Anda ingin melihat wajah bangsa Indonesia? Maka, tontonlah televisi. Dijamin Anda akan menemukan wajah Indonesia di sana. Wajah yang sebenarnya mulus tetapi telah dirusak sehingga menjadi bopeng-bopeng dan berjerawat. Wajah yang sengsara.
Di antara visualisasi wajah Indonesia yang paling dekat mencerminkan budaya bangsa tergambar melalui sinetron. Sinetron dibuat bukan berdasarkan sesuatu yang mengada-ada (social vacuum), tetapi berdasarkan realitas budaya yang berkembang dalam masyarakat. Meskipun hanya fiktif, sinetron berangkat dari sesuatu yang ada. Sesuatu yang berterima.
Sinetron sebagai bagian kerja kreatif –sebagaimana juga kerja kreatif lainnya—seyogianya memiliki fungsi menghibur sekaligus fungsi mencerahkan. Menghibur dalam pengertian memberikan tontonan (hiburan) alternatif bagi setiap anggota keluarga setelah seharian beraktifitas. Hiburan pelepas penat di waktu istirahat. Sedangkan pengertian mencerahkan adalah mampu memberikan kesan atau ajaran yang bernas dan bermanfaat. Selesai menonton, ada kebermaknaan tontonan itu yang diperoleh penonton. Bukan cuma hiburan semata.
Sejauh ini, apa yang terjadi?
Membaca fenomena yang ada, sungguh disayangkan. Pada kenyataannya produksi sinetron oleh berbagai rumah produksinya hanya mengejar fungsi pertama. Sinetron-sinetron itu dibuat asal jadi, dangkal, alur cerita yang kadang-kadang tidak masuk akal, terlalu berlebihan mengeksploitasi sesuatu, misalnya kemewahan –padahal kita orang miskin, tidak memiliki pesan moral dan sebagainya.
Ketika menonton sinetron, para penonton tidak perlu berpikir. Rangkaian peristiwa/cerita yang dibangun dalam sinetron itu tidak akan membuat kening jadi berkerut. Penokohan pun demikian. Peristiwa dan penokohan dibuat segampang mungkin dengan penyelesaian instan atau solusi seenaknya. Peristiwa bisa dibawa kemana-mana. Tokoh sekehendaknya. Jika misalnya sang tokoh terbentur, kalau tidak dibantu makhluk halus berupa jin atau peri, pasti si tokoh punya ilmu menghilang atau punya jimat khusus untuk mengatasi masalahnya.
Kalau sinetronnya tentang sekolah atau anak sekolahan, maka peristiwanya tidak akan pernah beranjak dari masalah percintaan, pacaran dan kecemburuan. Tidak akan kita jumpai peristiwa pendidikan di sana. Soal pendidikan atau bagaimana siswa belajar dengan baik hanyalah tempelan saja sesuai dengan latar ceritanya. Siswa tidak berkarakter seperti selayaknya siswa. Guru hanya digambarkan sebagai manusia dungu.
Lain lagi kalau kita berbicara tentang tema. Belakangan tema yang lagi in adalah tema-tema religi, keluarga, cinta dan kasih sayang (utamanya sinetron remaja). Tidak ada yang salah soal tema, cuma penggarapannya yang kadang berlebihan dan tidak masuk akal. Sinetron-sinetron bertema religi --yang mulanya diprakarsai TPI dengan Kuasa dan Takdir Ilahinya, lalu diikuti stasiun TV lainnya—terlalu hitam putih. Suatu soal selalu dipandang dari sudut dosa dan akhirnya bermuara kepada hukuman. Sinetron religi ini tak ubahnya seperti khutbah saja. Sinetron ini hanya sampai pada taraf mengingatkan dan tidak akan menghadirkan apresiasi yang memungkinkan orang/penonton menjadi jera berbuat dosa. Buktinya semakin banyak sinetron religi dengan berbagai judulnya, sebegitu juga orang menipu, sebanyak itu juga tumbuh lentenir, koruptor dan penjarah harta orang lain, semakin banyak juga kejahatan kelamin dan sebagainya. Sinetron tema religi ini kemudian menjadi monoton.
Kehadiran sinetron religi ini, kalau begitu masih saja dapat ditafsirkan membodohi masyarakat. Masyarakat jadi terkungkung dalam streotipe hitam putih. Kalau ini dilakukan ini yang akan terjadi dan ini hukumannya. Sehingga pola pikir masyarakat terhadap agamanya menjadi dangkal dan hitam putih pula. Tetapi walaupun demikian, sinetron religi ini jauh lebih baik dari sinetron yang merusak aqidah seperti sinetron jin atau peri.
Sedangkan sinetron bertema keluarga, meghadirkan konflik suami istri, perebutan harta (warisan), hidup yang penuh keculasan, dan sebagainya. Tema-tema ini membuat ibu-ibu rumah tangga –sebagai konsumen terbesar penikmat sinetron—menjadi hedonis maupun panjang angan-angan. Penonton ditipu dengan latar sosial sinetron yang serba mewah, memakai kawasan perumahan elit yang luas dan bertingkat, yang apabila ditelusuri akan kontras dengan penghuninya yang hanya seorang atau dua orang anak, sepasang suami istri dan seorang pembantu. Latar sosial mewah yang digambarkan bukankah mengingkari realitas yang sebenarnya dimana kebanyakan masyarakat kita hidup di bawah garis kemiskinan. Ini adalah “penipuan” atau “pembodohan sosial”. Sama dengan “penipuan” atau “pembodohan sosial” yang dilakukan anggota DPR yang katanya mewakili rakyat dan sudah bergaji besar minta lagi kenaikan gaji berlipat-lipat sedangkan rakyatnya kian menderita.
Sementara itu, sinetron-sinetron tema percintaan (remaja) juga memprihatinkan dan membodohi. Dalam sinetron-sinetron ini digambarkan bahwa pemasalahan remaja tidak lepas dari masalah cinta, bagaimana mendapatkan pacar, bagaimana seni merayu dan sebagainya termasuk pula pengeksploitasian masa pubertas secara hiperbol. Soalan seperti ini “digarap” habis-habisan dengan harapan dapat menyedot mayoritas penonton remaja yang memang sedang berada dalam masa-masa itu. Di sini terasosiasi bahwa seolah-olah hidup remaja hanya untuk urusan yang begituan –padahal sebenarnya masih banyak remaja (siswa) yang kreatif dan inovatif, tapi kenyataan ini tidak akan laku dikomersilkan/disinetronkan.
Akibat kongkrit yang dapat dirasakan adalah penyimpangan prilaku remaja. Apa yang ada di sinetron sepertinya menjadi ikon remaja saat ini: model rambut, gaya bicara, kebiasaan, tata prilaku dan sebagainya. Oleh itu, janganlah heran bila remaja (siswa) jadi malas belajar –karena tidak pernah dilihatnya dalam sinetron sosok siswa yang belajar beneran. Selain itu siswa juga menjadi glamour bahkan hedonis --suka hura-hura atau pesta-pesta, kerap mejeng di mall, minta dibelikan HP model terbaru, minta dibelikan motor dan sebagainya.
Beralih ke persoalan bahasa, hampir tidak ada sinetron yang ada di televisi Indonesia yang menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar. Bahasa yang dipakai umumnya adalah Bahasa Indonesia dialek Jakarta. Seakan-akan itulah Bahasa Indonesia yang benar. Cara berbahasa semacam ini ditiruteladani oleh masyarakat, sehingga bahasa Indonesia kehilangan hakekat dan maknanya.
Sebagai media yang banyak ditonton oleh masyarakat jelas fenomena ini sangat “menggenaskan”. Bukankah bahasa menunjukkan identitas bangsa? Bagaimana orang berbahasa maka seperti itu pulalah cara mereka berpikir. Jadi, ketika bahasa Indonesia dialek Jakarta dipopulerkan televisi melalui sinetron-sinetronnya, maka seolah-olah kita digiring untuk menerima hal itu sebagai bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagaimana yang didengung-dengungkan selama ini: “kita harus berbahasa Indonesia yang baik dan benar”. Bukankah ini penipunan atau pembodohan?
Dengan demikian, sekiranya kita mencari hulu masalahnya: siapa kiranya yang patut disalahkan? Apakah: (1) mereka, para pengusaha pertelevisian Indonesia, (2) mereka yang mencari (dan numpang) hidup di sinetron, (3) mereka yang mengururusi kedua-duanya, atau (4) mereka, para penonton yang menikmati semua itu? Entahlah. Yang jelas sinetron telah menjadi media pembodohan masyarakat Indonesia. Wallaulam Bissawab.
Ronidin, pemerhati masalah sosial, dosen Fakultas Sastra Unand
Jumat, 14 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar