Rabu, 12 Desember 2007

Perempuan: Dipinggirkan atau Meminggirkan Diri

Orang-orang jahiliyah memandang perempuan sebagai makluk kelas dua yang pantas diperlakukan semau-maunya. Demonthenes[1] pernah berkata, “kita perlu gundik untuk memuaskan kesenangan kita dan istri untuk melahirkan keturunan kita.” Tidak ada gundik dan istri yang laki-laki. Orang-orang jahiliyah sebelum datangnya Rasulullah SAW melakukan wa’datul banat yaitu penguburan setiap anak perempuan yang lahir. Aib besar bagi orang-orang itu mendapatkan anak perempuan. Bagi suami, begitu ada kabar bahwa anak yang dilahirkan istrinya adalah perempuan, maka serta merta mukanya merah padam menahan geram. Secepatnya ia akan menggali lubang untuk menimbun bayi itu hidup-hidup. Atau si istri disuruh melahirkan di depan lubang yang sudah disiapkan, begitu yang mengoek adalah anak perempuan, secepat kilat akan ditendang ke dalam lubang itu. Sang bayi menangis sebentar, setelah itu diam untuk selamanya. Tapi, jika yang lahir anak laki-laki, maka akan disambut dengan penuh kebahagian.
Kalau ada anak perempuan yang terlanjur dewasa, maka ia akan diperlakukan seperti hewan. Dia akan dikurung atau disimpan; tidak diperlihatkan kepada orang lain. Dia dijadikan tahanan rumah, suruh bekerja yang berat-berat, suruh dia bekerja paksa. Jika ada yang bertanya berapa orang anakmu, jawab saja sebanyak anak laki-laki.[2] Kalau perempuan itu telah bersuami, suaminya berhak melakukan apa saja terhadapnya. Kalau kemudian dia menjadi janda, dia boleh diwariskan seperti barang. Di India, seorang suami berhak membakar hidup-hidup istrinya bila istrinya itu sudah tidak menggairahkan lagi atau kulitnya sudah mulai kendor.
Tetapi kemudian citra perempuan diangkat Rasulullah Muhammad SAW semulia-mulianya. Perspektif masyarakat jahiliyah yang keliru memandang keberadaan perempuan, dikembalikan pada tempat yang semestinya. Nabi Muhammad SAW menempatkan peran dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki dalam konstruksi sosial yang sama dan dinamis. Tidak ada dasar hukumnya laki-laki lebih baik, terhormat dan lebih mulia dari perempuan kecuali bila dilihat dari sisi ketaqwaanya (Q.S. 49: 13). Perempuan sama-saama berhak untuk menjalani hidupnya dalam masyarakat (bergaul, berinteraksi, berkarir, beribadah, dsb) sebagaimana laki-laki menjalani hidupnya pula. Perempuan bukanlah “makhluk kelas dua” yang bisa diperlakukan sekehendak hati laki-laki. Perempuan tidak ditakdirkan untuk berada di bawah “kekuasaan” laki-laki. Melalui salah satu hadisnya, Rasulullah SAW memposisikan bahwa perempuan adalah mitra atau saudara kandung laki-laki (HR Abu Daut). Jadi, dapat dikatakan bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah orang pertama sebagai peletak dasar konsep kesetaraan gender[3] di muka bumi ini.
Pondasi kesetaraan gender yang dicanangkan Nabi Muhammad SAW itu menempatkan perempuan dan laki-laki secara adil dan setara. Keduanya berhak memperoleh akses manfaat dan partisipasi dalam berbagai segi kehidupan. Laki-laki dan perempuan dapat berperan secara dinamis dalam lingkup budayanya masing-masing. Tidak ada perempuan yang terpinggirkan atau inferior. Dalam masyarakat Hindu dikenal konsep Ardanariswari yaitu simbol Tuhan dalam manifestasi sebagai setengah `purusa` (laki-laki) dan `pradana` (perempuan). Makna simbolis dari konsep Ardanariswari itu adalah bahwa kedudukan dan peranan perempuan setara dan saling melengkapi tugas kaum laki-laki. Tidak ada alasan serta argumentasi teologis yang menyatakan, kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Itu sebabnya dalam berbagai sloka Hindu dapat ditemukan aspek yang menguatkan kedudukan perempuan di antara laki-laki.
Dalam logika yang sederhana, dapat dipahami bahwa kesetraan gender itu menghendaki laki-laki berperan sebagaimana mestinya laki-laki dan perempuan berperan sebagaimana mestinya perempuan. Kalau toh kemudian ada perempuan memiliki fisik yang kuat lalu bekerja dengan menggunakan kekuatan fisiknya itu--seperti ibu-ibu di pedesaan yang turut bertani atau menjadi buruh membantu suaminya mencari nafkah atau bekerja di sektor publik lainnya-- itu adalah sesuatu yang wajar dalam sebuah konstruksi sosial. Hal itu tidak perlu diperdebatkan sebagaimana adanya laki-laki yang lemah dan tidak bekerja. Justru menjadi aneh kalau ada perempuan maupun laki-laki yang berkutat memegang prinsip 3 M (malas, manja dan memble).
Namun, jauh hari kemudian--seperti yang kita nikmati hari ini--pondasi pokok kesetaraan gender yang telah diperjuangakan Nabi Muhammad SAW itu tercerabut kembali dari akarnya. Kini terjadi (lagi) berbagai bentuk kesenjangan atau ketidakadilan gender. Di satu sisi, perempuan dan laki-laki saling berebut untuk mengukuhkan eksistensi mereka masing-masing pada level yang dipandang lebih terhormat. Sedangkan pada sisi yang lain, laki-laki dan perempuan melakukan prosesi dehumanisasi. Laki-laki “menjual” perempuan dan perempuan “memperbudak” laki-laki untuk berbagai kepentingan kehidupan moderen. Ujungnya-ujungnya kembali lagi ke persoalan klasik; perempuan selalu saja berada pada posisi yang “kalah”. Laki-laki berkuasa atas dirinya. Sekuat apapun perempuan itu, tetap saja ia menjadi “korban” atau bahkan “dikorbankan”. Sungguh naïf.
Jadi, persoalan yang berkaitan dengan perempuan memang tidak akan habis-habisnya sampai dunia ini tutup usia. Justru itu, yang dapat dilakukan adalah memandang persoalan-persoalan tersebut secara proporsional. Kalau dulu perempuan dipinggirkan perannya, direndahkan, dilecehkan, dikasari, dan bahkan keberadaannya dianggap sebagai makhluk “kelas dua” tidak lain karena memang tradisi masyarakat jahiliyah mempersepsi perempuan seperti itu. Jika sekarang perempuan (kembali) merasa diperlakukan seperti yang demikian itu dan bahkan “dijual” untuk berbagai kepentingan, maka harus ditelisik secara berkejelasan sebab-musabab yang melatarbelakanginya. Dapat diduga bahwa pada fenomena ini sudah bertengger berbagai kepentingan seperti kepentingan kapitalisme moderen, kepentingan materialisme, kepentingan kolonialisme dan kepentingan-kepentingan globalisme lainnya.
Dengan demikian, ada sesuatu yang mengusik kita: benarkah para perempuan di zaman ini “dipinggirkan” peran dan keberadaannya atau mereka sendiri yang sengaja “meminggirkan” diri. Kalau mau jujur, memang banyak peran dan keberadaan perempuan yang dipinggirkan. Ini terkait dengan berbagai kepentingan laki-laki atas perempuan tersebut. Akan tetapi, kita tidak pula perlu menutup mata bahwa banyak juga perempuan yang secara sengaja maupun tidak telah beraktivitas pada posisi yang dapat meminggirkan keberadaannya. Karena ada jurang menganga, mereka yang berada terlalu di pinggir, akhirnya terpeleset. Lalu hanyut (terjerumus) diseret perputaran arus peradaban (globalisasi) yang umumnya memang menawarkan kesenangan-kesenangan tanpa batas dan glamor.
Di Barat atau di negara-negara liberal lainnya, perempuan yang mendapati dirinya direndahkan memobilisasi gerakan perlawanan yang kemudian dikenal dengan gerakan feminisme. Gerakan ini lahir sembari mengusung cita-cita ingin memperjuangkan kesetaraan laki-laki perempuan dengan landasan equal right’s movement ‘gerakan persamaan hak’ (kesetaraan gender). Gerakan ini melakukan perlawanan terhadap berbagai ketidakadilan yang diperlakukan terhadap perempuan di seluruh pelosok bumi dengan mendorong perempuan untuk lebih maju, lebih berpendidikan dan sebagainya. Di satu sisi gerakan ini memang memberi “pencerahan” terhadap eksistensi perempuan. Akan tetapi, pada sisi lain, mereka justru seruduk sana seruduk sini dan bahkan feminisme radikal pernah menyalahkan Tuhan atau minimal protes pada Allah karena menciptakan para nabi dari jenis kelamin laki-laki saja, tidak ada nabi yang perempuan. Mereka mempertanyakan apakah karena Tuhan itu juga laki-laki. Nauzubillah.
Belakangan, dari pergerakan kaum feminisme ini telah melahirkan perbuatan-perbuatan yang dapat dianggap bias gender. Umpamanya, gerakan ini menentang habis-habisan persoalan poligami. Namun mereka hanya berkoar menentang poligami dengan berbagai cibiran tanpa dapat mencarikan solusi untuk menghadapi persoalan perempuan dewasa untuk bisa berumah tangga (bersuami dan kemudian memiliki anak) secara legal sebagai sebuah kebutuhan fitrah (biologis) dan kebutuhan sosial. Bukan cuma tak dapat memberi solusi, akan tetapi justru banyak aktivis feminis yang kemudian memilih hidup sendiri tanpa bersuami (berkeluarga)[4]. Cara ini bertujuan ingin membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga yang biasa disebut women’s liberation movement atau women’s emancipation movement yaitu gerakan pembebasan wanita[5]. Akibatnya, mereka kemudian hidup dengan kondisi psikis yang cendrung labil dan kesepian di hari tuanya tanpa anak dan keluaga. Mereka menderita di atas cita-cita kesetaraan yang mereka perjuangkan .
Dalam propaganda-propaganda pergerakan kaum feminis ini, mereka mempopulerkan imeg bahwa poligami sesuatu yang menguntungkan laki-laki saja. Perempuan hanya menjadi korban (objek) laki-laki. Padahal sebenarnya poligami justru dapat dipandang sebagai sesuatu yang juga menguntungkan perempuan. Jika kita bicara secara kuantitatif, maka jumlah perempuan –baik yang masih gadis maupun yang sudah menjadi janda--jelas melebihi laki-laki, maka cara untuk melindungi perempuan dari perbuatan-perbuatan maksiat –terkait dengan penyaluran hasrat biologis yang halal tentunya—dan menyelamatkannya dari kesepian di hari tua –sebab memiliki suami dan anak sebagai belahan jiwanya—salah satuya adalah dengan poligami. Adakah perempuan-perempuan di Barat berpikir soal kemaksiatan dan kesepian itu (?) Tidak. Justru perempuan yang berusaha menjaga kesalehan dan kemurnian diri mereka, dianggap sebagai salah satu faktor penyebab inferioritas dan penghambat perkembangan perempuan menjadi manusia seutuhnya.
Selain itu, gerakan feminisme menuding bahwa telah terjadi banyak ketidakadilan gender dalam urusan poligami. Kenapa laki-laki saja yang berhak berpoligami, sementara perempuan dilarang berpoliandri [6]. Kalau pandangan ini diteruskan untuk ukuran Indonesia, maka ada sesuatu yang mesti dipikirkan; jika poliandri itu terjadi, belum terbayangkan --setidaknya bagi saya-- bagaimana seorang perempuan dengan kondisi ke-indonesiaannya harus melayani suami-suaminya. Berbanding terbalik dengan kondisi di Eropa yang memang telah melegalkan kebebasan. Perempuan yang telah lepas dari tanggung jawab orang tuanya berhak melakukan sesuatu yang dikehendakinya tanpa harus ada yang merintang-rintanginya. Poliandri mungkin tidak mereka lakukan secara kasat mata, tetapi praktik poliandri tersebut telah membias dari perbuatan mereka di mana seorang perempuan bebas memilih laki-laki yang diinginkannnya dan setelah itu dapat berganti-ganti pasangan kencan sesering yang diinginkannya. Oleh karena itu, tuntutan persamaan hak (gender) untuk melegalkan poliandri bagi perempuan, pada kenyataannya tetap saja sebagai bola liar yang memposisikan perempuan sebagai “korban”. Hal ini terjadi karena laki-laki mempersepsi perempuan tersebut sebagai “barang” yang “menjajakan diri”. Inilah sebuah fenomena tragis yang meruntuhkan derajat kemuliaan yang diberikan kepada perempuan.
Satu masalah penting lainnya yang menunjukkan terjadinya bias gender dalam perjuangan kaum feminis adalah keinginan mereka untuk melegalkan aborsi. Dalam Deklarasi Beijing tahun 1995 disebutkan bahwa aborsi adalah hak legal kaum perempuan. Pelegalan aborsi jelas bertujuan untuk melegalkan pula hubungan bebas pranikah yang dilakukan pasangan muda-mudi seperti di Barat. Akan tetapi, masalah ini mendapat penentangan dari negara-negara muslim. Doktor Alasvand, seorang dosen di Universitas Teheran, menyatakan, “Deklarasi Beijing tidak memberikan penghormatan kepada nyawa manusia (perempuan) sehingga deklarasi ini sama saja dengan dokumen-dokumen internasional lain yang tidak menghiraukan masalah budaya pribumi dan agama. Deklarasi ini tidak menyajikan penjelasan yang tepat mengenai berbagai masalah perempuan serta tidak mengemukakan jalan keluar dari masalah-masalah tersebut yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya berbagai bangsa”[7]
Nah, itulah beberapa contoh bias gender dalam gerakan feminisme yang lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap ketertindasan/keterpinggiran perempuan. Boleh dikata bahwa bias gender tersebut menyebabkan perempuan tetap dalam posisi yang tidak menguntungkan. Dalam konteks ini gerakan feminis dipandang gagal memperjuangkan cita-citanya yang justru berbalik arah membawa perempuan pada upaya pengingkaran naluri dan fitrah manusia.

Perempuan Terpinggirkan atau Meminggirkan Diri, Lalu Jalan Keluarnya Gimana?

Dari pembicaraan di atas, jelaskah bahwa persoalan perempuan yang terpinggirkan—sebenarnya dalam konsep kesetaraan gender yang dicetuskan Rasulullah SAW, tidak ada perempuan yang terpinggirkan atau dipinggirkan perannya, yang ada kemudian adalah perempuan yang sengaja meminggirkan diri mereka sendiri—menjadi fenomena yang tak terelakkan ketika kita menyadari banyaknya perempuan yang tidak (lagi) memahami keberadaan diri mereka. Ketika masyarakat kapitalis “memperdagangkan” perempuan, sangat jarang perhimpunan perempuan meresponnya, bahkan anehnya para perempuan yang terlibat di dalamnya melakukan peran itu dengan senang hati (enjoy).
Tengoklah bagaimana perempuan “diperjualbelikan” dan dieksploitasi untuk menjual barang. beberapa industri mutakhir seperti mode, kosmetik, dan hiburan termasuk parawisata hampir sepenuhnya memanfaatkan perempuan. Pendidikan dan media massa menampilkan citra perempuan yang penuh glamour, sensual dan fisikal. Pada masyarakat yang bebas, perempuan dididik untuk melepaskan segala ikatan normatif kecuali kepentingan industri. Tubuh mereka dipertunjukkan untuk menarik selera konsumen. Mobil mewah tidak lengkap kalau tidak ada perempuan setengah telanjang tidur di atasnya. Kopi tidak enak kalau tidak disajikan gadis belia yang seronok. Rokok baru memuaskan bila diselipkan di sela-sela bibir yang menantang. Film tidak menarik kalau tidak dibungkus dengan adegan perempuan yang berbusana seadanya[8].
Persoalan-persoalan di atas yang selanjutnya dapat menstimulus terjadinya berbagai tindak pelecehan terhadap perempuan, tidak pernah direspon dengan serius. Hanya ditanggapi secara dingin dan bahkan dianggap angin lalu saja. Sepanjang berkuasanya Megawati Soekarno Putri sebagai seorang presiden perempuan, tak satu pun program pembangunannya yang menyinggung-nyinggung masalah ini. Ya, dia memang presiden perempuan, tetapi dia tidak mempunyai keberpihakan dan sensifitas terhadap masalah-masalah perempuan. Sebagai seorang presiden perempuan, Megawati dianggap gagal berjuang untuk kepentingan perempuan.
Sementara itu, para aktivis perempuan lebih sibuk meneriakkan emansipasi dan pemberdayaan perempuan di meja-meja diskusi dan seminar dengan meraup dana-dana dari pemerintah maupun donator lainnya. Mereka gagal memberi penyadaran ataupun pencerahan terhadap banyak perempuan di sekeling mereka yang terlibat dalam perbuatan-perbuatan yang secara tidak sadar telah telah “memperkeruh” citra diri mereka sendiri. Para perempuan yang muncul ke publik dengan menjual sensualitas atau kemolekan tubuhnya tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu adalah sebuah penistaan yang merendahkan diri mereka. Mereka mungkin saja diprogram oleh laki-laki, tetapi program itu tidak akan berjalan kalau tidak dilaksanakan oleh perempuan yang bersangkutan. Lalu, apakah sebenarnya yang diinginkan, dicari, diharapkan dan didambakan oleh perempuan-perempuan tersebut? Tak tahulah, yang jelas, jaring-jaring kapitalistik telah memerangkap mereka dan menyeretnya kepada kekeliruan memaknai hidup.

Jalan Keluar
Terpingirkannya peran perempuan atau memang sengaja dipinggirkan dan meminggirkan diri di tengah-tengah publik menunjukkan bahwa keberadaan perempuan belum dipandang seutuhnya. Padahal dalam upaya membangun masyarakat, tidak ada langkah yang lebih berperan selain dari memberdayakan perempuan. Kaum perempuan mempunyai hak untuk memiliki kehidupan yang sesuai dengan esensi kemanusiaan dan memainkan peran penting dalam masyarakat. Adalah jelas bahwa untuk menyelesaikan masalah perempuan, diperlukan langkah yang lebih jauh dari sekadar mengeluarkan beberapa piagam dan resolusi. Kaum perempuan memerlukan fasilitas hukum dan perundang-undangan untuk merealisasikan hak-hak mereka[9].




[1] Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual (Bandung: Mizan, 1998) hal. 192. Dalam tulisan ini Kang Jalal memulai dengan pertanyaan: untuk apa perempuan diciptakan? Untuk menyenangkan laki-laki kata kawannya yang sarjana fisika. Lihat saja berbagai tempat hiburan, perempuan-perempuan “dijual” untuk memuaskan selera laki-laki. Tak ada tempat hiburan yang menjual laki-laki.

[2] HAMKA, Kedudukan Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996) hal. 22

[3] Jender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk berdasarkan kontruksi sosial maupun budaya. Karena dibentuk oleh konstruksi sosial dan budaya setempat, maka jender tidak berlaku selamanya, tetapi dapat berubah dan diubah berdasarkan perbedaan waktu, tempat, budaya dan perubahan tata nilai. Karena bentukan pula, maka jender bisa dipertukarkan. Misalnya kalau dulu pekerjaan mengurus rumah tangga selalu diidentikkan dengan perempuan, maka sekarang ini sudah mulai banyak laki-laki yang malu karena tidak bisa mengurusi dapur atau keperluan perut lainnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa antara jender dan seks merupakan dua hal yang berbeda. Jender ditentukan oleh konstruksi sosial dan budaya setempat, di mana konstrusi sosial tersebut merupakan buatan manusia yang bersifat dinamis. Sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan bersifat kodrat, tidak bisa dipertukarkan. Misalnya laki-laki mempunyai jakun, penis dan bisa memproduksi sperma, sementara perempaun mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui.. Lihat Pedoman Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003) hal. 3-4.
[4]Perempuan yang merasa puas dan bahagia dengan hanya semata-mata mengurus keluarga dan rumah tangganya akan ditentang oleh para feminis. Perempuan tersebut membiarkan dirinya tidak saja tergantung pada suami dan kemudian anak-anaknya, melainkan juga tidak sanggup mengembangkan diri menjadi orang yang mandiri. Lihat Soenarjati Djajanegar, Kritik Sastra Feminis Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003) hal. 52 .

[5]Ibid. hal. 4.

[6]Dalam hal ini adakah poligami dapat didekonstruksi menjadi sesuatu yang dapat dilakukan oleh perempuan (poliandri) sebagaimana yang dapat dipahami dari defenisi gender di atas…. “Karena dibentuk oleh konstruksi sosial dan budaya setempat, maka jender tidak berlaku selamanya, tetapi dapat berubah dan diubah berdasarkan perbedaan waktu, tempat, budaya dan perubahan tata nilai. Karena bentukan pula, maka jender bisa dipertukarkan….” Dengan bertopang pada dasar ini, dapatkah dikatakan seorang perempuan yang melalukan poliandri sebagai wujud kesetaraan gender. Tentu saja tidak, bukan!

[7] Pendapat Doktor Alasvand ini dikutip dari situs Radio IRIB Berbahasa Indonesia (http://www.irib.com), April 2005.

[8]Ronidin. “Kekerasan Terhadap Wanita, Warisan yang Dilematis” dalam Singgalang (Padang, 2000). hal. 3.
[9] Pendapat ini dikemukan Sekjen PBB Kofi Annan terkait dengan Sidang Komisi Status Perempuan PBB tanggal 28 Februari hingga 11 Maret 2005. Komisi Status Perempuan atau Commission on The Status of Women yang disingkat dengan CSW, mengadakan sidang mereka yang ke-49. CSW adalah sebuah lembaga di bawah pengawasan PBB yang bertugas meningkatkan pemberdayaan perempuan di dunia. Sidang yang dihadiri oleh para wakil dari lebih 100 negara dunia dan enam ribu aktivis perempuan ini digelar di Markas PBB di New York. Lihat http://www.irib.com.

Tidak ada komentar: