Kamis, 13 Desember 2007

Malamang: Antara Tradisi dan Harga Diri

Masyarakat Minangkabau sebagaimana juga masyarakat lainnya, memiliki tradisi yang unik dan beragam. Pada waktu-waktu tertentu, tradisi itu akan menjadi iven budaya yang menarik. Di Pariaman misalnya, ada tradisi Tabuik setiap bulan Muharam sebagai ivent budaya tahunan untuk mengenang peristiwa terbunuhnya cucu nabi Muhammad saw Hassan dan Hussen dalam perang Karbala. Di sebagian wilayah Kabupaten Solok ada tradisi mambantai di palo banda (menyemblih sapi atau kerbau di hulu sungai) sebelum turun ke sawah. Lalu, ada pula tradisi menujuh hari, empat belas hari, empat puluh hari dan seratus hari kematian.
Malamang (membuat lemang) juga merupakan bagian dari tradisi yang ada di Minangkabau. Tradisi ini dapat ditemui hampir di seluruh wilayah Minangkabau baik di daerah darek (darat) maupun di daerah rantau (daerah tempatan). Tradisi malamang ini termasuk ke dalam ranah folklore. Karena menurut Oxford Dictionary, Folklore mengandung arti keyakinan atau kisah-kisah lama (tradisional) mengenai rakyat,sekaligus juga bisa dimengerti sebagai studi atas kisah, tradisi atau keyakinan rakyat itu sendiri. Rakyat di sini bisa suku, masyarakat, atau penduduk suatu wilayah dengan ragam budayanya sendiri (Helmi Mustafa, 2005 dalam http://www.padhangmbulan.com). Sedangkan menurut Maryaeni (dalam Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia Tahun 10, Nomor 1, Februari 2004), secara etimologi, kata folklore terdiri atas kata folk dan lore. Folk adalah masyarakat pemilik suatu kebudayaan tertentu, sedangkan lore adalah suatu kebudayaan, tradisi, dan kesenian yang dimiliki oleh kolektif tertentu. Folklor dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.
Malamang termasuk folklore bukan lisan. Proses Malamang sebagai tradisi dilaksanakan masyarakat Minangkabau atas konvensi lingkungan sosialnya pada momen-momen tertentu misalnya ketika akan masuk dan sesudah puasa, ketika maulid nabi, ketika memperingati hari kematian, dan ketika baralek (pesta perkawinan). Tradisi ini ada karena merupakan warisan budaya. Oleh karena itu, malamang dapat dipandang sebagai kekhasan daerah yang perlu dilestarikan. Tradisi ini bukan saja bernilai budaya, tetapi juga dapat bernilai ekonomis.
Seperti telah disebutkan, proses malamang dilaksanakan sebagai sebuah tradisi yang masih ada di Minangkabau. Untuk itu, ada beberapa pertanyaan yang mengedepan bagi saya terkait dengan ini. Pertama, apa dan untuk apa sebenarnya malamang itu? Kedua, kapan waktu pelaksanaannya? Ketiga, apakah ada sangsi bagi warga yang tidak malamang pada waktu yang sudah disepati bersama? Keempat, apakah ada perbedaan tradsi ini antara daerah satu dengan daerah lainnya di Minangkabau? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas akan coba dibentangkan dalam tulisan ini.
Malamang merupakan akar tradisi yang tidak dapat dipisahceraikan dengan masyarakat Minangkabau. Malamang yang dimaksud di sini bukan yang dilakukan oleh pribadi untuk kepentingan pribadi, tetapi malamang sebagai bagian dari kebiasaan yang dilakukan secara bersama oleh sekelompok masyarakat. Malamang sebagai sebuah tradisi biasanya dilaksanakan untuk kepentingan tertentu. Di waktu akan masuk puasa, malamang dilaksanakan secara bersama oleh masyarakat sebagai tradisi menyambut Ramadhan. Lamang yang dibuat akan dihidangkan kepada tamu (atau siapa saja) yang datang ke rumah. Lamang merupakan kudapan resmi di saat sebuah keluarga mengundang warga untuk membaca doa selamat memasuki bulan puasa. Begitu pula di waktu memasuki hari raya, malamang dilaksanakan dengan tujuan yang tidak jauh berbeda.
Sementara itu, di sebagian masyarakat Minangkabau seperti di Solok, tradisi malamang juga dilaksanakan pada saat memperingati hari kematian. Utamanya pada peringatan empat belas hari kematian, empat puluh hari kematian atau seratus hari kematian. Tujuannya tidak jauh berbeda dengan yang lain, yaitu untuk menjamu tamu (masyarakat) yang diundang. Malamang dalam konteks ini, sebenarnya akan menimbulkan kontradiksi sosial jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi keluarga yang meninggal. Adakalanya keluarga tersebut tidak sanggup, tetapi karena tidak mau menanggung malu sebagai salah satu bentuk penghukuman publik, maka, diusahakan dengan berbagai jalan bahkan dengan menghutang. Padahal yang demikian itu tidaklah disyariatkan agama. Sementara itu di beberapa daerah, adakalanya tradisi malamang dilaksanakan pada pesta perkawikan. Dalam kondisi ini sebagai tradisi, maka ia tidak akan berbenturan dengan kepentingan lain, karena memang dalam pesta perkawinan pihak keluarga penyelenggara sudah berniat untuk “berhabis-habis”.
Sebagai tradisi, malamang juga dilaksanakan pada saat memperingati maulid nabi. Hampir seluruh negeri di Minangkabau melaksanakannya pada waktu dimaksud. Di Pariaman misalnya, tradisi ini dilaksanakan secara besar-besaran. Menurut Drs. M.Yusuf, M. Hum. (Pimpinan Studio Audiovisual Fakultas Sastra Universitas Andalas) yang merekam peristiwa ini Sabtu dan Minggu (27-28/05/06) yang lalu, rata-rata sebuah keluarga membuat lemang 150-250 batang atau setara dengan 75-125 liter sipuluik. Menurut Azwar, S.S. yang juga ikut serta dalam rombongan tim Audiovisual FSUA itu, Masing-masing keluarga akan berlomba-lomba untuk malamang. Melihat tetangganya malamang 80 liter misalnya, kalau bisa, ia akan malamang sebanyak 90 atau 100 liter. Semiskin-miskinnya sebuah keluarga, minimal mereka akan malamang 80-90 batang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebiasaan/tradisi malamang ini dilaksanakan demi sebuah harga diri. Harga diri di mata sesama anggota masyarakat.
Menurut Azwar, malamang versi masyarakat Pariaman, sebenarnya bermula dari kehendak Syeh Burhanudin Ulakan pada awal-awal penyebaran Islam di Pariaman kira-kira pada abad ke XVI. Syeh Burhanudin menginginkan makanan yang dibuat dari benda-benda yang bersih dari najis. Dapat diketahui bahwa ketika itu, masyarakat masih berada dalam masa pra-Islam yang serampangan menggunakan peralatan masaknya antara memasak makanan yang diharamkan dengan makanan yang dihalalkan Islam. Syeh Burhanudin ingin makanan yang di masak dengan alat yang alami dan bersih. Maka salah satu cara yang ditempuh masyarakat adalah dengan membuat makanan dengan menggunakan bambu yang dibakar (lemang). Dalam perkembangannya kemudian, lemang menjadi makanan wajib bagi guru-guru mengaji di surau. Murid-murid akan membawakan lemang untuk gurunya di surau karena di samping praktis, makanan ini juga lambat basi.
Begitulah, tradisi malamang menjadi tradisi yang sampai hari ini masih ada dan akan tetap ada. Masyarakat Pariaman dan juga masyarakat lainnya di Ranah Bundo ini akan tetap mempertahankan tradisi itu karena memang di sana tersimpan entitas budaya dan harga diri. Masyarakat Minangkabau tidak mungkin menggadaikan identitasnya. Wallahualam Bissawab.

Tidak ada komentar: