Kamis, 13 Desember 2007

Di Balik Kontroversi Imam Bonjol

Oleh Ronidin


Momen peringatan hari pahlawan tahun ini ditandai dengan aksi pasang cabut gelar pahlawan nasional. Ada pihak yang mengusulkan agar beberapa nama yang telah berjasa pada negeri ini—yang kemudian tersangkut “gerakan daerah” pada tahun 1950-an seperti Syafruddin Prawiranegara dan M. Natsir (mereka terlibat PRRI) dianugerahi gelar pahlawan nasional. Lalu ada pula pihak yang ingin mencabut gelar pahlawan yang sudah ada.
Beberapa waktu yang lalu muncul petisi di internet mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional, dan meluruskan sejarah Kerajaan Pagaruyung, sejarah tanah Sumatera, dan sejarah Republik Indonesia.
Tuanku Imam Bonjol berkhianat pada Kerajaan Pagaruyung, membantai keluarga kerajaan itu, memimpin invasi ke Tanah Batak yang menewaskan lebih satu juta jiwa, menyerang Kerajaan Batak Bakkara dan menewaskan Sisingamangaraja X, bertanggung-jawab atas masuknya Kerajaan Belanda di tanah Sumatera Utara dan Minangkabau. Petisi ini ditulis oleh seorang pemuda Batak Mudy Situmorang—lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember, kelahiran Simanindo, Pulau Samosir Sumatera Utara.
Petisi untuk membatalkan gelar pahlawan nasional bagi Imam Bonjol ini ditanggapi oleh sejarawan Taufik Abdullah sebagai suatu hal yang nonsense. Menurut Taufik, kekerasan di awal gerakan Padri bukan tanggung jawab Tuanku Imam Bonjol. Saat gerakan Padri masih radikal di awal, Tuanku Imam Bonjol masih muda dan baru menjabat sebagai asisten Tuanku Bandaro, salah satu pemimpin gerakan Padri saat itu. Pada masa selanjutnya, malah bersama Tuanku Imam Bonjol, pasukan Padri lebih menitikberatkan serangan pada pihak Belanda. Sementara falsafah adat basandi syarak justru mengemuka di bawah kepemimpinan Imam Bonjol (lihat www.dutamasyarakat.com, 17/10/07).
Gerakan Padri merupakan gerakan sosial kolektif yang melibatkan banyak pemimpin. Tidak hanya Imam Bonjol saja. Masing-masing pemimpin itu memiliki ciri khas tersendiri dalam kepemimpinannya; ada yang “keras” dan ada yang moderat. Tuanku Tambusai misalnya, atas perintah Imam Bonjol pergi menunaikan ibadah haji dan melihat kondisi keislaman di Mekah, sekembalinya, ia menjadi lebih moderat dari sebelumnya karena mendapati Islam moderat di Mekah. Seperti disebutkan dalam buku Tuanku Rao, Tuanku Tambusai menyesal melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana wanita-wanita ditawan oleh pasukan Tuanku Lelo. Tuaku Lelo merupakan salah seorang pemimpin Padri yang bertipikal “keras”.
Menjadi pertanyaan: apakah petisi pencabutan gelar pahlawan Imam Bonjol ini dilatari oleh “heboh” kembali buku Tuanku Rao—yang diterbitkan lagi tanpa perubahan oleh Penerbit LKiS Yokyakarta (Juni 2007) yang lalu atau karena sebab-sebab lain? Pertama, bisa jadi buku Tuanku Rao ini memicu (kembali) bangkitnya semangat anti Padri di kalangan pemuda Batak. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1964 dan dipandang kontroversial. Buku ini membeberkan “kekerasan” yang dilakukan oleh komandan-komandan pasukan Padri versi Mangaradja Onggang Parlindungan (penulis buku ini). Parlindungan menyusun buku itu berdasarkan data sejarah Batak yang dimiliki ayahnya, Sutan Martua Radja. Pada 1918, ayahnya adalah guru sejarah di Normaalschool Pematangsiantar. Ayahnya memiliki warisan dokumen sejarah Batak turun-temurun dari tiga generasi sepanjang 1851-1955.
Di samping itu, Parlindungan memakai bahan-bahan milik Residen Poortman. Posisi Poortman sama dengan Snouck Hurgronje. Snouck adalah seorang ahli Aceh, yang informasinya diminta oleh pemerintah Belanda. Sedangkan Poortman adalah seorang ahli Batak. Poortman pensiun pada 1930 dan kembali ke Belanda. Di Leiden, Belanda, Poortman lalu menemukan laporan-laporan para perwira Padri sepanjang 1816-1820 untuk Tuanku Imam Bonjol. Parlindungan mengenal Poortman secara pribadi dan pernah bertemu di Belanda. Poortman mengirimkan bahan-bahan laporan itu ketika Parlindungan menulis bukunya (lihat www.tempointeraktif.com, 21/10/07).
Apa yang ditulis Parlindungan ini mendapat sanggahan HAMKA melalui bukunya Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Dalam buku setebal 364 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada 1974 itu, HAMKA menuding isi buku Tuanku Rao 80 persen bohong, sedangkan sisanya diragukan kebenarannya. Pasalnya, setiap kali HAMKA menanyakan data dan fakta buku itu, Parlindungan selalu menjawab, ”sudah dibakar.”
Selain itu, HAMKA mempertanyakan kebenaran berbagai isu yang dilontarkan Parlindungan. Isu yang cukup sensitif misalnya pernyataan bahwa selama 300 tahun daerah Minangkabau menganut mazhab Syiah Qaramithah. Hal ini menurut Hamka dusta belaka.
Sementara itu, Basyral Hamidy Harahap menulis buku Greget Tuanku Rao, terbit September lalu sebagai reaksi terhadap buku Tuanku Rao. Basyral adalah Ketua Jurusan Perpustakaan Universitas Indonesia 1965-1967 dan pensiunan pustakawan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV). Ia ingin mengoreksi beberapa info tentang Tuanku Rao yang dianggapnya kurang tepat. Tapi, pada garis besarnya, ia sepakat dan bahkan menambahkan data kekerasan yang dilakukan Padri. ”Buku Parlindungan banyak salahnya, tapi buku itu ada di jalan yang benar.”
Hal kedua yang berkemungkinan memicu lahirnya petisi pencabutan gelar pahlawan Nasional Imam Bonjol adalah konspirasi sentimen agama. Bagi pemuda-pemuda Batak, masuknya Islam ke negeri Batak merupakan neraka yang sengaja diciptakan pasukan Padri untuk nenek moyang mereka. Jadi, ada “dendam” sejarah dan juga “dendam” agama di dada mereka.
Seorang pemuda Batak, Samuel Hutagalung, S.Ag menulis artikel yang cukup panjang tentang keberadaan dan sejarah Islam di tanah Batak yang “haus darah” dengan judul “Dakwah Islam di Tanah Batak” (lihat www.saumimansaud.org-a.googlepages.com). Tulisan ini secara subyektif memandang kekerasan orang-orang Islam dalam menyebarluaskan keyakinannya, termasuk proses masuknya Islam ke Batak melalui kekerasan orang-orang Aceh dan kaum Padri dari Minangkabau.
Samuel Hutagalung juga mengaminkan apa yang ditulis Onggang Parlindungan dalam Tuanku Rao bahwa invasi Padri (Islam) ke tanah Batak telah mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat Batak. Hutagalung menulis bahwa penyerangan Padri ke tanak Batak adalah untuk membawa misi 3 G yaitu Gold, Glory dan Glorious Qur’an atau dengan kata lain untuk mencari harta (ghanimah – rampasan perang), kekuasaan politik atas darul harbi (daerah perang karena belum diislamkan) dan membawa Al-Qur’anul Karim (kitab suci Al-Qur’an yang mulia) agar orang Batak masuk Islam. Diperkirakan setidaknya 200.000 (dua ratus ribu) orang Batak menjadi korban jihad fisabilillah Mujahiddin Padri ini, sebuah jumlah yang sangat luar biasa mengingat populasi waktu itu tidak sebesar saat ini.
Sedangkan hal ketiga yang berkemungkinan mendorong lahirnya petisi ini adalah skenario awal untuk mempopulerkan film layar lebar “Tuanku Imam Bonjol” yang sekarang digarap Reza Zulkifli lebih awal. Dengan adanya heboh Tuanku Imam Bonjol ini, maka produsen film ini akan menangguk keuntungan tersendiri. Tema filmnya menjadi popular lebih awal sebelum selesai syuting. Masyarakat akan bertanya-tanya seputar Imam Bonjol. Ketika rasa keingintahuan masyarakat tentang sosok Imam Bonjol besar, lalu muncul filmnya, sehingga animo untuk menonton akan sangat besar. Kemungkinan ini bisa saja terjadi.
Begitulah, kontroversi Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional menjadi sesuatu yang misteri. Ada apa sebenarnya? Ketiga kemungkinan yang dijelaskan di atas bisa jadi ada benarnya dan bisa jadi pula hanya praduga. Yang jelas pada peringatan hari pahlawan tahun ini dimeriahkan dengan wacana pasang cabut gelar pahlawan nasional. Walahualam bissawab.

Tidak ada komentar: