sekaligus juga bisa dimengerti sebagai studi atas kisah, tradisi atau keyakinan rakyat itu sendiri. Rakyat di sini bisa suku, masyarakat, atau penduduk suatu wilayah dengan ragam budayanya sendiri (Helmi Mustafa, 2005 dalam http://www.padhangmbulan.com). Sedangkan menurut Maryaeni (dalam Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia Tahun 10, Nomor 1, Februari 2004), secara etimologi, kata folklore terdiri atas kata folk dan lore. Folk adalah masyarakat pemilik suatu kebudayaan tertentu, sedangkan lore adalah suatu kebudayaan, tradisi, dan kesenian yang dimiliki oleh kolektif tertentu. Folklor dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
Malamang termasuk folklore bukan lisan. Proses Malamang sebagai tradisi dilaksanakan masyarakat Minangkabau atas konvensi lingkungan sosialnya pada momen-momen tertentu misalnya ketika akan masuk dan sesudah puasa, ketika maulid nabi, ketika memperingati hari kematian, dan ketika baralek (pesta perkawinan). Tradisi ini ada karena merupakan warisan budaya. Oleh karena itu, malamang dapat dipandang sebagai kekhasan daerah yang perlu dilestarikan. Tradisi ini bukan saja bernilai budaya, tetapi juga dapat bernilai ekonomis.
Seperti telah disebutkan, proses malamang dilaksanakan sebagai sebuah tradisi yang masih ada di Minangkabau. Untuk itu, ada beberapa pertanyaan yang mengedepan bagi saya terkait dengan ini. Pertama, apa dan untuk apa sebenarnya malamang itu? Kedua, kapan waktu pelaksanaannya? Ketiga, apakah ada sangsi bagi warga yang tidak malamang pada waktu yang sudah disepati bersama? Keempat, apakah ada perbedaan tradsi ini antara daerah satu dengan daerah lainnya di Minangkabau? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas akan coba dibentangkan dalam tulisan ini.
Malamang merupakan akar tradisi yang tidak dapat dipisahceraikan dengan masyarakat Minangkabau. Malamang yang dimaksud di sini bukan yang dilakukan oleh pribadi untuk kepentingan pribadi, tetapi malamang sebagai bagian dari kebiasaan yang dilakukan secara bersama oleh sekelompok masyarakat. Malamang sebagai sebuah tradisi biasanya dilaksanakan untuk kepentingan tertentu. Di waktu akan masuk puasa, malamang dilaksanakan secara bersama oleh masyarakat sebagai tradisi menyambut Ramadhan. Lamang yang dibuat akan dihidangkan kepada tamu (atau siapa saja) yang datang ke rumah. Lamang merupakan kudapan resmi di saat sebuah keluarga mengundang warga untuk membaca doa selamat memasuki bulan puasa. Begitu pula di waktu memasuki hari raya, malamang dilaksanakan dengan tujuan yang tidak jauh berbeda.
Sementara itu, di sebagian masyarakat Minangkabau seperti di Solok, tradisi malamang juga dilaksanakan pada saat memperingati hari kematian. Utamanya pada peringatan empat belas hari kematian, empat puluh hari kematian atau seratus hari kematian. Tujuannya tidak jauh berbeda dengan yang lain, yaitu untuk menjamu tamu (masyarakat) yang diundang. Malamang dalam konteks ini, sebenarnya akan menimbulkan kontradiksi sosial jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi keluarga yang meninggal. Adakalanya keluarga tersebut tidak sanggup, tetapi karena tidak mau menanggung malu sebagai salah satu bentuk penghukuman publik, maka, diusahakan dengan berbagai jalan bahkan dengan menghutang. Padahal yang demikian itu tidaklah disyariatkan agama. Sementara itu di beberapa daerah, adakalanya tradisi malamang dilaksanakan pada pesta perkawikan. Dalam kondisi ini sebagai tradisi, maka ia tidak akan berbenturan dengan kepentingan lain, karena memang dalam pesta perkawinan pihak keluarga penyelenggara sudah berniat untuk “berhabis-habis”.
Sebagai tradisi, malamang juga dilaksanakan pada saat memperingati maulid nabi. Hampir seluruh negeri di Minangkabau melaksanakannya pada waktu dimaksud. Di Pariaman misalnya, tradisi ini dilaksanakan secara besar-besaran. Menurut Drs. M.Yusuf, M. Hum. (Pimpinan Studio Audiovisual Fakultas Sastra Universitas Andalas) yang merekam peristiwa ini Sabtu dan Minggu (27-28/05/06) yang lalu, rata-rata sebuah keluarga membuat lemang 150-250 batang atau setara dengan 75-125 liter sipuluik. Menurut Azwar, S.S. yang juga ikut serta dalam rombongan tim Audiovisual FSUA itu, Masing-masing keluarga akan berlomba-lomba untuk malamang. Melihat tetangganya malamang 80 liter misalnya, kalau bisa, ia akan malamang sebanyak 90 atau 100 liter. Semiskin-miskinnya sebuah keluarga, minimal mereka akan malamang 80-90 batang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebiasaan/tradisi malamang ini dilaksanakan demi sebuah harga diri. Harga diri di mata sesama anggota masyarakat.
Menurut Azwar, malamang versi masyarakat Pariaman, sebenarnya bermula dari kehendak Syeh Burhanudin Ulakan pada awal-awal penyebaran Islam di Pariaman kira-kira pada abad ke XVI. Syeh Burhanudin menginginkan makanan yang dibuat dari benda-benda yang bersih dari najis. Dapat diketahui bahwa ketika itu, masyarakat masih berada dalam masa pra-Islam yang serampangan menggunakan peralatan masaknya antara memasak makanan yang diharamkan dengan makanan yang dihalalkan Islam. Syeh Burhanudin ingin makanan yang di masak dengan alat yang alami dan bersih. Maka salah satu cara yang ditempuh masyarakat adalah dengan membuat makanan dengan menggunakan bambu yang dibakar (lemang). Dalam perkembangannya kemudian, lemang menjadi makanan wajib bagi guru-guru mengaji di surau. Murid-murid akan membawakan lemang untuk gurunya di surau karena di samping praktis, makanan ini juga lambat basi.
Begitulah, tradisi malamang menjadi tradisi yang sampai hari ini masih ada dan akan tetap ada. Masyarakat Pariaman dan juga masyarakat lainnya di Ranah Bundo ini akan tetap mempertahankan tradisi itu karena memang di sana tersimpan entitas budaya dan harga diri. Masyarakat Minangkabau tidak mungkin menggadaikan identitasnya. Wallahualam Bissawab.
Malamang (membuat lemang) juga merupakan bagian dari tradisi yang ada di Minangkabau. Tradisi ini dapat ditemui hampir di seluruh wilayah Minangkabau baik di daerah darek (darat) maupun di daerah rantau (daerah tempatan). Tradisi malamang ini termasuk ke dalam ranah folklore. Karena menurut Oxford Dictionary, Folklore mengandung arti keyakinan atau kisah-kisah lama (tradisional) mengenai rakyat,sekaligus juga bisa dimengerti sebagai studi atas kisah, tradisi atau keyakinan rakyat itu sendiri. Rakyat di sini bisa suku, masyarakat, atau penduduk suatu wilayah dengan ragam budayanya sendiri (Helmi Mustafa, 2005 dalam http://www.padhangmbulan.com). Sedangkan menurut Maryaeni (dalam Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia Tahun 10, Nomor 1, Februari 2004), secara etimologi, kata folklore terdiri atas kata folk dan lore. Folk adalah masyarakat pemilik suatu kebudayaan tertentu, sedangkan lore adalah suatu kebudayaan, tradisi, dan kesenian yang dimiliki oleh kolektif tertentu. Folklor dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
Malamang termasuk folklore bukan lisan. Proses Malamang sebagai tradisi dilaksanakan masyarakat Minangkabau atas konvensi lingkungan sosialnya pada momen-momen tertentu misalnya ketika akan masuk dan sesudah puasa, ketika maulid nabi, ketika memperingati hari kematian, dan ketika baralek (pesta perkawinan). Tradisi ini ada karena merupakan warisan budaya. Oleh karena itu, malamang dapat dipandang sebagai kekhasan daerah yang perlu dilestarikan. Tradisi ini bukan saja bernilai budaya, tetapi juga dapat bernilai ekonomis.
Seperti telah disebutkan, proses malamang dilaksanakan sebagai sebuah tradisi yang masih ada di Minangkabau. Untuk itu, ada beberapa pertanyaan yang mengedepan bagi saya terkait dengan ini. Pertama, apa dan untuk apa sebenarnya malamang itu? Kedua, kapan waktu pelaksanaannya? Ketiga, apakah ada sangsi bagi warga yang tidak malamang pada waktu yang sudah disepati bersama? Keempat, apakah ada perbedaan tradsi ini antara daerah satu dengan daerah lainnya di Minangkabau? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas akan coba dibentangkan dalam tulisan ini.
Malamang merupakan akar tradisi yang tidak dapat dipisahceraikan dengan masyarakat Minangkabau. Malamang yang dimaksud di sini bukan yang dilakukan oleh pribadi untuk kepentingan pribadi, tetapi malamang sebagai bagian dari kebiasaan yang dilakukan secara bersama oleh sekelompok masyarakat. Malamang sebagai sebuah tradisi biasanya dilaksanakan untuk kepentingan tertentu. Di waktu akan masuk puasa, malamang dilaksanakan secara bersama oleh masyarakat sebagai tradisi menyambut Ramadhan. Lamang yang dibuat akan dihidangkan kepada tamu (atau siapa saja) yang datang ke rumah. Lamang merupakan kudapan resmi di saat sebuah keluarga mengundang warga untuk membaca doa selamat memasuki bulan puasa. Begitu pula di waktu memasuki hari raya, malamang dilaksanakan dengan tujuan yang tidak jauh berbeda.
Sementara itu, di sebagian masyarakat Minangkabau seperti di Solok, tradisi malamang juga dilaksanakan pada saat memperingati hari kematian. Utamanya pada peringatan empat belas hari kematian, empat puluh hari kematian atau seratus hari kematian. Tujuannya tidak jauh berbeda dengan yang lain, yaitu untuk menjamu tamu (masyarakat) yang diundang. Malamang dalam konteks ini, sebenarnya akan menimbulkan kontradiksi sosial jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi keluarga yang meninggal. Adakalanya keluarga tersebut tidak sanggup, tetapi karena tidak mau menanggung malu sebagai salah satu bentuk penghukuman publik, maka, diusahakan dengan berbagai jalan bahkan dengan menghutang. Padahal yang demikian itu tidaklah disyariatkan agama. Sementara itu di beberapa daerah, adakalanya tradisi malamang dilaksanakan pada pesta perkawikan. Dalam kondisi ini sebagai tradisi, maka ia tidak akan berbenturan dengan kepentingan lain, karena memang dalam pesta perkawinan pihak keluarga penyelenggara sudah berniat untuk “berhabis-habis”.
Sebagai tradisi, malamang juga dilaksanakan pada saat memperingati maulid nabi. Hampir seluruh negeri di Minangkabau melaksanakannya pada waktu dimaksud. Di Pariaman misalnya, tradisi ini dilaksanakan secara besar-besaran. Menurut Drs. M.Yusuf, M. Hum. (Pimpinan Studio Audiovisual Fakultas Sastra Universitas Andalas) yang merekam peristiwa ini Sabtu dan Minggu (27-28/05/06) yang lalu, rata-rata sebuah keluarga membuat lemang 150-250 batang atau setara dengan 75-125 liter sipuluik. Menurut Azwar, S.S. yang juga ikut serta dalam rombongan tim Audiovisual FSUA itu, Masing-masing keluarga akan berlomba-lomba untuk malamang. Melihat tetangganya malamang 80 liter misalnya, kalau bisa, ia akan malamang sebanyak 90 atau 100 liter. Semiskin-miskinnya sebuah keluarga, minimal mereka akan malamang 80-90 batang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebiasaan/tradisi malamang ini dilaksanakan demi sebuah harga diri. Harga diri di mata sesama anggota masyarakat.
Menurut Azwar, malamang versi masyarakat Pariaman, sebenarnya bermula dari kehendak Syeh Burhanudin Ulakan pada awal-awal penyebaran Islam di Pariaman kira-kira pada abad ke XVI. Syeh Burhanudin menginginkan makanan yang dibuat dari benda-benda yang bersih dari najis. Dapat diketahui bahwa ketika itu, masyarakat masih berada dalam masa pra-Islam yang serampangan menggunakan peralatan masaknya antara memasak makanan yang diharamkan dengan makanan yang dihalalkan Islam. Syeh Burhanudin ingin makanan yang di masak dengan alat yang alami dan bersih. Maka salah satu cara yang ditempuh masyarakat adalah dengan membuat makanan dengan menggunakan bambu yang dibakar (lemang). Dalam perkembangannya kemudian, lemang menjadi makanan wajib bagi guru-guru mengaji di surau. Murid-murid akan membawakan lemang untuk gurunya di surau karena di samping praktis, makanan ini juga lambat basi.
Begitulah, tradisi malamang menjadi tradisi yang sampai hari ini masih ada dan akan tetap ada. Masyarakat Pariaman dan juga masyarakat lainnya di Ranah Bundo ini akan tetap mempertahankan tradisi itu karena memang di sana tersimpan entitas budaya dan harga diri. Masyarakat Minangkabau tidak mungkin menggadaikan identitasnya. Wallahualam Bissawab.
Rabu, 12 Desember 2007
Perempuan: Dipinggirkan atau Meminggirkan Diri
Orang-orang jahiliyah memandang perempuan sebagai makluk kelas dua yang pantas diperlakukan semau-maunya. Demonthenes[1] pernah berkata, “kita perlu gundik untuk memuaskan kesenangan kita dan istri untuk melahirkan keturunan kita.” Tidak ada gundik dan istri yang laki-laki. Orang-orang jahiliyah sebelum datangnya Rasulullah SAW melakukan wa’datul banat yaitu penguburan setiap anak perempuan yang lahir. Aib besar bagi orang-orang itu mendapatkan anak perempuan. Bagi suami, begitu ada kabar bahwa anak yang dilahirkan istrinya adalah perempuan, maka serta merta mukanya merah padam menahan geram. Secepatnya ia akan menggali lubang untuk menimbun bayi itu hidup-hidup. Atau si istri disuruh melahirkan di depan lubang yang sudah disiapkan, begitu yang mengoek adalah anak perempuan, secepat kilat akan ditendang ke dalam lubang itu. Sang bayi menangis sebentar, setelah itu diam untuk selamanya. Tapi, jika yang lahir anak laki-laki, maka akan disambut dengan penuh kebahagian.
Kalau ada anak perempuan yang terlanjur dewasa, maka ia akan diperlakukan seperti hewan. Dia akan dikurung atau disimpan; tidak diperlihatkan kepada orang lain. Dia dijadikan tahanan rumah, suruh bekerja yang berat-berat, suruh dia bekerja paksa. Jika ada yang bertanya berapa orang anakmu, jawab saja sebanyak anak laki-laki.[2] Kalau perempuan itu telah bersuami, suaminya berhak melakukan apa saja terhadapnya. Kalau kemudian dia menjadi janda, dia boleh diwariskan seperti barang. Di India, seorang suami berhak membakar hidup-hidup istrinya bila istrinya itu sudah tidak menggairahkan lagi atau kulitnya sudah mulai kendor.
Tetapi kemudian citra perempuan diangkat Rasulullah Muhammad SAW semulia-mulianya. Perspektif masyarakat jahiliyah yang keliru memandang keberadaan perempuan, dikembalikan pada tempat yang semestinya. Nabi Muhammad SAW menempatkan peran dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki dalam konstruksi sosial yang sama dan dinamis. Tidak ada dasar hukumnya laki-laki lebih baik, terhormat dan lebih mulia dari perempuan kecuali bila dilihat dari sisi ketaqwaanya (Q.S. 49: 13). Perempuan sama-saama berhak untuk menjalani hidupnya dalam masyarakat (bergaul, berinteraksi, berkarir, beribadah, dsb) sebagaimana laki-laki menjalani hidupnya pula. Perempuan bukanlah “makhluk kelas dua” yang bisa diperlakukan sekehendak hati laki-laki. Perempuan tidak ditakdirkan untuk berada di bawah “kekuasaan” laki-laki. Melalui salah satu hadisnya, Rasulullah SAW memposisikan bahwa perempuan adalah mitra atau saudara kandung laki-laki (HR Abu Daut). Jadi, dapat dikatakan bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah orang pertama sebagai peletak dasar konsep kesetaraan gender[3] di muka bumi ini.
Pondasi kesetaraan gender yang dicanangkan Nabi Muhammad SAW itu menempatkan perempuan dan laki-laki secara adil dan setara. Keduanya berhak memperoleh akses manfaat dan partisipasi dalam berbagai segi kehidupan. Laki-laki dan perempuan dapat berperan secara dinamis dalam lingkup budayanya masing-masing. Tidak ada perempuan yang terpinggirkan atau inferior. Dalam masyarakat Hindu dikenal konsep Ardanariswari yaitu simbol Tuhan dalam manifestasi sebagai setengah `purusa` (laki-laki) dan `pradana` (perempuan). Makna simbolis dari konsep Ardanariswari itu adalah bahwa kedudukan dan peranan perempuan setara dan saling melengkapi tugas kaum laki-laki. Tidak ada alasan serta argumentasi teologis yang menyatakan, kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Itu sebabnya dalam berbagai sloka Hindu dapat ditemukan aspek yang menguatkan kedudukan perempuan di antara laki-laki.
Dalam logika yang sederhana, dapat dipahami bahwa kesetraan gender itu menghendaki laki-laki berperan sebagaimana mestinya laki-laki dan perempuan berperan sebagaimana mestinya perempuan. Kalau toh kemudian ada perempuan memiliki fisik yang kuat lalu bekerja dengan menggunakan kekuatan fisiknya itu--seperti ibu-ibu di pedesaan yang turut bertani atau menjadi buruh membantu suaminya mencari nafkah atau bekerja di sektor publik lainnya-- itu adalah sesuatu yang wajar dalam sebuah konstruksi sosial. Hal itu tidak perlu diperdebatkan sebagaimana adanya laki-laki yang lemah dan tidak bekerja. Justru menjadi aneh kalau ada perempuan maupun laki-laki yang berkutat memegang prinsip 3 M (malas, manja dan memble).
Namun, jauh hari kemudian--seperti yang kita nikmati hari ini--pondasi pokok kesetaraan gender yang telah diperjuangakan Nabi Muhammad SAW itu tercerabut kembali dari akarnya. Kini terjadi (lagi) berbagai bentuk kesenjangan atau ketidakadilan gender. Di satu sisi, perempuan dan laki-laki saling berebut untuk mengukuhkan eksistensi mereka masing-masing pada level yang dipandang lebih terhormat. Sedangkan pada sisi yang lain, laki-laki dan perempuan melakukan prosesi dehumanisasi. Laki-laki “menjual” perempuan dan perempuan “memperbudak” laki-laki untuk berbagai kepentingan kehidupan moderen. Ujungnya-ujungnya kembali lagi ke persoalan klasik; perempuan selalu saja berada pada posisi yang “kalah”. Laki-laki berkuasa atas dirinya. Sekuat apapun perempuan itu, tetap saja ia menjadi “korban” atau bahkan “dikorbankan”. Sungguh naïf.
Jadi, persoalan yang berkaitan dengan perempuan memang tidak akan habis-habisnya sampai dunia ini tutup usia. Justru itu, yang dapat dilakukan adalah memandang persoalan-persoalan tersebut secara proporsional. Kalau dulu perempuan dipinggirkan perannya, direndahkan, dilecehkan, dikasari, dan bahkan keberadaannya dianggap sebagai makhluk “kelas dua” tidak lain karena memang tradisi masyarakat jahiliyah mempersepsi perempuan seperti itu. Jika sekarang perempuan (kembali) merasa diperlakukan seperti yang demikian itu dan bahkan “dijual” untuk berbagai kepentingan, maka harus ditelisik secara berkejelasan sebab-musabab yang melatarbelakanginya. Dapat diduga bahwa pada fenomena ini sudah bertengger berbagai kepentingan seperti kepentingan kapitalisme moderen, kepentingan materialisme, kepentingan kolonialisme dan kepentingan-kepentingan globalisme lainnya.
Dengan demikian, ada sesuatu yang mengusik kita: benarkah para perempuan di zaman ini “dipinggirkan” peran dan keberadaannya atau mereka sendiri yang sengaja “meminggirkan” diri. Kalau mau jujur, memang banyak peran dan keberadaan perempuan yang dipinggirkan. Ini terkait dengan berbagai kepentingan laki-laki atas perempuan tersebut. Akan tetapi, kita tidak pula perlu menutup mata bahwa banyak juga perempuan yang secara sengaja maupun tidak telah beraktivitas pada posisi yang dapat meminggirkan keberadaannya. Karena ada jurang menganga, mereka yang berada terlalu di pinggir, akhirnya terpeleset. Lalu hanyut (terjerumus) diseret perputaran arus peradaban (globalisasi) yang umumnya memang menawarkan kesenangan-kesenangan tanpa batas dan glamor.
Di Barat atau di negara-negara liberal lainnya, perempuan yang mendapati dirinya direndahkan memobilisasi gerakan perlawanan yang kemudian dikenal dengan gerakan feminisme. Gerakan ini lahir sembari mengusung cita-cita ingin memperjuangkan kesetaraan laki-laki perempuan dengan landasan equal right’s movement ‘gerakan persamaan hak’ (kesetaraan gender). Gerakan ini melakukan perlawanan terhadap berbagai ketidakadilan yang diperlakukan terhadap perempuan di seluruh pelosok bumi dengan mendorong perempuan untuk lebih maju, lebih berpendidikan dan sebagainya. Di satu sisi gerakan ini memang memberi “pencerahan” terhadap eksistensi perempuan. Akan tetapi, pada sisi lain, mereka justru seruduk sana seruduk sini dan bahkan feminisme radikal pernah menyalahkan Tuhan atau minimal protes pada Allah karena menciptakan para nabi dari jenis kelamin laki-laki saja, tidak ada nabi yang perempuan. Mereka mempertanyakan apakah karena Tuhan itu juga laki-laki. Nauzubillah.
Belakangan, dari pergerakan kaum feminisme ini telah melahirkan perbuatan-perbuatan yang dapat dianggap bias gender. Umpamanya, gerakan ini menentang habis-habisan persoalan poligami. Namun mereka hanya berkoar menentang poligami dengan berbagai cibiran tanpa dapat mencarikan solusi untuk menghadapi persoalan perempuan dewasa untuk bisa berumah tangga (bersuami dan kemudian memiliki anak) secara legal sebagai sebuah kebutuhan fitrah (biologis) dan kebutuhan sosial. Bukan cuma tak dapat memberi solusi, akan tetapi justru banyak aktivis feminis yang kemudian memilih hidup sendiri tanpa bersuami (berkeluarga)[4]. Cara ini bertujuan ingin membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga yang biasa disebut women’s liberation movement atau women’s emancipation movement yaitu gerakan pembebasan wanita[5]. Akibatnya, mereka kemudian hidup dengan kondisi psikis yang cendrung labil dan kesepian di hari tuanya tanpa anak dan keluaga. Mereka menderita di atas cita-cita kesetaraan yang mereka perjuangkan .
Dalam propaganda-propaganda pergerakan kaum feminis ini, mereka mempopulerkan imeg bahwa poligami sesuatu yang menguntungkan laki-laki saja. Perempuan hanya menjadi korban (objek) laki-laki. Padahal sebenarnya poligami justru dapat dipandang sebagai sesuatu yang juga menguntungkan perempuan. Jika kita bicara secara kuantitatif, maka jumlah perempuan –baik yang masih gadis maupun yang sudah menjadi janda--jelas melebihi laki-laki, maka cara untuk melindungi perempuan dari perbuatan-perbuatan maksiat –terkait dengan penyaluran hasrat biologis yang halal tentunya—dan menyelamatkannya dari kesepian di hari tua –sebab memiliki suami dan anak sebagai belahan jiwanya—salah satuya adalah dengan poligami. Adakah perempuan-perempuan di Barat berpikir soal kemaksiatan dan kesepian itu (?) Tidak. Justru perempuan yang berusaha menjaga kesalehan dan kemurnian diri mereka, dianggap sebagai salah satu faktor penyebab inferioritas dan penghambat perkembangan perempuan menjadi manusia seutuhnya.
Selain itu, gerakan feminisme menuding bahwa telah terjadi banyak ketidakadilan gender dalam urusan poligami. Kenapa laki-laki saja yang berhak berpoligami, sementara perempuan dilarang berpoliandri [6]. Kalau pandangan ini diteruskan untuk ukuran Indonesia, maka ada sesuatu yang mesti dipikirkan; jika poliandri itu terjadi, belum terbayangkan --setidaknya bagi saya-- bagaimana seorang perempuan dengan kondisi ke-indonesiaannya harus melayani suami-suaminya. Berbanding terbalik dengan kondisi di Eropa yang memang telah melegalkan kebebasan. Perempuan yang telah lepas dari tanggung jawab orang tuanya berhak melakukan sesuatu yang dikehendakinya tanpa harus ada yang merintang-rintanginya. Poliandri mungkin tidak mereka lakukan secara kasat mata, tetapi praktik poliandri tersebut telah membias dari perbuatan mereka di mana seorang perempuan bebas memilih laki-laki yang diinginkannnya dan setelah itu dapat berganti-ganti pasangan kencan sesering yang diinginkannya. Oleh karena itu, tuntutan persamaan hak (gender) untuk melegalkan poliandri bagi perempuan, pada kenyataannya tetap saja sebagai bola liar yang memposisikan perempuan sebagai “korban”. Hal ini terjadi karena laki-laki mempersepsi perempuan tersebut sebagai “barang” yang “menjajakan diri”. Inilah sebuah fenomena tragis yang meruntuhkan derajat kemuliaan yang diberikan kepada perempuan.
Satu masalah penting lainnya yang menunjukkan terjadinya bias gender dalam perjuangan kaum feminis adalah keinginan mereka untuk melegalkan aborsi. Dalam Deklarasi Beijing tahun 1995 disebutkan bahwa aborsi adalah hak legal kaum perempuan. Pelegalan aborsi jelas bertujuan untuk melegalkan pula hubungan bebas pranikah yang dilakukan pasangan muda-mudi seperti di Barat. Akan tetapi, masalah ini mendapat penentangan dari negara-negara muslim. Doktor Alasvand, seorang dosen di Universitas Teheran, menyatakan, “Deklarasi Beijing tidak memberikan penghormatan kepada nyawa manusia (perempuan) sehingga deklarasi ini sama saja dengan dokumen-dokumen internasional lain yang tidak menghiraukan masalah budaya pribumi dan agama. Deklarasi ini tidak menyajikan penjelasan yang tepat mengenai berbagai masalah perempuan serta tidak mengemukakan jalan keluar dari masalah-masalah tersebut yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya berbagai bangsa”[7]
Nah, itulah beberapa contoh bias gender dalam gerakan feminisme yang lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap ketertindasan/keterpinggiran perempuan. Boleh dikata bahwa bias gender tersebut menyebabkan perempuan tetap dalam posisi yang tidak menguntungkan. Dalam konteks ini gerakan feminis dipandang gagal memperjuangkan cita-citanya yang justru berbalik arah membawa perempuan pada upaya pengingkaran naluri dan fitrah manusia.
Perempuan Terpinggirkan atau Meminggirkan Diri, Lalu Jalan Keluarnya Gimana?
Dari pembicaraan di atas, jelaskah bahwa persoalan perempuan yang terpinggirkan—sebenarnya dalam konsep kesetaraan gender yang dicetuskan Rasulullah SAW, tidak ada perempuan yang terpinggirkan atau dipinggirkan perannya, yang ada kemudian adalah perempuan yang sengaja meminggirkan diri mereka sendiri—menjadi fenomena yang tak terelakkan ketika kita menyadari banyaknya perempuan yang tidak (lagi) memahami keberadaan diri mereka. Ketika masyarakat kapitalis “memperdagangkan” perempuan, sangat jarang perhimpunan perempuan meresponnya, bahkan anehnya para perempuan yang terlibat di dalamnya melakukan peran itu dengan senang hati (enjoy).
Tengoklah bagaimana perempuan “diperjualbelikan” dan dieksploitasi untuk menjual barang. beberapa industri mutakhir seperti mode, kosmetik, dan hiburan termasuk parawisata hampir sepenuhnya memanfaatkan perempuan. Pendidikan dan media massa menampilkan citra perempuan yang penuh glamour, sensual dan fisikal. Pada masyarakat yang bebas, perempuan dididik untuk melepaskan segala ikatan normatif kecuali kepentingan industri. Tubuh mereka dipertunjukkan untuk menarik selera konsumen. Mobil mewah tidak lengkap kalau tidak ada perempuan setengah telanjang tidur di atasnya. Kopi tidak enak kalau tidak disajikan gadis belia yang seronok. Rokok baru memuaskan bila diselipkan di sela-sela bibir yang menantang. Film tidak menarik kalau tidak dibungkus dengan adegan perempuan yang berbusana seadanya[8].
Persoalan-persoalan di atas yang selanjutnya dapat menstimulus terjadinya berbagai tindak pelecehan terhadap perempuan, tidak pernah direspon dengan serius. Hanya ditanggapi secara dingin dan bahkan dianggap angin lalu saja. Sepanjang berkuasanya Megawati Soekarno Putri sebagai seorang presiden perempuan, tak satu pun program pembangunannya yang menyinggung-nyinggung masalah ini. Ya, dia memang presiden perempuan, tetapi dia tidak mempunyai keberpihakan dan sensifitas terhadap masalah-masalah perempuan. Sebagai seorang presiden perempuan, Megawati dianggap gagal berjuang untuk kepentingan perempuan.
Sementara itu, para aktivis perempuan lebih sibuk meneriakkan emansipasi dan pemberdayaan perempuan di meja-meja diskusi dan seminar dengan meraup dana-dana dari pemerintah maupun donator lainnya. Mereka gagal memberi penyadaran ataupun pencerahan terhadap banyak perempuan di sekeling mereka yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan yang secara tidak sadar telah telah “memperkeruh” citra diri mereka sendiri. Para perempuan yang muncul ke publik dengan menjual sensualitas atau kemolekan tubuhnya tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu adalah sebuah penistaan yang merendahkan diri mereka. Mereka mungkin saja diprogram oleh laki-laki, tetapi program itu tidak akan berjalan kalau tidak dilaksanakan oleh perempuan yang bersangkutan. Lalu, apakah sebenarnya yang diinginkan, dicari, diharapkan dan didambakan oleh perempuan-perempuan tersebut? Tak tahulah, yang jelas, jaring-jaring kapitalistik telah memerangkap mereka dan menyeretnya kepada kekeliruan memaknai hidup.
Jalan Keluar
Terpingirkannya peran perempuan atau memang sengaja dipinggirkan dan meminggirkan diri di tengah-tengah publik menunjukkan bahwa keberadaan perempuan belum dipandang seutuhnya. Padahal dalam upaya membangun masyarakat, tidak ada langkah yang lebih berperan selain dari memberdayakan perempuan. Kaum perempuan mempunyai hak untuk memiliki kehidupan yang sesuai dengan esensi kemanusiaan dan memainkan peran penting dalam masyarakat. Adalah jelas bahwa untuk menyelesaikan masalah perempuan, diperlukan langkah yang lebih jauh dari sekadar mengeluarkan beberapa piagam dan resolusi. Kaum perempuan memerlukan fasilitas hukum dan perundang-undangan untuk merealisasikan hak-hak mereka[9].
[1] Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual (Bandung: Mizan, 1998) hal. 192. Dalam tulisan ini Kang Jalal memulai dengan pertanyaan: untuk apa perempuan diciptakan? Untuk menyenangkan laki-laki kata kawannya yang sarjana fisika. Lihat saja berbagai tempat hiburan, perempuan-perempuan “dijual” untuk memuaskan selera laki-laki. Tak ada tempat hiburan yang menjual laki-laki.
[2] HAMKA, Kedudukan Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996) hal. 22
[3] Jender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk berdasarkan kontruksi sosial maupun budaya. Karena dibentuk oleh konstruksi sosial dan budaya setempat, maka jender tidak berlaku selamanya, tetapi dapat berubah dan diubah berdasarkan perbedaan waktu, tempat, budaya dan perubahan tata nilai. Karena bentukan pula, maka jender bisa dipertukarkan. Misalnya kalau dulu pekerjaan mengurus rumah tangga selalu diidentikkan dengan perempuan, maka sekarang ini sudah mulai banyak laki-laki yang malu karena tidak bisa mengurusi dapur atau keperluan perut lainnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa antara jender dan seks merupakan dua hal yang berbeda. Jender ditentukan oleh konstruksi sosial dan budaya setempat, di mana konstrusi sosial tersebut merupakan buatan manusia yang bersifat dinamis. Sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan bersifat kodrat, tidak bisa dipertukarkan. Misalnya laki-laki mempunyai jakun, penis dan bisa memproduksi sperma, sementara perempaun mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui.. Lihat Pedoman Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003) hal. 3-4.
[4]Perempuan yang merasa puas dan bahagia dengan hanya semata-mata mengurus keluarga dan rumah tangganya akan ditentang oleh para feminis. Perempuan tersebut membiarkan dirinya tidak saja tergantung pada suami dan kemudian anak-anaknya, melainkan juga tidak sanggup mengembangkan diri menjadi orang yang mandiri. Lihat Soenarjati Djajanegar, Kritik Sastra Feminis Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003) hal. 52 .
[5]Ibid. hal. 4.
[6]Dalam hal ini adakah poligami dapat didekonstruksi menjadi sesuatu yang dapat dilakukan oleh perempuan (poliandri) sebagaimana yang dapat dipahami dari defenisi gender di atas…. “Karena dibentuk oleh konstruksi sosial dan budaya setempat, maka jender tidak berlaku selamanya, tetapi dapat berubah dan diubah berdasarkan perbedaan waktu, tempat, budaya dan perubahan tata nilai. Karena bentukan pula, maka jender bisa dipertukarkan….” Dengan bertopang pada dasar ini, dapatkah dikatakan seorang perempuan yang melalukan poliandri sebagai wujud kesetaraan gender. Tentu saja tidak, bukan!
[7] Pendapat Doktor Alasvand ini dikutip dari situs Radio IRIB Berbahasa Indonesia (http://www.irib.com), April 2005.
[8]Ronidin. “Kekerasan Terhadap Wanita, Warisan yang Dilematis” dalam Singgalang (Padang, 2000). hal. 3.
[9] Pendapat ini dikemukan Sekjen PBB Kofi Annan terkait dengan Sidang Komisi Status Perempuan PBB tanggal 28 Februari hingga 11 Maret 2005. Komisi Status Perempuan atau Commission on The Status of Women yang disingkat dengan CSW, mengadakan sidang mereka yang ke-49. CSW adalah sebuah lembaga di bawah pengawasan PBB yang bertugas meningkatkan pemberdayaan perempuan di dunia. Sidang yang dihadiri oleh para wakil dari lebih 100 negara dunia dan enam ribu aktivis perempuan ini digelar di Markas PBB di New York. Lihat http://www.irib.com.
Kalau ada anak perempuan yang terlanjur dewasa, maka ia akan diperlakukan seperti hewan. Dia akan dikurung atau disimpan; tidak diperlihatkan kepada orang lain. Dia dijadikan tahanan rumah, suruh bekerja yang berat-berat, suruh dia bekerja paksa. Jika ada yang bertanya berapa orang anakmu, jawab saja sebanyak anak laki-laki.[2] Kalau perempuan itu telah bersuami, suaminya berhak melakukan apa saja terhadapnya. Kalau kemudian dia menjadi janda, dia boleh diwariskan seperti barang. Di India, seorang suami berhak membakar hidup-hidup istrinya bila istrinya itu sudah tidak menggairahkan lagi atau kulitnya sudah mulai kendor.
Tetapi kemudian citra perempuan diangkat Rasulullah Muhammad SAW semulia-mulianya. Perspektif masyarakat jahiliyah yang keliru memandang keberadaan perempuan, dikembalikan pada tempat yang semestinya. Nabi Muhammad SAW menempatkan peran dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki dalam konstruksi sosial yang sama dan dinamis. Tidak ada dasar hukumnya laki-laki lebih baik, terhormat dan lebih mulia dari perempuan kecuali bila dilihat dari sisi ketaqwaanya (Q.S. 49: 13). Perempuan sama-saama berhak untuk menjalani hidupnya dalam masyarakat (bergaul, berinteraksi, berkarir, beribadah, dsb) sebagaimana laki-laki menjalani hidupnya pula. Perempuan bukanlah “makhluk kelas dua” yang bisa diperlakukan sekehendak hati laki-laki. Perempuan tidak ditakdirkan untuk berada di bawah “kekuasaan” laki-laki. Melalui salah satu hadisnya, Rasulullah SAW memposisikan bahwa perempuan adalah mitra atau saudara kandung laki-laki (HR Abu Daut). Jadi, dapat dikatakan bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah orang pertama sebagai peletak dasar konsep kesetaraan gender[3] di muka bumi ini.
Pondasi kesetaraan gender yang dicanangkan Nabi Muhammad SAW itu menempatkan perempuan dan laki-laki secara adil dan setara. Keduanya berhak memperoleh akses manfaat dan partisipasi dalam berbagai segi kehidupan. Laki-laki dan perempuan dapat berperan secara dinamis dalam lingkup budayanya masing-masing. Tidak ada perempuan yang terpinggirkan atau inferior. Dalam masyarakat Hindu dikenal konsep Ardanariswari yaitu simbol Tuhan dalam manifestasi sebagai setengah `purusa` (laki-laki) dan `pradana` (perempuan). Makna simbolis dari konsep Ardanariswari itu adalah bahwa kedudukan dan peranan perempuan setara dan saling melengkapi tugas kaum laki-laki. Tidak ada alasan serta argumentasi teologis yang menyatakan, kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Itu sebabnya dalam berbagai sloka Hindu dapat ditemukan aspek yang menguatkan kedudukan perempuan di antara laki-laki.
Dalam logika yang sederhana, dapat dipahami bahwa kesetraan gender itu menghendaki laki-laki berperan sebagaimana mestinya laki-laki dan perempuan berperan sebagaimana mestinya perempuan. Kalau toh kemudian ada perempuan memiliki fisik yang kuat lalu bekerja dengan menggunakan kekuatan fisiknya itu--seperti ibu-ibu di pedesaan yang turut bertani atau menjadi buruh membantu suaminya mencari nafkah atau bekerja di sektor publik lainnya-- itu adalah sesuatu yang wajar dalam sebuah konstruksi sosial. Hal itu tidak perlu diperdebatkan sebagaimana adanya laki-laki yang lemah dan tidak bekerja. Justru menjadi aneh kalau ada perempuan maupun laki-laki yang berkutat memegang prinsip 3 M (malas, manja dan memble).
Namun, jauh hari kemudian--seperti yang kita nikmati hari ini--pondasi pokok kesetaraan gender yang telah diperjuangakan Nabi Muhammad SAW itu tercerabut kembali dari akarnya. Kini terjadi (lagi) berbagai bentuk kesenjangan atau ketidakadilan gender. Di satu sisi, perempuan dan laki-laki saling berebut untuk mengukuhkan eksistensi mereka masing-masing pada level yang dipandang lebih terhormat. Sedangkan pada sisi yang lain, laki-laki dan perempuan melakukan prosesi dehumanisasi. Laki-laki “menjual” perempuan dan perempuan “memperbudak” laki-laki untuk berbagai kepentingan kehidupan moderen. Ujungnya-ujungnya kembali lagi ke persoalan klasik; perempuan selalu saja berada pada posisi yang “kalah”. Laki-laki berkuasa atas dirinya. Sekuat apapun perempuan itu, tetap saja ia menjadi “korban” atau bahkan “dikorbankan”. Sungguh naïf.
Jadi, persoalan yang berkaitan dengan perempuan memang tidak akan habis-habisnya sampai dunia ini tutup usia. Justru itu, yang dapat dilakukan adalah memandang persoalan-persoalan tersebut secara proporsional. Kalau dulu perempuan dipinggirkan perannya, direndahkan, dilecehkan, dikasari, dan bahkan keberadaannya dianggap sebagai makhluk “kelas dua” tidak lain karena memang tradisi masyarakat jahiliyah mempersepsi perempuan seperti itu. Jika sekarang perempuan (kembali) merasa diperlakukan seperti yang demikian itu dan bahkan “dijual” untuk berbagai kepentingan, maka harus ditelisik secara berkejelasan sebab-musabab yang melatarbelakanginya. Dapat diduga bahwa pada fenomena ini sudah bertengger berbagai kepentingan seperti kepentingan kapitalisme moderen, kepentingan materialisme, kepentingan kolonialisme dan kepentingan-kepentingan globalisme lainnya.
Dengan demikian, ada sesuatu yang mengusik kita: benarkah para perempuan di zaman ini “dipinggirkan” peran dan keberadaannya atau mereka sendiri yang sengaja “meminggirkan” diri. Kalau mau jujur, memang banyak peran dan keberadaan perempuan yang dipinggirkan. Ini terkait dengan berbagai kepentingan laki-laki atas perempuan tersebut. Akan tetapi, kita tidak pula perlu menutup mata bahwa banyak juga perempuan yang secara sengaja maupun tidak telah beraktivitas pada posisi yang dapat meminggirkan keberadaannya. Karena ada jurang menganga, mereka yang berada terlalu di pinggir, akhirnya terpeleset. Lalu hanyut (terjerumus) diseret perputaran arus peradaban (globalisasi) yang umumnya memang menawarkan kesenangan-kesenangan tanpa batas dan glamor.
Di Barat atau di negara-negara liberal lainnya, perempuan yang mendapati dirinya direndahkan memobilisasi gerakan perlawanan yang kemudian dikenal dengan gerakan feminisme. Gerakan ini lahir sembari mengusung cita-cita ingin memperjuangkan kesetaraan laki-laki perempuan dengan landasan equal right’s movement ‘gerakan persamaan hak’ (kesetaraan gender). Gerakan ini melakukan perlawanan terhadap berbagai ketidakadilan yang diperlakukan terhadap perempuan di seluruh pelosok bumi dengan mendorong perempuan untuk lebih maju, lebih berpendidikan dan sebagainya. Di satu sisi gerakan ini memang memberi “pencerahan” terhadap eksistensi perempuan. Akan tetapi, pada sisi lain, mereka justru seruduk sana seruduk sini dan bahkan feminisme radikal pernah menyalahkan Tuhan atau minimal protes pada Allah karena menciptakan para nabi dari jenis kelamin laki-laki saja, tidak ada nabi yang perempuan. Mereka mempertanyakan apakah karena Tuhan itu juga laki-laki. Nauzubillah.
Belakangan, dari pergerakan kaum feminisme ini telah melahirkan perbuatan-perbuatan yang dapat dianggap bias gender. Umpamanya, gerakan ini menentang habis-habisan persoalan poligami. Namun mereka hanya berkoar menentang poligami dengan berbagai cibiran tanpa dapat mencarikan solusi untuk menghadapi persoalan perempuan dewasa untuk bisa berumah tangga (bersuami dan kemudian memiliki anak) secara legal sebagai sebuah kebutuhan fitrah (biologis) dan kebutuhan sosial. Bukan cuma tak dapat memberi solusi, akan tetapi justru banyak aktivis feminis yang kemudian memilih hidup sendiri tanpa bersuami (berkeluarga)[4]. Cara ini bertujuan ingin membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga yang biasa disebut women’s liberation movement atau women’s emancipation movement yaitu gerakan pembebasan wanita[5]. Akibatnya, mereka kemudian hidup dengan kondisi psikis yang cendrung labil dan kesepian di hari tuanya tanpa anak dan keluaga. Mereka menderita di atas cita-cita kesetaraan yang mereka perjuangkan .
Dalam propaganda-propaganda pergerakan kaum feminis ini, mereka mempopulerkan imeg bahwa poligami sesuatu yang menguntungkan laki-laki saja. Perempuan hanya menjadi korban (objek) laki-laki. Padahal sebenarnya poligami justru dapat dipandang sebagai sesuatu yang juga menguntungkan perempuan. Jika kita bicara secara kuantitatif, maka jumlah perempuan –baik yang masih gadis maupun yang sudah menjadi janda--jelas melebihi laki-laki, maka cara untuk melindungi perempuan dari perbuatan-perbuatan maksiat –terkait dengan penyaluran hasrat biologis yang halal tentunya—dan menyelamatkannya dari kesepian di hari tua –sebab memiliki suami dan anak sebagai belahan jiwanya—salah satuya adalah dengan poligami. Adakah perempuan-perempuan di Barat berpikir soal kemaksiatan dan kesepian itu (?) Tidak. Justru perempuan yang berusaha menjaga kesalehan dan kemurnian diri mereka, dianggap sebagai salah satu faktor penyebab inferioritas dan penghambat perkembangan perempuan menjadi manusia seutuhnya.
Selain itu, gerakan feminisme menuding bahwa telah terjadi banyak ketidakadilan gender dalam urusan poligami. Kenapa laki-laki saja yang berhak berpoligami, sementara perempuan dilarang berpoliandri [6]. Kalau pandangan ini diteruskan untuk ukuran Indonesia, maka ada sesuatu yang mesti dipikirkan; jika poliandri itu terjadi, belum terbayangkan --setidaknya bagi saya-- bagaimana seorang perempuan dengan kondisi ke-indonesiaannya harus melayani suami-suaminya. Berbanding terbalik dengan kondisi di Eropa yang memang telah melegalkan kebebasan. Perempuan yang telah lepas dari tanggung jawab orang tuanya berhak melakukan sesuatu yang dikehendakinya tanpa harus ada yang merintang-rintanginya. Poliandri mungkin tidak mereka lakukan secara kasat mata, tetapi praktik poliandri tersebut telah membias dari perbuatan mereka di mana seorang perempuan bebas memilih laki-laki yang diinginkannnya dan setelah itu dapat berganti-ganti pasangan kencan sesering yang diinginkannya. Oleh karena itu, tuntutan persamaan hak (gender) untuk melegalkan poliandri bagi perempuan, pada kenyataannya tetap saja sebagai bola liar yang memposisikan perempuan sebagai “korban”. Hal ini terjadi karena laki-laki mempersepsi perempuan tersebut sebagai “barang” yang “menjajakan diri”. Inilah sebuah fenomena tragis yang meruntuhkan derajat kemuliaan yang diberikan kepada perempuan.
Satu masalah penting lainnya yang menunjukkan terjadinya bias gender dalam perjuangan kaum feminis adalah keinginan mereka untuk melegalkan aborsi. Dalam Deklarasi Beijing tahun 1995 disebutkan bahwa aborsi adalah hak legal kaum perempuan. Pelegalan aborsi jelas bertujuan untuk melegalkan pula hubungan bebas pranikah yang dilakukan pasangan muda-mudi seperti di Barat. Akan tetapi, masalah ini mendapat penentangan dari negara-negara muslim. Doktor Alasvand, seorang dosen di Universitas Teheran, menyatakan, “Deklarasi Beijing tidak memberikan penghormatan kepada nyawa manusia (perempuan) sehingga deklarasi ini sama saja dengan dokumen-dokumen internasional lain yang tidak menghiraukan masalah budaya pribumi dan agama. Deklarasi ini tidak menyajikan penjelasan yang tepat mengenai berbagai masalah perempuan serta tidak mengemukakan jalan keluar dari masalah-masalah tersebut yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya berbagai bangsa”[7]
Nah, itulah beberapa contoh bias gender dalam gerakan feminisme yang lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap ketertindasan/keterpinggiran perempuan. Boleh dikata bahwa bias gender tersebut menyebabkan perempuan tetap dalam posisi yang tidak menguntungkan. Dalam konteks ini gerakan feminis dipandang gagal memperjuangkan cita-citanya yang justru berbalik arah membawa perempuan pada upaya pengingkaran naluri dan fitrah manusia.
Perempuan Terpinggirkan atau Meminggirkan Diri, Lalu Jalan Keluarnya Gimana?
Dari pembicaraan di atas, jelaskah bahwa persoalan perempuan yang terpinggirkan—sebenarnya dalam konsep kesetaraan gender yang dicetuskan Rasulullah SAW, tidak ada perempuan yang terpinggirkan atau dipinggirkan perannya, yang ada kemudian adalah perempuan yang sengaja meminggirkan diri mereka sendiri—menjadi fenomena yang tak terelakkan ketika kita menyadari banyaknya perempuan yang tidak (lagi) memahami keberadaan diri mereka. Ketika masyarakat kapitalis “memperdagangkan” perempuan, sangat jarang perhimpunan perempuan meresponnya, bahkan anehnya para perempuan yang terlibat di dalamnya melakukan peran itu dengan senang hati (enjoy).
Tengoklah bagaimana perempuan “diperjualbelikan” dan dieksploitasi untuk menjual barang. beberapa industri mutakhir seperti mode, kosmetik, dan hiburan termasuk parawisata hampir sepenuhnya memanfaatkan perempuan. Pendidikan dan media massa menampilkan citra perempuan yang penuh glamour, sensual dan fisikal. Pada masyarakat yang bebas, perempuan dididik untuk melepaskan segala ikatan normatif kecuali kepentingan industri. Tubuh mereka dipertunjukkan untuk menarik selera konsumen. Mobil mewah tidak lengkap kalau tidak ada perempuan setengah telanjang tidur di atasnya. Kopi tidak enak kalau tidak disajikan gadis belia yang seronok. Rokok baru memuaskan bila diselipkan di sela-sela bibir yang menantang. Film tidak menarik kalau tidak dibungkus dengan adegan perempuan yang berbusana seadanya[8].
Persoalan-persoalan di atas yang selanjutnya dapat menstimulus terjadinya berbagai tindak pelecehan terhadap perempuan, tidak pernah direspon dengan serius. Hanya ditanggapi secara dingin dan bahkan dianggap angin lalu saja. Sepanjang berkuasanya Megawati Soekarno Putri sebagai seorang presiden perempuan, tak satu pun program pembangunannya yang menyinggung-nyinggung masalah ini. Ya, dia memang presiden perempuan, tetapi dia tidak mempunyai keberpihakan dan sensifitas terhadap masalah-masalah perempuan. Sebagai seorang presiden perempuan, Megawati dianggap gagal berjuang untuk kepentingan perempuan.
Sementara itu, para aktivis perempuan lebih sibuk meneriakkan emansipasi dan pemberdayaan perempuan di meja-meja diskusi dan seminar dengan meraup dana-dana dari pemerintah maupun donator lainnya. Mereka gagal memberi penyadaran ataupun pencerahan terhadap banyak perempuan di sekeling mereka yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan yang secara tidak sadar telah telah “memperkeruh” citra diri mereka sendiri. Para perempuan yang muncul ke publik dengan menjual sensualitas atau kemolekan tubuhnya tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu adalah sebuah penistaan yang merendahkan diri mereka. Mereka mungkin saja diprogram oleh laki-laki, tetapi program itu tidak akan berjalan kalau tidak dilaksanakan oleh perempuan yang bersangkutan. Lalu, apakah sebenarnya yang diinginkan, dicari, diharapkan dan didambakan oleh perempuan-perempuan tersebut? Tak tahulah, yang jelas, jaring-jaring kapitalistik telah memerangkap mereka dan menyeretnya kepada kekeliruan memaknai hidup.
Jalan Keluar
Terpingirkannya peran perempuan atau memang sengaja dipinggirkan dan meminggirkan diri di tengah-tengah publik menunjukkan bahwa keberadaan perempuan belum dipandang seutuhnya. Padahal dalam upaya membangun masyarakat, tidak ada langkah yang lebih berperan selain dari memberdayakan perempuan. Kaum perempuan mempunyai hak untuk memiliki kehidupan yang sesuai dengan esensi kemanusiaan dan memainkan peran penting dalam masyarakat. Adalah jelas bahwa untuk menyelesaikan masalah perempuan, diperlukan langkah yang lebih jauh dari sekadar mengeluarkan beberapa piagam dan resolusi. Kaum perempuan memerlukan fasilitas hukum dan perundang-undangan untuk merealisasikan hak-hak mereka[9].
[1] Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual (Bandung: Mizan, 1998) hal. 192. Dalam tulisan ini Kang Jalal memulai dengan pertanyaan: untuk apa perempuan diciptakan? Untuk menyenangkan laki-laki kata kawannya yang sarjana fisika. Lihat saja berbagai tempat hiburan, perempuan-perempuan “dijual” untuk memuaskan selera laki-laki. Tak ada tempat hiburan yang menjual laki-laki.
[2] HAMKA, Kedudukan Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996) hal. 22
[3] Jender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk berdasarkan kontruksi sosial maupun budaya. Karena dibentuk oleh konstruksi sosial dan budaya setempat, maka jender tidak berlaku selamanya, tetapi dapat berubah dan diubah berdasarkan perbedaan waktu, tempat, budaya dan perubahan tata nilai. Karena bentukan pula, maka jender bisa dipertukarkan. Misalnya kalau dulu pekerjaan mengurus rumah tangga selalu diidentikkan dengan perempuan, maka sekarang ini sudah mulai banyak laki-laki yang malu karena tidak bisa mengurusi dapur atau keperluan perut lainnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa antara jender dan seks merupakan dua hal yang berbeda. Jender ditentukan oleh konstruksi sosial dan budaya setempat, di mana konstrusi sosial tersebut merupakan buatan manusia yang bersifat dinamis. Sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan bersifat kodrat, tidak bisa dipertukarkan. Misalnya laki-laki mempunyai jakun, penis dan bisa memproduksi sperma, sementara perempaun mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui.. Lihat Pedoman Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003) hal. 3-4.
[4]Perempuan yang merasa puas dan bahagia dengan hanya semata-mata mengurus keluarga dan rumah tangganya akan ditentang oleh para feminis. Perempuan tersebut membiarkan dirinya tidak saja tergantung pada suami dan kemudian anak-anaknya, melainkan juga tidak sanggup mengembangkan diri menjadi orang yang mandiri. Lihat Soenarjati Djajanegar, Kritik Sastra Feminis Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003) hal. 52 .
[5]Ibid. hal. 4.
[6]Dalam hal ini adakah poligami dapat didekonstruksi menjadi sesuatu yang dapat dilakukan oleh perempuan (poliandri) sebagaimana yang dapat dipahami dari defenisi gender di atas…. “Karena dibentuk oleh konstruksi sosial dan budaya setempat, maka jender tidak berlaku selamanya, tetapi dapat berubah dan diubah berdasarkan perbedaan waktu, tempat, budaya dan perubahan tata nilai. Karena bentukan pula, maka jender bisa dipertukarkan….” Dengan bertopang pada dasar ini, dapatkah dikatakan seorang perempuan yang melalukan poliandri sebagai wujud kesetaraan gender. Tentu saja tidak, bukan!
[7] Pendapat Doktor Alasvand ini dikutip dari situs Radio IRIB Berbahasa Indonesia (http://www.irib.com), April 2005.
[8]Ronidin. “Kekerasan Terhadap Wanita, Warisan yang Dilematis” dalam Singgalang (Padang, 2000). hal. 3.
[9] Pendapat ini dikemukan Sekjen PBB Kofi Annan terkait dengan Sidang Komisi Status Perempuan PBB tanggal 28 Februari hingga 11 Maret 2005. Komisi Status Perempuan atau Commission on The Status of Women yang disingkat dengan CSW, mengadakan sidang mereka yang ke-49. CSW adalah sebuah lembaga di bawah pengawasan PBB yang bertugas meningkatkan pemberdayaan perempuan di dunia. Sidang yang dihadiri oleh para wakil dari lebih 100 negara dunia dan enam ribu aktivis perempuan ini digelar di Markas PBB di New York. Lihat http://www.irib.com.
Langganan:
Postingan (Atom)