Oleh: Ronidin
Dosen Fak Sastra Unand
Dalam suatu kesempatan berdiskusi di Fakultas Sastra Universitas Andalas, Maman S. Mahayana mengatakan bahwa selama ini penelaahan tentang sastra Indonesia masih merujuk barat. Teori dan kritik sastra yang ada semua bersumber dari barat. Kang Maman menghendaki kita berhenti merujuk barat. Tetapi, diskusi itu terhenti sampai di sana. Belum ada rumusan yang jelas tentang model atau arah kritik sastra Indonesia ke depan.
Kemana kita harus berpijak?
Sebenarnya terbuka di hadapan khalayak sastra kini kemungkinan untuk melahirkan pendekatan kritik sastra bercorak Islam. Pendekatan dari barat yang selama ini dipakai, semestinya diubahsesuaikan. Kita mesti menyaring atau menyunting aspek-aspek yang berseberangan dengan Islam serta tetap memakai pendekatan yang bersesuaian.
Kenapa begitu?
Rasanya, Dalam sejarah kesustraan, kesustraan Islam tidak bisa diabaikan begitu saja. Belakangan ini pembicaraan tentang sastra Islam menjadi topik yang menarik di mana-mana. Lomba-lomba atau sayembara sastra islami semakin marak diadakan. Ini pertanda bahwa sastra islami itu memang ada dan (tentunya) diminati.
Karena itu, kiranya perlu dirumuskan kritikan islami pula untuk menelaah karya-karya tersebut. Sangat ironis, ketika karya sastra yang berunsur islami ditelaah dengan pendekatan yang tidak berasal dari negeri Islam (baca: barat). Dalam kajian psikologis misalnya, teori kejiwaan Freud dapat digantikan dengan teori-teori Islam tentang kejiwaan. Jika memakai pendekatan sosiologis, falsafah determinisme atau marxisme dapat digantikan dengan pendekatan kemasyarakatan dan muamalat dalam Islam.
Usaha ini tentunya tidak mudah. Menciptakan model kritik sastra islami di tengah kuatnya eksistensi teori sastra barat, jelasnya akan menghadapi berbagai rintangan. Rintangan utama yang menghadang di depan mata tentunya adalah kesiapan kritikus Islam untuk memformulasikan model kritik sastra islami yang dikehendaki dengan model yang sudah ada. Hal ini tentunya harus ditopang oleh pengetahuan, bukan hanya pengetahuan keislaman tetapi juga pengetahuan berkesenian atau kesusastraan serta pengetahuan ilmu kemasyarakatan (sosiologi).
Selain itu, kritikus sastra Islam juga harus benar-benar berikhtiar untuk memasyarakatkan model ini. Metodologi atau pendekatan yang dapat dirumuskan tentunya setelah dipersesuaikan dengan keberadaan teori sastra zaman ini, dengan penekanan pada sektor aqidah dan akhlak Islam, perlu ditumbuhkembangkan dalam setiap kesempatan yang ada. Sebenarnya, dalam berbagai pembicaraan tentang sastra Islam atau dalam penjurian lomba/sayembara sastra bercorak Islam, pendekatan kritik islami telah dilakukan. Di sana telah dibeberkan (dalam proses penilaian oleh dewan juri) tentang kelebihan dan kekurangan karya tersebut yang tentu saja mempertimbangan unsur-unsur yang melatarbelakanginya baik dari segi instrinsik maupun ekstinsiknya berdasarkan sudut pandang Islam. Kajian struktural (instinsik), sosiologis (ekstinsik), psikologi (ekstinsik), semiotik, stilistika, dan sebagainya telah dipakai untuk menelaah karya-karya sastra di tanah air yang sebagian besarnya bercorak Islam. Tinggal ikhtiar dan kerja keras untuk memasyarakatkan model kritik sastra islami ini lebih lanjut.
Selanjutnya, islamisasi pendekatan kritik sastra juga dapat dilingkupkan pada: (1) studi kepengarangan (kritik ekspresif), (2) pembicaraan tentang karya itu sendiri (kritik objektif), maupun (3) pembicaraan tentang efek karya terhadap pembaca atau masyarakat (kritik pragmatis).
Pertama, yang akan dibicarakan terlebih dahulu adalah keberadaan pengarang. Pengarang sebagai pencipta memiliki peran penting, karena itu tidak bisa dikemudiankan. Dalam hal ini, pengarang harus dipahami sebagai orang yang mencipta untuk kemaslahatan umat. Menyampaikan pesan-pesan moral kemasyarakatan yang tentunya sejalan dengan dakwah Islam. Bukan mencari selain ridha Allah. Tidak popularitas dan tidak pula uang. Uang tentu, tapi tidak menjadi tujuan utama.
Dalam pendekatan ini semua hal yang berseluk beluk dengan pengarang akan diperbincangkan. Latar belakang pengarang misalnya, tentu sangat mempengaruhi karyanya. Karena itu apa yang ditulis pengarang harus mencerminkan sikap dan pandangan hidupnya. Pada level ini, seorang pengarang bukanlah seorang yang munafik, dimana antara karya dan dunianya saling bertolak belakang. Sekali lagi, bukan! Pengarang pada tataran sastra islami menduduki fungsi dan peran yang teramat mulia sebagai pengemban risalah bil qolam. Jadi, penganalisaan aspek kepengarangan ini pada prinsipnya untuk mempertegas keberadan pengarang Islam sebagai orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang universal.
Kedua, berbicara tentang karya, tentunya karya yang akan menjadi objek penelaahan adalah karya-karya yang memang berlatar belakang Islam. Karya -karya yang isinya membawa pesan-pesan keislaman terutama berkaitan dengan akidah dan akhlak, baik yang dinyatakan secara langsung maupun yang melalui simbol atau metafor tertentu. Hakekat dari karya-karya itu tidak keluar dari fungsinya sebagai sarana untuk “mengingatkan” masyarakat akan nilai-nilai ilahiyah yang transenden secara mendalam. Misalnya, bagaimana sebuah karya menyampaikan nilai-nilai kemasyarakatan, syariah, ibadah, muamalah, moral dan sebagainya secara indah dan mengesankan. Jadi, karya-karya itu mestilah dibangun berdasarkan estetika dan logika islami.
Apabila disebut estetika, maksudnya adalah keindahan yang dikonsepsikan dalam Islam. Nilai keindahan itu merupakan perpaduan antara nilai kerohanian, keimanan dan ketakwaan dengan nilai-nilai keintelektualan dan moral. Keindahan akan tercapai apabila tujuan dan aspirasi karya dipandang secara baik, serta menolak yang mungkar dan batil. Pendeknya, keindahan dapat disimpulkan sebagai karya yang memanifestasikan ciri-ciri keimanan, keluhuran, keikhlasan dan sebagainya. Keindahan-keindahan tersebut dapat diekspresikan melalui penggunaan imajinasi dan bahasa yang baik, kuat, tajam, dan sebagainya. Bukan memberikan penghormatan yang lumayan terhadap kebebasan imajinasi yang tidak terbatas, atau yang mementingkan keseronokan tubuh (seks), tetapi ia lebih kepada peningkatan pemikiran dan sifat kemanusiaan itu sendiri.
Lalu, ketika disebut pula logika islami, maka yang dimaksud adalah bagaimana dalam karya itu pusaran isinya dibangun dengan logika yang benar, tidak mengada-ada atau logika kosong yang membodohi. Misalnya seorang yang berwatak jahat, tiba-tiba berubah menjadi alim, rajin beribadah tanpa sebab-musabab yang jelas dan meyakinkan bukanlah logika Islam. Atau penggambaran sesuatu yang tidak berpijak dari alam nyata yang dapat dipertanggungjawabkan (khayalan kosong begitu saja), juga bukan logika dalam Islam. Jadi, dalam hal ini yang terpenting itu adalah bagimana sebuah karya itu dibangun berdasarkan logika yang dapat dicerna oleh akal dan memberi kesan yang dalam. Termasuk pula dalam tataran ini adalah bagaimana karya sastra itu dibangun dengan struktur yang logis dan baik.
Dengan demikian, karya sastra yang memuat pesan-pesan keislaman dengan estetika dan logika yang islami, tentunya akan menarik perhatian para kritikus untuk melakukan pendekatan/kritik secara islami.
Ketiga, kritik sastra islami juga tidak bisa mengabaikan analisis terhadap pembaca: sejauh mana efek karya tersebut terhadap pembaca. Seperti telah dikatakan di atas bahwa karya sastra islami bermaksud untuk memperkuat atau mengukuhkan aqidah dan akhlak Islamiah, maka sejauh mana hal ini terjadi pada diri pembaca setelah ia menikmati karya sastra. Pembicaraan tentang efek ini sangat penting mengingat karya sastra itu sebenarnya tidak hadir dengan kekosongan saja.
Jadi, apakah karya tersebut mengajak pembacanya berbuat baik atau melarang berbuat mungkar? Apakah unsur-unsur kebaikan dapat dimafaatkan untuk mengatasi kejahatan? Atau apakah selesai membaca karya itu, pembaca hanya akan menjadi kasar, brutal atau malah melupakan Tuhannya? Tidak dapat ditolak, aspek kesan seperti ini sangat dekat hubungannya dengan aspirasi dan cita-cita pengarangnya dan sejauh mana semuanya itu dicapai dalam karya sastra.termasuk pula pengukuhan iman dan pembentukan akhlak Islamiah. Karena itu, analisis ini sangat penting dalam melihat kebermaknaan karya sastra ilsmai dalam masyarakat Islam.
Demikianlah, dengan menggunakan model pendekatan kritik sastra Islam seperti disebutkan di atas, sedikit-banyaknya dapat memberi alternatif dalam analisis karya sastra, jika memang kita harus berhenti merujuk barat. Pendekatan ini tentunya harus didukung dan dipopulerkan oleh kritikus sastra yang bukan saja harus memahami sastra secara mendalam, tetapi juga memahami Islam secara kaffah. Wallahualam. (Disarikan dari berbagai sumber, utamanya dari Mana Sikana: Sastra Ta’abudiyah).
Dosen Fak Sastra Unand
Dalam suatu kesempatan berdiskusi di Fakultas Sastra Universitas Andalas, Maman S. Mahayana mengatakan bahwa selama ini penelaahan tentang sastra Indonesia masih merujuk barat. Teori dan kritik sastra yang ada semua bersumber dari barat. Kang Maman menghendaki kita berhenti merujuk barat. Tetapi, diskusi itu terhenti sampai di sana. Belum ada rumusan yang jelas tentang model atau arah kritik sastra Indonesia ke depan.
Kemana kita harus berpijak?
Sebenarnya terbuka di hadapan khalayak sastra kini kemungkinan untuk melahirkan pendekatan kritik sastra bercorak Islam. Pendekatan dari barat yang selama ini dipakai, semestinya diubahsesuaikan. Kita mesti menyaring atau menyunting aspek-aspek yang berseberangan dengan Islam serta tetap memakai pendekatan yang bersesuaian.
Kenapa begitu?
Rasanya, Dalam sejarah kesustraan, kesustraan Islam tidak bisa diabaikan begitu saja. Belakangan ini pembicaraan tentang sastra Islam menjadi topik yang menarik di mana-mana. Lomba-lomba atau sayembara sastra islami semakin marak diadakan. Ini pertanda bahwa sastra islami itu memang ada dan (tentunya) diminati.
Karena itu, kiranya perlu dirumuskan kritikan islami pula untuk menelaah karya-karya tersebut. Sangat ironis, ketika karya sastra yang berunsur islami ditelaah dengan pendekatan yang tidak berasal dari negeri Islam (baca: barat). Dalam kajian psikologis misalnya, teori kejiwaan Freud dapat digantikan dengan teori-teori Islam tentang kejiwaan. Jika memakai pendekatan sosiologis, falsafah determinisme atau marxisme dapat digantikan dengan pendekatan kemasyarakatan dan muamalat dalam Islam.
Usaha ini tentunya tidak mudah. Menciptakan model kritik sastra islami di tengah kuatnya eksistensi teori sastra barat, jelasnya akan menghadapi berbagai rintangan. Rintangan utama yang menghadang di depan mata tentunya adalah kesiapan kritikus Islam untuk memformulasikan model kritik sastra islami yang dikehendaki dengan model yang sudah ada. Hal ini tentunya harus ditopang oleh pengetahuan, bukan hanya pengetahuan keislaman tetapi juga pengetahuan berkesenian atau kesusastraan serta pengetahuan ilmu kemasyarakatan (sosiologi).
Selain itu, kritikus sastra Islam juga harus benar-benar berikhtiar untuk memasyarakatkan model ini. Metodologi atau pendekatan yang dapat dirumuskan tentunya setelah dipersesuaikan dengan keberadaan teori sastra zaman ini, dengan penekanan pada sektor aqidah dan akhlak Islam, perlu ditumbuhkembangkan dalam setiap kesempatan yang ada. Sebenarnya, dalam berbagai pembicaraan tentang sastra Islam atau dalam penjurian lomba/sayembara sastra bercorak Islam, pendekatan kritik islami telah dilakukan. Di sana telah dibeberkan (dalam proses penilaian oleh dewan juri) tentang kelebihan dan kekurangan karya tersebut yang tentu saja mempertimbangan unsur-unsur yang melatarbelakanginya baik dari segi instrinsik maupun ekstinsiknya berdasarkan sudut pandang Islam. Kajian struktural (instinsik), sosiologis (ekstinsik), psikologi (ekstinsik), semiotik, stilistika, dan sebagainya telah dipakai untuk menelaah karya-karya sastra di tanah air yang sebagian besarnya bercorak Islam. Tinggal ikhtiar dan kerja keras untuk memasyarakatkan model kritik sastra islami ini lebih lanjut.
Selanjutnya, islamisasi pendekatan kritik sastra juga dapat dilingkupkan pada: (1) studi kepengarangan (kritik ekspresif), (2) pembicaraan tentang karya itu sendiri (kritik objektif), maupun (3) pembicaraan tentang efek karya terhadap pembaca atau masyarakat (kritik pragmatis).
Pertama, yang akan dibicarakan terlebih dahulu adalah keberadaan pengarang. Pengarang sebagai pencipta memiliki peran penting, karena itu tidak bisa dikemudiankan. Dalam hal ini, pengarang harus dipahami sebagai orang yang mencipta untuk kemaslahatan umat. Menyampaikan pesan-pesan moral kemasyarakatan yang tentunya sejalan dengan dakwah Islam. Bukan mencari selain ridha Allah. Tidak popularitas dan tidak pula uang. Uang tentu, tapi tidak menjadi tujuan utama.
Dalam pendekatan ini semua hal yang berseluk beluk dengan pengarang akan diperbincangkan. Latar belakang pengarang misalnya, tentu sangat mempengaruhi karyanya. Karena itu apa yang ditulis pengarang harus mencerminkan sikap dan pandangan hidupnya. Pada level ini, seorang pengarang bukanlah seorang yang munafik, dimana antara karya dan dunianya saling bertolak belakang. Sekali lagi, bukan! Pengarang pada tataran sastra islami menduduki fungsi dan peran yang teramat mulia sebagai pengemban risalah bil qolam. Jadi, penganalisaan aspek kepengarangan ini pada prinsipnya untuk mempertegas keberadan pengarang Islam sebagai orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang universal.
Kedua, berbicara tentang karya, tentunya karya yang akan menjadi objek penelaahan adalah karya-karya yang memang berlatar belakang Islam. Karya -karya yang isinya membawa pesan-pesan keislaman terutama berkaitan dengan akidah dan akhlak, baik yang dinyatakan secara langsung maupun yang melalui simbol atau metafor tertentu. Hakekat dari karya-karya itu tidak keluar dari fungsinya sebagai sarana untuk “mengingatkan” masyarakat akan nilai-nilai ilahiyah yang transenden secara mendalam. Misalnya, bagaimana sebuah karya menyampaikan nilai-nilai kemasyarakatan, syariah, ibadah, muamalah, moral dan sebagainya secara indah dan mengesankan. Jadi, karya-karya itu mestilah dibangun berdasarkan estetika dan logika islami.
Apabila disebut estetika, maksudnya adalah keindahan yang dikonsepsikan dalam Islam. Nilai keindahan itu merupakan perpaduan antara nilai kerohanian, keimanan dan ketakwaan dengan nilai-nilai keintelektualan dan moral. Keindahan akan tercapai apabila tujuan dan aspirasi karya dipandang secara baik, serta menolak yang mungkar dan batil. Pendeknya, keindahan dapat disimpulkan sebagai karya yang memanifestasikan ciri-ciri keimanan, keluhuran, keikhlasan dan sebagainya. Keindahan-keindahan tersebut dapat diekspresikan melalui penggunaan imajinasi dan bahasa yang baik, kuat, tajam, dan sebagainya. Bukan memberikan penghormatan yang lumayan terhadap kebebasan imajinasi yang tidak terbatas, atau yang mementingkan keseronokan tubuh (seks), tetapi ia lebih kepada peningkatan pemikiran dan sifat kemanusiaan itu sendiri.
Lalu, ketika disebut pula logika islami, maka yang dimaksud adalah bagaimana dalam karya itu pusaran isinya dibangun dengan logika yang benar, tidak mengada-ada atau logika kosong yang membodohi. Misalnya seorang yang berwatak jahat, tiba-tiba berubah menjadi alim, rajin beribadah tanpa sebab-musabab yang jelas dan meyakinkan bukanlah logika Islam. Atau penggambaran sesuatu yang tidak berpijak dari alam nyata yang dapat dipertanggungjawabkan (khayalan kosong begitu saja), juga bukan logika dalam Islam. Jadi, dalam hal ini yang terpenting itu adalah bagimana sebuah karya itu dibangun berdasarkan logika yang dapat dicerna oleh akal dan memberi kesan yang dalam. Termasuk pula dalam tataran ini adalah bagaimana karya sastra itu dibangun dengan struktur yang logis dan baik.
Dengan demikian, karya sastra yang memuat pesan-pesan keislaman dengan estetika dan logika yang islami, tentunya akan menarik perhatian para kritikus untuk melakukan pendekatan/kritik secara islami.
Ketiga, kritik sastra islami juga tidak bisa mengabaikan analisis terhadap pembaca: sejauh mana efek karya tersebut terhadap pembaca. Seperti telah dikatakan di atas bahwa karya sastra islami bermaksud untuk memperkuat atau mengukuhkan aqidah dan akhlak Islamiah, maka sejauh mana hal ini terjadi pada diri pembaca setelah ia menikmati karya sastra. Pembicaraan tentang efek ini sangat penting mengingat karya sastra itu sebenarnya tidak hadir dengan kekosongan saja.
Jadi, apakah karya tersebut mengajak pembacanya berbuat baik atau melarang berbuat mungkar? Apakah unsur-unsur kebaikan dapat dimafaatkan untuk mengatasi kejahatan? Atau apakah selesai membaca karya itu, pembaca hanya akan menjadi kasar, brutal atau malah melupakan Tuhannya? Tidak dapat ditolak, aspek kesan seperti ini sangat dekat hubungannya dengan aspirasi dan cita-cita pengarangnya dan sejauh mana semuanya itu dicapai dalam karya sastra.termasuk pula pengukuhan iman dan pembentukan akhlak Islamiah. Karena itu, analisis ini sangat penting dalam melihat kebermaknaan karya sastra ilsmai dalam masyarakat Islam.
Demikianlah, dengan menggunakan model pendekatan kritik sastra Islam seperti disebutkan di atas, sedikit-banyaknya dapat memberi alternatif dalam analisis karya sastra, jika memang kita harus berhenti merujuk barat. Pendekatan ini tentunya harus didukung dan dipopulerkan oleh kritikus sastra yang bukan saja harus memahami sastra secara mendalam, tetapi juga memahami Islam secara kaffah. Wallahualam. (Disarikan dari berbagai sumber, utamanya dari Mana Sikana: Sastra Ta’abudiyah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar