Oleh Ronidin
Sederet pertanyaan mengedepan mengomentari iven Uda-Uni Sumbar. Para Uda-Uni yang dikonteskan itu sebenarnya mewakili siapa? Pantaskah disebut mewakili Sumatera Barat atau setidaknya sebagai duta wisata Sumatera Barat? Apa perlu dunia parawisata itu pakai duta? Hebor-heboh yang terdengar, Uda Uni tidak hanya berfungsi sebagai duta, namun juga sebagai penyambut tamu kalau ada pejabat yang datang. Entahlah, yang jelas iven Uda Uni itu berwujud dan katanya yang terpilih sebagai Uda Uni itu adalah putra putri terbaik daerah ini (?)
Lalu, kalau dia memang putra-putri yang terbaik,: dari segi apa diukur? Pengetahuankah, keterampilankah, kepribadiankah, sikapkah, agamakah atau apalagi? Okelah dari semua komponen itu. Akan tetapi jika kita kembali kepertanyaan Uda Uni mewakili siapa, maka jika disebut mewakili (duta) wisata Sumatera Barat berarti juga bisa disebut mewakili suku Minangkabau. Kalau mewakili (mendutai) wisata Minangkabau, muncul lagi pertanyaan lain: adakah Uda Uni itu—sesuai namanya—memiliki ciri khas atau karakteristik seorang uda dan uni Minangkabau? Adakah mereka dapat menjiwai kepribadian pemuda Minangkabau? Kalau itu terlalu ideal, adakah mereka mengetahui dan punya skill masalah-masalah keminangkabauan.
Suatu yang pasti, mereka tentu tidak dari kalangan tak terdidik. Itu jelas. Ilmu dan kecakapan mereka membawakan diri tentu tidak diragukan lagi. Mereka kalau bukan mahasiswa, pasti mantan mahasiswa. Setidak-tidaknya mereka pernah mengecap pendidikan formal yang telah membentuk mereka menjadi pemuda yang memiliki wawasan serta pengetahuan.
Justru yang meragukan adalah soalan-soalan yang berhubungan dekat dengan keseharian mereka. Soalan-soalan itu mungkin saja bagi mereka adalah hal-hal yang kecil dan spele, akan tetapi bagi masyarakat yang mereka dutai merupakan suatu hal penting. Itulah kebudayaan mereka. Nah, tatkala Uda Uni mewakili atau mendutai (wisata) Minangkabau, adakah mereka, para Uda Uni itu mampu memahami, menjiwai, dan (tentu saja) melaksanakan wujud-wujud kebudayaan masyarakat yang mereka wakili? Paling tidak pada tingkat yang mampu mereka lakukan.
Ini mungkin terkesan konyol, namun sangat penting. Bagaimana jadinya jika seorang yang akan mewakili “sesuatu” tidak memahami secara utuh apa yang diwakilinya. Dengan kata lain, tidak mungkin mewakili sesuatu yang hanya dipahami secara setengah-tengah atau pada taraf ilmunya saja tanpa bisa mempraktikkannya dalam kehidupan mereka. Jadi, Uda Uni mesti terampil ketika mereka mengikuti kontes/lomba dan terampil pula dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Bagi Uda misalnya, adakah ia memiliki ilmu bersilat—baik bersilat sebagai ilmu bela diri maupun “bersilat lidah” (dalam pengertian yang positif) sebagai seorang juru penerang, orator, jago lobi dan sebagainya. Adakah Uda itu bisa mengaji/membaca Al quran, bisa melafazkan bacaan sholat dengan benar, bisa menyelenggarakan jenazah (memandikan mengafani, dan menyolatkan), bisa azan dan khotbah Jumat. Adakah Uda itu bisa berteka-teki tradisional, bisa meniup/memainkan saluang, talempong, bansi dan alat-alat musik minang lainnya, bisakah Uda itu melakukan beberapa permainan rakyat; mengerti dengan sepak tekong, tokok lele, sepak rago, dsb. Adakah Uda itu bisa memasang umpan untuk memancing belut, atau berlari di sepanjang pematang sawah tanpa terjatuh. Adakah Uda yang gagah-gagah itu bisa meneteng piring/ menghidangkan makanan sepanjang tangannya seperti layaknya seorang pelayan rumah makan Padang. Entahlah.
Begitu pula Uni: adakah ia bisa memasak dengan baik; bisa membuat randang, kalio, samba lado tanak, onde-onde, bubua cande, nasi lamak, lemang dsb. Adakah Uni itu bisa membedakan mana yang bumbu jahe, lengkuas, serai, atau kunyit. Adakah Uni itu bisa manampi beras dengan niru. Adakah Uni itu bisa manumbok pakaian yang robek. Adakah Uni yang cantik-cantik itu bisa menggiling cabe di atas batu lado tanpa tangannya kepedasan, bisa mengukur kelapa dengan kukuran, dan bisa membawa air dengan ember di atas kepalanya tanpa dipegang. Entahlah.
Baiklah, hal-hal yang disebutkan itu memang terkesan spele dan tradisional sekali. Akan tetapi bagi masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau) hari ini, hal itu masih tetap penting dan dikedepankan karena merupakan identitas budayanya. Sebagai contoh misalnya, di kampung-kampung masih berlaku sebuah kebiasaan, jika orang ingin mencari menantu, maka salah satu yang akan menjadi pertimbangan adalah persoalan pandai tidaknya seorang anak gadis memasak.
Okelah para Uda Uni itu tinggal di kota dan tidak lagi kenal dengan kebiasaan-kebiasaan yang tradisional itu, lalu kalau ada tamu dari daerah lain atau tamu mancanegara yang menginginkan belajar yang tradisonal itu, apa yang dapat dilakukan oleh para duta wisata, ya, uda Uni itu.
Jadi, memperkenalkan parawisata Sumatera Barat --kalau ia memang perlu diduta-dutai-- kiranya penting pula memperkenalkan nilai-nilai tradisional atau budaya yang sudah mengakar kuat itu seperti yang disebutkan tadi. Maka, keterampilan tentang hal itu mencerminkan sebuah identitas yang mau tidak mau harus dimiliki bagi siapa saja yang ingin memperkenalkan wisata (budaya) Minangkabau.
Dalam konteks inilah kiranya diharapkan Uda Uni mampu memperkaya dirinya. Namun, apakah mereka seperti yang diharapkan itu? Suatu yang diragukan dari mereka adalah kompetensi terhadap yang tradisional-tradisional dan spele itu. Saya berani mengatakan bahwa jika diuji tentang “keterampilan tradisonal” yang merupakan ciri khas urang Minangkabau seperti disebutkan, maka hanya satu dua yang memilikinya. Banyak anak muda Minang hari ini (termasuk Uda Uni itu) yang tidak lagi bisa mengaji, tidak bisa menjadi iman sholat berjemaah, tidak punya keterampilan menyelenggarakan jenazah, tidak bisa menjadi khatib Jumat, tidak bisa memasak, tidak kenal dengan bumbu-bumbu dapur dan sebagainya.
Kalau tidak percaya, tanyakanlah kepada Pak Wako Padang (Drs. Fauzi Bahar, M. Si) ketika Pemko mengadakan lomba malamang; kenapa peserta lomba malamang di Pantai Padang baru-baru ini tidak ada yang diikuti oleh anak muda. Maka jawabannya (kira-kira saya) karena anak muda itu sudah tidak mengerti lagi bagaimana membuat lemang tersebut, berapa takaran santan dan pulutnya, berapa lama harus dipanggang dan sebagainya. Kalau saja Uda Uni itu diajak untuk mengikuti lomba membuat lemang: mampukah mereka? Entahlah.
Nah, kalau keterampilan itu tidak dimiliki, masihkah sesuatu yang elegan bila Uda Uni itu dinobatkan sebagai duta wisata (budaya) Sumatera Barat? Belum lagi kalau kita bicara dari aspek yang lain yang selama ini diprokontrakan.
Sederet pertanyaan mengedepan mengomentari iven Uda-Uni Sumbar. Para Uda-Uni yang dikonteskan itu sebenarnya mewakili siapa? Pantaskah disebut mewakili Sumatera Barat atau setidaknya sebagai duta wisata Sumatera Barat? Apa perlu dunia parawisata itu pakai duta? Hebor-heboh yang terdengar, Uda Uni tidak hanya berfungsi sebagai duta, namun juga sebagai penyambut tamu kalau ada pejabat yang datang. Entahlah, yang jelas iven Uda Uni itu berwujud dan katanya yang terpilih sebagai Uda Uni itu adalah putra putri terbaik daerah ini (?)
Lalu, kalau dia memang putra-putri yang terbaik,: dari segi apa diukur? Pengetahuankah, keterampilankah, kepribadiankah, sikapkah, agamakah atau apalagi? Okelah dari semua komponen itu. Akan tetapi jika kita kembali kepertanyaan Uda Uni mewakili siapa, maka jika disebut mewakili (duta) wisata Sumatera Barat berarti juga bisa disebut mewakili suku Minangkabau. Kalau mewakili (mendutai) wisata Minangkabau, muncul lagi pertanyaan lain: adakah Uda Uni itu—sesuai namanya—memiliki ciri khas atau karakteristik seorang uda dan uni Minangkabau? Adakah mereka dapat menjiwai kepribadian pemuda Minangkabau? Kalau itu terlalu ideal, adakah mereka mengetahui dan punya skill masalah-masalah keminangkabauan.
Suatu yang pasti, mereka tentu tidak dari kalangan tak terdidik. Itu jelas. Ilmu dan kecakapan mereka membawakan diri tentu tidak diragukan lagi. Mereka kalau bukan mahasiswa, pasti mantan mahasiswa. Setidak-tidaknya mereka pernah mengecap pendidikan formal yang telah membentuk mereka menjadi pemuda yang memiliki wawasan serta pengetahuan.
Justru yang meragukan adalah soalan-soalan yang berhubungan dekat dengan keseharian mereka. Soalan-soalan itu mungkin saja bagi mereka adalah hal-hal yang kecil dan spele, akan tetapi bagi masyarakat yang mereka dutai merupakan suatu hal penting. Itulah kebudayaan mereka. Nah, tatkala Uda Uni mewakili atau mendutai (wisata) Minangkabau, adakah mereka, para Uda Uni itu mampu memahami, menjiwai, dan (tentu saja) melaksanakan wujud-wujud kebudayaan masyarakat yang mereka wakili? Paling tidak pada tingkat yang mampu mereka lakukan.
Ini mungkin terkesan konyol, namun sangat penting. Bagaimana jadinya jika seorang yang akan mewakili “sesuatu” tidak memahami secara utuh apa yang diwakilinya. Dengan kata lain, tidak mungkin mewakili sesuatu yang hanya dipahami secara setengah-tengah atau pada taraf ilmunya saja tanpa bisa mempraktikkannya dalam kehidupan mereka. Jadi, Uda Uni mesti terampil ketika mereka mengikuti kontes/lomba dan terampil pula dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Bagi Uda misalnya, adakah ia memiliki ilmu bersilat—baik bersilat sebagai ilmu bela diri maupun “bersilat lidah” (dalam pengertian yang positif) sebagai seorang juru penerang, orator, jago lobi dan sebagainya. Adakah Uda itu bisa mengaji/membaca Al quran, bisa melafazkan bacaan sholat dengan benar, bisa menyelenggarakan jenazah (memandikan mengafani, dan menyolatkan), bisa azan dan khotbah Jumat. Adakah Uda itu bisa berteka-teki tradisional, bisa meniup/memainkan saluang, talempong, bansi dan alat-alat musik minang lainnya, bisakah Uda itu melakukan beberapa permainan rakyat; mengerti dengan sepak tekong, tokok lele, sepak rago, dsb. Adakah Uda itu bisa memasang umpan untuk memancing belut, atau berlari di sepanjang pematang sawah tanpa terjatuh. Adakah Uda yang gagah-gagah itu bisa meneteng piring/ menghidangkan makanan sepanjang tangannya seperti layaknya seorang pelayan rumah makan Padang. Entahlah.
Begitu pula Uni: adakah ia bisa memasak dengan baik; bisa membuat randang, kalio, samba lado tanak, onde-onde, bubua cande, nasi lamak, lemang dsb. Adakah Uni itu bisa membedakan mana yang bumbu jahe, lengkuas, serai, atau kunyit. Adakah Uni itu bisa manampi beras dengan niru. Adakah Uni itu bisa manumbok pakaian yang robek. Adakah Uni yang cantik-cantik itu bisa menggiling cabe di atas batu lado tanpa tangannya kepedasan, bisa mengukur kelapa dengan kukuran, dan bisa membawa air dengan ember di atas kepalanya tanpa dipegang. Entahlah.
Baiklah, hal-hal yang disebutkan itu memang terkesan spele dan tradisional sekali. Akan tetapi bagi masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau) hari ini, hal itu masih tetap penting dan dikedepankan karena merupakan identitas budayanya. Sebagai contoh misalnya, di kampung-kampung masih berlaku sebuah kebiasaan, jika orang ingin mencari menantu, maka salah satu yang akan menjadi pertimbangan adalah persoalan pandai tidaknya seorang anak gadis memasak.
Okelah para Uda Uni itu tinggal di kota dan tidak lagi kenal dengan kebiasaan-kebiasaan yang tradisional itu, lalu kalau ada tamu dari daerah lain atau tamu mancanegara yang menginginkan belajar yang tradisonal itu, apa yang dapat dilakukan oleh para duta wisata, ya, uda Uni itu.
Jadi, memperkenalkan parawisata Sumatera Barat --kalau ia memang perlu diduta-dutai-- kiranya penting pula memperkenalkan nilai-nilai tradisional atau budaya yang sudah mengakar kuat itu seperti yang disebutkan tadi. Maka, keterampilan tentang hal itu mencerminkan sebuah identitas yang mau tidak mau harus dimiliki bagi siapa saja yang ingin memperkenalkan wisata (budaya) Minangkabau.
Dalam konteks inilah kiranya diharapkan Uda Uni mampu memperkaya dirinya. Namun, apakah mereka seperti yang diharapkan itu? Suatu yang diragukan dari mereka adalah kompetensi terhadap yang tradisional-tradisional dan spele itu. Saya berani mengatakan bahwa jika diuji tentang “keterampilan tradisonal” yang merupakan ciri khas urang Minangkabau seperti disebutkan, maka hanya satu dua yang memilikinya. Banyak anak muda Minang hari ini (termasuk Uda Uni itu) yang tidak lagi bisa mengaji, tidak bisa menjadi iman sholat berjemaah, tidak punya keterampilan menyelenggarakan jenazah, tidak bisa menjadi khatib Jumat, tidak bisa memasak, tidak kenal dengan bumbu-bumbu dapur dan sebagainya.
Kalau tidak percaya, tanyakanlah kepada Pak Wako Padang (Drs. Fauzi Bahar, M. Si) ketika Pemko mengadakan lomba malamang; kenapa peserta lomba malamang di Pantai Padang baru-baru ini tidak ada yang diikuti oleh anak muda. Maka jawabannya (kira-kira saya) karena anak muda itu sudah tidak mengerti lagi bagaimana membuat lemang tersebut, berapa takaran santan dan pulutnya, berapa lama harus dipanggang dan sebagainya. Kalau saja Uda Uni itu diajak untuk mengikuti lomba membuat lemang: mampukah mereka? Entahlah.
Nah, kalau keterampilan itu tidak dimiliki, masihkah sesuatu yang elegan bila Uda Uni itu dinobatkan sebagai duta wisata (budaya) Sumatera Barat? Belum lagi kalau kita bicara dari aspek yang lain yang selama ini diprokontrakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar