Oleh Ronidin
Vika Cikita, Tessy Pratama Faradila, Muhammad Rinaldi Putra, dan Nesia Riska adalah contoh kecil dari anak-anak keluarga miskin yang memiliki otak cemerlang. Vika Cikita peraih nilai tertinggi UN se Sumbar kesulitan biaya untuk melanjutkan studinya di perguruna tinggi. Tessy, M.Rinaldi dan Nesia juga mengalami nasib sama; lulus PMDK di Unand dan UNP tetapi kesulitan biaya untuk kuliah, minimal untuk biaya masuk pertama.
Vika, Tessy, M. Rinaldi dan Nesia hanyalah potret kecil dari sekian banyak siswa kurang mampu yang memiliki otak cerdas di negeri ini. Mereka mengimpikan melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi sayang kendala keuangan bak tembok kokoh menghadang mereka. Banyak di antara mereka itu yang harus berhenti di tengah jalan. Bahkan, ada di antaranya yang stress, lalu jadilah ia menghitung-hitung kerikil di jalan, manatap orang-orang berseragam sekolah dengan tatapan aneh, atau mencibiri setiap orang yang berbicara tentang sekolah.
Agaknya, siswa-siswi miskin yang cerdas perlu diselamatkan. Pendidikan di negeri ini tidak diperuntukkan hanya untuk orang kaya--meskipun pada kenyataannya hanya anak orang-orang kaya yang bisa melenggang bebas untuk studi setinggi-tingginya. Bagi anak orang miskin, sekolah tinggi merupakan impian yang entah dengan apa akan dicapai. Hanya satu dua di antara mereka yang berhasil mewujudkan impian itu berkat kerja kerasnya. Ada pula yang berhasil karena bantuan orang lain. Hanya saja mengharapkan bantuan orang lain sebagai bapak angkat atau penyantun atau pemberi beasiswa sama susahnya dengan mengharapkan adanya institusi pendidikan yang benar-benar gratis.
Fenomena ini tentu saja menyentak kita di tengah derasnya hasrat bangsa ini untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Anggaran pendidikan harus ditingkatkan. Itu suara yang dari dulu kita dengarkan di mana-mana. Cuma, sejauh ini, apa yang telah dilakukan belum mampu “membaca” kondisi dimaksud, apalagi mengatasinya. Lalu, apa solusinya?
Menurut saya, banyak yang bisa diperbuat oleh masyarakat mengatasi masalah ini. Akan tetapi, suatu hal yang teramat terpenting sebelum melakukan aksi adalah menumbuhkan rasa kepedulian. Sebab, jika tidak ada yang peduli, maka persolan ini akan tetap seperti itu juga sepanjang masanya. Akibatnya, bangsa ini akan terus merugi karena SDM-SDM berkualitasnya terpaksa harus “gulung tikar” dari dunia pendidikannya karena “dilemahkan” oleh faktor ekonomi. Hal ini berbanding terbalik dengan SDM di negara lain yang terus dipacu kualitasnya. Bila ini tidak dipedulikan, bukan tidak mungkin suatu saat bangsa kita akan menjadi “budak” bagi negara lain. Sekarang saja “ekspor” kita yang tersukses adalah TKW untuk menjadi PRT.
Satu hal lagi yang perlu dikawatirkan adalah adanya program dari negara-negara asing untuk menyekolahkan anak-anak cerdas dari Indonesia yang kurang mampu. Mereka tidak hanya disekolahkan, tetapi juga diberi fasilitas mewah. Pada akhirnya mereka akan menjadi “hebat” di negara orang. Bukan tidak mungkin pula suatu saat sebagai upaya balas budi, mereka “menjual” Indonesia kepada negara penyantunnya.
Jika kita peduli, maka yang dapat dilakukan misalnya adalah membentuk lembaga khusus penyantun anak-anak cerdas yang miskin itu. Lembaga tersebut mengkoordir bantuan dari orang-orang yang dianggap mampu dan peduli. Lalu lembaga ini menyalurkannya kepada para siswa miskin yang telah di data berupa beasiswa atau sejenisnya. Mungkin selama ini telah ada BAZ atau BAZIZ yang melakukan ini, tetapi pekerjaan BAZ atau BAZIZ lebih bersifat umum (melayani kaum duafa), sehingga untuk melayani atau membantu siswa kurang mampu secara khusus perlu lembaga dimaksud.
Itu satu cara, cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan pengalihan alokasi dana pembangunan fisik mesjid kepada pembangunan jemaahnya melalui pendidikan dan yang lainnya secara relevan. Dalam hal ini, bisa dibayangkan berapa jumlah mesjid yang ada di negeri ini, lalu dari jumlah yang sebanyak itu, berapa dana yang beredar yang dipakai untuk pembangunan fisik mesjid. Konon, malah ada mesjid yang harga gubahnya saja mencapai 1,5 Miliyar. Jika dana-dana itu dialihkan atau minimal diperdua untuk membangun masyarakat pengisi mesjid-mesjid itu, yang salah satunya melalui pendidikan siswa-siswi kurang mampu, maka berkemungkinan tidak akan ada lagi anak-anak miskin nan cerdas yang harus pusing tujuh keliling memikirkan bagaimana ia mencari biaya untuk melanjutkan studinya.
Selama ini di berbagai daerah orang berlomba untuk memperindah mesjid mereka. Lantai dan dinding dilapisi keramik yang berkilat-kilat bila disinari. Sudah berkeramik sebagus itu, masih ditambah lagi dengan karpet permadani yang mahal-mahal. Padahal kenyataan ketika sholat berjemaah, bagian mesjid yang terpakai tidaklah seluas bangunannya. Inventaris mesjid yang mahal-mahal itu kadang hanya tersimpan di gudang dan dimakan kepuyuk. Keramik-keramik yang melapisi dinding itu memang indah, tetapi sadarkah kita bahwa di balik dinding keramik itu ada anak-anak miskin yang membutuhkan uluran tangan. Jika tidak dibantu, orang lain dari agama lain selalu saja mengincarnya untuk diberi bantuan. Setelah itu secara perlahan-lahan mereka dibawa mengikuti keyakinan si pemberi bantuan itu.
Jadi, untuk sementara “beristirahatlah” membangun fisik mesjid, biarlah mesjid itu seperti yang sudah ada. Tidak perlu bermegah-megah. Justru yang lebih penting adalah membantu orang-orang yang ada di sekitar mesjid itu. Menyekolahkan anak-anak yang patut untuk disekolahkan. Memberi beasiswa bagi mereka yang sedang studi dan sebagainya. Ini perlu dilakukan agar orang-orang seperti Vika Cikita, Tessy Pratama Faradila, Muhammad Rinaldi Putra, Nesia Riska dan masih banyak yang lainnya tidak kehilangan kecerdasannya atau tragisnya “diculik” orang lain dari agama yang lain untuk dididik dengan cara mereka.
Berikutnya, kalau cara yang ditawarkan di atas tidak mempan, mau tidak mau untuk menolong anak-anak miskin dari kehilangan masa depan pendidikannya adalah dengan mengembalikan persoalan ini kepada pemerintah. Sebab fakir miskin dan anak-anak terlantar pada prinsipnya berada di bawah tanggungan negara. Dengan demikian, sistem pendidikan yang mesti dikembangkan adalah sistem pendidikan yang berpihak kepada warga miskin. Tidak seperti yang selama ini terjadi di mana yang bisa mengenyam pendidikan tinggi adalah orang-orang dari keluarga the have. Memang ada program yang membebaskan warga miskin dari beban biaya pendidikan, tetapi mereka yang miskin tetap saja tidak bisa bersekolah dengan aman karena sistem pendidikan telah dikomersilkan. Okelah mereka tidak dikenakan biaya SPP, tetapi biaya-biaya operasional lainnya tetap saja tak sanggup mereka sediakan.
Karena itu pemerintah mesti konsekuen untuk menciptakan pendidikan yang terjangkau keluarga miskin. Bantuan-bantuan pendidikan harus disalurkan secara tepat sasaran. Anak-anak miskin yang pintar-pintar mesti didiperhatikan untuk kemudian diprioritaskan mendapat bantuan. Tahun-tahun selanjutnya kita tidak melihat lagi Vika Cikita, Tessy Pratama Faradila, Muhammad Rinaldi Putra, Nesia Riska dan siswa-siswa lainnya “meratap” dulu untuk bisa kuliah. Walahualam bissawab.
Vika, Tessy, M. Rinaldi dan Nesia hanyalah potret kecil dari sekian banyak siswa kurang mampu yang memiliki otak cerdas di negeri ini. Mereka mengimpikan melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi sayang kendala keuangan bak tembok kokoh menghadang mereka. Banyak di antara mereka itu yang harus berhenti di tengah jalan. Bahkan, ada di antaranya yang stress, lalu jadilah ia menghitung-hitung kerikil di jalan, manatap orang-orang berseragam sekolah dengan tatapan aneh, atau mencibiri setiap orang yang berbicara tentang sekolah.
Agaknya, siswa-siswi miskin yang cerdas perlu diselamatkan. Pendidikan di negeri ini tidak diperuntukkan hanya untuk orang kaya--meskipun pada kenyataannya hanya anak orang-orang kaya yang bisa melenggang bebas untuk studi setinggi-tingginya. Bagi anak orang miskin, sekolah tinggi merupakan impian yang entah dengan apa akan dicapai. Hanya satu dua di antara mereka yang berhasil mewujudkan impian itu berkat kerja kerasnya. Ada pula yang berhasil karena bantuan orang lain. Hanya saja mengharapkan bantuan orang lain sebagai bapak angkat atau penyantun atau pemberi beasiswa sama susahnya dengan mengharapkan adanya institusi pendidikan yang benar-benar gratis.
Fenomena ini tentu saja menyentak kita di tengah derasnya hasrat bangsa ini untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Anggaran pendidikan harus ditingkatkan. Itu suara yang dari dulu kita dengarkan di mana-mana. Cuma, sejauh ini, apa yang telah dilakukan belum mampu “membaca” kondisi dimaksud, apalagi mengatasinya. Lalu, apa solusinya?
Menurut saya, banyak yang bisa diperbuat oleh masyarakat mengatasi masalah ini. Akan tetapi, suatu hal yang teramat terpenting sebelum melakukan aksi adalah menumbuhkan rasa kepedulian. Sebab, jika tidak ada yang peduli, maka persolan ini akan tetap seperti itu juga sepanjang masanya. Akibatnya, bangsa ini akan terus merugi karena SDM-SDM berkualitasnya terpaksa harus “gulung tikar” dari dunia pendidikannya karena “dilemahkan” oleh faktor ekonomi. Hal ini berbanding terbalik dengan SDM di negara lain yang terus dipacu kualitasnya. Bila ini tidak dipedulikan, bukan tidak mungkin suatu saat bangsa kita akan menjadi “budak” bagi negara lain. Sekarang saja “ekspor” kita yang tersukses adalah TKW untuk menjadi PRT.
Satu hal lagi yang perlu dikawatirkan adalah adanya program dari negara-negara asing untuk menyekolahkan anak-anak cerdas dari Indonesia yang kurang mampu. Mereka tidak hanya disekolahkan, tetapi juga diberi fasilitas mewah. Pada akhirnya mereka akan menjadi “hebat” di negara orang. Bukan tidak mungkin pula suatu saat sebagai upaya balas budi, mereka “menjual” Indonesia kepada negara penyantunnya.
Jika kita peduli, maka yang dapat dilakukan misalnya adalah membentuk lembaga khusus penyantun anak-anak cerdas yang miskin itu. Lembaga tersebut mengkoordir bantuan dari orang-orang yang dianggap mampu dan peduli. Lalu lembaga ini menyalurkannya kepada para siswa miskin yang telah di data berupa beasiswa atau sejenisnya. Mungkin selama ini telah ada BAZ atau BAZIZ yang melakukan ini, tetapi pekerjaan BAZ atau BAZIZ lebih bersifat umum (melayani kaum duafa), sehingga untuk melayani atau membantu siswa kurang mampu secara khusus perlu lembaga dimaksud.
Itu satu cara, cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan pengalihan alokasi dana pembangunan fisik mesjid kepada pembangunan jemaahnya melalui pendidikan dan yang lainnya secara relevan. Dalam hal ini, bisa dibayangkan berapa jumlah mesjid yang ada di negeri ini, lalu dari jumlah yang sebanyak itu, berapa dana yang beredar yang dipakai untuk pembangunan fisik mesjid. Konon, malah ada mesjid yang harga gubahnya saja mencapai 1,5 Miliyar. Jika dana-dana itu dialihkan atau minimal diperdua untuk membangun masyarakat pengisi mesjid-mesjid itu, yang salah satunya melalui pendidikan siswa-siswi kurang mampu, maka berkemungkinan tidak akan ada lagi anak-anak miskin nan cerdas yang harus pusing tujuh keliling memikirkan bagaimana ia mencari biaya untuk melanjutkan studinya.
Selama ini di berbagai daerah orang berlomba untuk memperindah mesjid mereka. Lantai dan dinding dilapisi keramik yang berkilat-kilat bila disinari. Sudah berkeramik sebagus itu, masih ditambah lagi dengan karpet permadani yang mahal-mahal. Padahal kenyataan ketika sholat berjemaah, bagian mesjid yang terpakai tidaklah seluas bangunannya. Inventaris mesjid yang mahal-mahal itu kadang hanya tersimpan di gudang dan dimakan kepuyuk. Keramik-keramik yang melapisi dinding itu memang indah, tetapi sadarkah kita bahwa di balik dinding keramik itu ada anak-anak miskin yang membutuhkan uluran tangan. Jika tidak dibantu, orang lain dari agama lain selalu saja mengincarnya untuk diberi bantuan. Setelah itu secara perlahan-lahan mereka dibawa mengikuti keyakinan si pemberi bantuan itu.
Jadi, untuk sementara “beristirahatlah” membangun fisik mesjid, biarlah mesjid itu seperti yang sudah ada. Tidak perlu bermegah-megah. Justru yang lebih penting adalah membantu orang-orang yang ada di sekitar mesjid itu. Menyekolahkan anak-anak yang patut untuk disekolahkan. Memberi beasiswa bagi mereka yang sedang studi dan sebagainya. Ini perlu dilakukan agar orang-orang seperti Vika Cikita, Tessy Pratama Faradila, Muhammad Rinaldi Putra, Nesia Riska dan masih banyak yang lainnya tidak kehilangan kecerdasannya atau tragisnya “diculik” orang lain dari agama yang lain untuk dididik dengan cara mereka.
Berikutnya, kalau cara yang ditawarkan di atas tidak mempan, mau tidak mau untuk menolong anak-anak miskin dari kehilangan masa depan pendidikannya adalah dengan mengembalikan persoalan ini kepada pemerintah. Sebab fakir miskin dan anak-anak terlantar pada prinsipnya berada di bawah tanggungan negara. Dengan demikian, sistem pendidikan yang mesti dikembangkan adalah sistem pendidikan yang berpihak kepada warga miskin. Tidak seperti yang selama ini terjadi di mana yang bisa mengenyam pendidikan tinggi adalah orang-orang dari keluarga the have. Memang ada program yang membebaskan warga miskin dari beban biaya pendidikan, tetapi mereka yang miskin tetap saja tidak bisa bersekolah dengan aman karena sistem pendidikan telah dikomersilkan. Okelah mereka tidak dikenakan biaya SPP, tetapi biaya-biaya operasional lainnya tetap saja tak sanggup mereka sediakan.
Karena itu pemerintah mesti konsekuen untuk menciptakan pendidikan yang terjangkau keluarga miskin. Bantuan-bantuan pendidikan harus disalurkan secara tepat sasaran. Anak-anak miskin yang pintar-pintar mesti didiperhatikan untuk kemudian diprioritaskan mendapat bantuan. Tahun-tahun selanjutnya kita tidak melihat lagi Vika Cikita, Tessy Pratama Faradila, Muhammad Rinaldi Putra, Nesia Riska dan siswa-siswa lainnya “meratap” dulu untuk bisa kuliah. Walahualam bissawab.
1 komentar:
Assalamu'alaikum,
akhirnya ketemu juga blog Abang...
masukkan awak ke link abang yo:
ragdifdaye.multiply.com
alhamdulillah, proposal global tu lai tembus, dapek dana 4 juta, spj-nyo harus diserahkan bulan januari, apo rancaknyo acara nan kadiadokan, bang?
Posting Komentar